Stop RUU Berbau Piagam Jakarta
*Islam Telah Direduksi dan Dibajak
[JAKARTA] Pernyataan Kepala Litbang Departemen Agama, HM Atho Mudzhar dalam acara buka puasa di Istana Negara, Jakarta, Kamis (27/8), bahwa ajaran agama Islam telah dire-duksi dan dibajak oleh kelompok tertentu dengan mengatas- namakan Islam, mendapat apresiasi karena mencerminkan sikap pemerintah. Namun, sikap itu harus diimplementasikan pemerintah dengan berhenti membuat rancangan undang- undang yang terkesan membangunkan kembali Piagam Jakarta gaya baru.
Penegasan itu dilontarkan Wakil Ketua Komisi VIII DPR MH Said Abdullah ketika dimintai tanggapannya di Jakarta, Sabtu (29/8).
Menurutnya, pemerintah harus mengurangi pengajuan RUU atau regulasi yang cenderung menghidupkan kembali Piagam Jakarta, seperti RUU Jaminan Halal dan RUU Pengelolaan Zakat yang diusulkan pemerintah ke DPR.
Ketua Dewan Pimpinan Pusat Baitul Muslimin Indonesia (BMI) yang didirikan mantan Ketua PP Muhammadiyah Syafi Maarif itu menilai, pernyataan dan sikap pemerintah sering kali tidak konsisten dengan kebijakan yang dikeluarkannya, termasuk dalam pembuatan RUU. Pemerintah seharusnya mempunyai grand design yang jelas untuk kembali ke khitah, yakni cita-cita luhur pendiri bangsa untuk mewujudkan mimpi Indonesia satu. “Jangan menambah mimpi-mimpi baru dengan membuat regulasi untuk kepentingan kelompok tertentu,” tegasnya.
Senada dengannya, Ketua Masyarakat Muslim Moderat (Moderate Muslim Society/MMS), Agus Muhammad mengatakan, aksi terorisme dengan memanfaatkan agama sebagai isu gerakan radikal harus sedini mungkin dicegah. Selain menegaskan kembali aturan hukum, diperlukan juga penguatan sosial berupa gerakan publik yang menolak pemanfaatan agama untuk kepentingan yang negatif.
Menurutnya, gerakan publik berupa penyadaran dan pemberian informasi kepada masyarakat mengenai ajaran agama yang benar harus dilakukan terus-menerus dan melibatkan semua pihak. Agus menilai, tidak hanya pemerintah, masyarakat juga harus memperlakukan gerakan ini sama dengan gerakan antikorupsi yang telah gencar dilakukan. “Media massa harus menjadi ujung tombak gerakan publik ini,” tegasnya.
Dengan adanya gerakan publik semacam itu, lanjutnya, masyarakat diharapkan semakin awas terhadap setiap orang atau sekelompok orang yang berniat memanfaatkan agama untuk kepentingan jahatnya. “Kalau agama dimanfaatkan untuk kepentingan kesejahteraan umat, saya kira tidak masalah. Yang jadi persoalan kan kalau agama dijadikan landasan bom bunuh diri,” katanya.
Dikatakan, agama itu milik semua orang dan tidak bisa diklaim atau dimonopoli oleh satu atau sekelompok orang saja. Untuk menghindari terjadinya pemanfaatan agama, masyarakatlah yang harus menjaga dan merawat agama dan nilai-nilai yang terkandung di dalamnya dengan baik.
Soal penegakan aturan hukum, Agus mendukung langkah itu, asal dilakukan dengan hati-hati. “Jangan sampai ingin menegakkan hukum, tetapi justru menimbulkan persoalan hukum baru,” ujarnya.
Sebelumnya, peneliti dari Lembaga Penelitian, Pendidikan, dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES) Enceng Shobirin Nadj menilai, sejumlah organisasi yang mengatasnamakan Islam tingkat dunia, termasuk Al Qaeda, merupakan gerakan politik internasional yang tidak memiliki akar budaya, visi kebangsaan, dan visi keumatan di Indonesia. Gerakan itu hanya menjadikan Islam sebagai alat politik, bukan agama atau kepercayaan yang dijadikan landasan hidup. “Ideologi transnasional ini bahkan berperilaku mengancam dengan merebut sejumlah masjid di Indonesia. Mereka dengan sengaja menyusup ke sejumlah masjid dan berpura-pura menjadi jemaah pendatang untuk kemudian merebut kedudukan di masjid itu,” katanya.
Gerakan Islam transnasional ini telah menjadi ancaman serius, sehingga sepatutnya menjadi perhatian khusus pemerintah, karena tindak-tanduknya semakin ekstrem dan brutal. “Dengan mengatasnamakan ajaran agama dan perintah Allah, para pengikutnya dipaksa bertindak anarkis dan mengarah pada terorisme,” katanya.
Gerakan Masyarakat
Secara terpisah, tokoh Nahdlatul Ulama (NU) dan pengasuh Pondok Pesantren Tebuireng, Jombang, Jawa Timur, KH Salahudin Wahid mengatakan, pemerintah perlu menggalang gerakan bersama melakukan sosialisasi agar masyarakat tidak mudah terpengaruh dengan kelompok yang mengatasnamakan agama. Sebab, agama apa pun tidak membenarkan tindakan kekerasan.
“Islam itu adalah agama yang membawa rahmat, kedamaian, dan keselamatan. Kalau ada yang melakukan kekerasan atas nama agama, itu jelas tidak sesuai dengan ajaran Islam dan harus diawasi bersama,” tegasnya.
Menurutnya, Departemen Agama dan aparat Kepolisian bisa melakukan pengawasan terhadap dakwah atau ajaran-ajaran tentang agama yang seolah-olah membenarakan tindakan kekerasan. “Kalau ada payung hukumnya, pengawasan terhadap ajaran yang memanfaatkan agama demi kepentingan tertentu bisa saja dilakukan,” katanya. Â (Sumber: Suara Pembaruan, 29 Agustus 2009.)