Batak: Penjajah (Identitas)?
Catatan Redaksi: Atas izin Redaksi Desantara Institute for Cultural Studies (desantara.org), artikel berjudul “Batak: Penjajah (Identitas)?” kami tayangkan di Nias Online. Semoga bermanfaat. (Redaksi).
Oleh: Erlin Sitinjak
Mungkin, pertanyaan itu tidak pernah terlintas di benak Anda. Bahkan, Anda sama sekali tidak ingin mengajukan pertanyaan serupa itu karena Anda memang tidak punya alasan, kepentingan, latar belakang, atau apapun namanya, untuk mempertanyakannya. Namun, bila seseorang yang sedang duduk tepat di depan hidung Anda membuat sebuah pernyataan bahwa Batak adalah penjajah, adakah Anda, sebagai bagian dari republik yang ber-Bhineka Tunggal Ika ini, pernah tergugah untuk mempertanyakan maksud orang tersebut?
“Sebenarnya, orang Batak itu penjajah,â€demikianlah komentar Idris Pasaribu, salah seorang redaktur senior harian Analisa[3] ketika menghadiri acara penutupan Sekolah Multikultural Desantara[4] pada 28 Juni lalu.
“Lihat saja Medan ini. Sebenarnya, Medan tanahnya orang Melayu. Tapi, kenyataannya, orang Bataklah yang menguasai Medan. Saking berkuasanya orang Batak di Medan, semua orang yang ada di sini disebut orang Batak, padahal sudah jelas namanya Suparji atau Suprapto†sambung lulusan Fakultas Hukum USU, yang akhirnya memilih untuk menjalani hidupnya di dunia jurnalistik tersebut.
Ini bukanlah kali pertama saya mendengar pernyataan serupa sehingga saya merasa tertarik untuk mengulasnya pada kesempatan ini. Beberapa teman-teman saya yang berasal dari etnis Jawa dan Minangkabau seringkali mengungkapkan kekesalannya kepada saya tentang pengalamannya ketika berkenalan dengan orang-orang yang berasal dari luar Sumatera Utara. Seperti yang dikemukakan oleh Idris Pasaribu, mereka seringkali disangka sebagai orang Batak. Meskipun mereka tidak secara terus terang mengatakan bahwa Batak telah “menjajah†identitas mereka, jelas sekali terlihat melalui ekspresi wajah dan intonasi suara mereka betapa mereka merasa sangat tidak nyaman dengan identitas Batak yang secara manasuka dilekatkan pada diri mereka.
Jika Anda menyaksikan acara ajang pencarian bakat Dangdut Mania Dadakan[5] pada 24 Juni lalu, Anda pasti masih ingat bagaimana Leo, salah satu finalis dari Medan, menolak untuk menyanyikan salah satu lagu daerah Batak Toba. Di depan host acara, para komentator/dewan juri, ratusan hadirin, dan ribuan peserta yang menyaksikannya langsung dari seluruh penjuru tanah air, Leo menegaskan bahwa dia tidak akan menyanyikan lagu tersebut karena dia bukan orang Batak Dia orang Mandailing. Sepintas, sikap Leo memang menunjukkan apa yang selama ini disebut sebagai sikap chauvinisme (paham kedaerahan yang berlebihan). Mengapa? Leo sebenarnya bisa saja menyanyikan lagu tersebut, meskipun dia bukan orang Batak, seperti yang disangka oleh host acara karena, bagi seorang entertainer, menyanyikan lagu daerah orang lain bukanlah sesuatu yang aneh, apalagi salah. Jangankan lagu daerah orang lain, lagu kebangsaan negara lain pun pernah dinyanyikan oleh orang yang tidak berkewarganegaraan negara tersebut. Semuanya dilakukan dengan alasan dan untuk tujuan profesional. Namun, bukan di sana duduk persolannya. Kenyataan bahwa Leo tidak bisa menyanyikan lagu tersebut adalah bukti bahwa dia tidak sama dan bahkan sangat berbeda dengan orang-orang yang disebut Batak. Dalam hal ini, posisinya sebagai idola dan acara yang disiarkan secara langsung merupakan sarana dan prasarana yang sangat efektif untuk menunjukkan identitas sesungguhnya kepada masyarakat.
Peran posisi dan situasi ternyata juga disadari oleh seorang pendeta yang berasal dari etnis Nias. Drs. Yulianus Harefa, M.Ed. TESOL, sekjen ISNI (Ikatan Sarjana Nias Indonesia), mengatakan bahwa sebagai etnis Nias, mereka sebenarnya keberatan jika mereka disebut sebagai orang Batak. “Nias tidak bisa disamakan dengan Batak karena keduanya benar-benar berbeda, baik dari postur wajah, bahasa, adat-istiadat, dan lain sebagainya. â€Bentuk keberatan ini, dikatakannya, pernah dinyatakan oleh seorang pendeta bernama Sanus Lase, yang pada sekitar sepuluh atau lima belas tahun lalu menulis sebuah artikel tentang hal-hal yang membuat Nias tidak dapat disamakan dengan Batak. Tulisan tersebut sempat mendapat perhatian yang cukup serius dari masyarakat, namun karena tidak ada tindak lanjut dari pemerintah, gagasan tersebut tinggal menjadi sebuah tulisan yang lapuk bersama kertas surat kabar tersebut. “Sebagai orang yang tidak mempunyai kedudukan dan pengaruh di Sumatera ini, kami tidak bisa berbuat apa-apa kecuali menerima kenyataan ini. Tetapi, kami sangat mengharapkan peranan pemerintah untuk mensosialisasikan etnis-etnis yang ada di Indonesia, khususnya yang ada di Sumatera Utara.â€Simpul Yulianus Harefa mengakhiri wawancara singkatnya dengan saya pada 25 Juni lalu.
Jika etnis Mandailing dan Nias telah menyatakan keberatan dan ketidaksetujuannya tentang Batak yang menjadi representasi identitas masyarakat Sumatera Utara, maka lain halnya dengan Dra. Zaslina Zainuddin, M.A., seorang etnis Aceh yang lahir dan besar di Sumatera Utara. Direktur American Corner Universitas Sumatera Utara, yang menikah dengan laki-laki asal Jawa Tengah ini memilih untuk tidak terlalu mempersoalkan masalah identitas. “Saya pilih jalan amannya saja,â€jawabnya ketika ditanya apakah beliau tidak memiliki kerinduan untuk dikenal sebagai orang Aceh. Jawaban singkat ini memang terkesan cukup koperatif dan “aman.†Tetapi, jawaban inilah yang menuntun kita kembali kepada persoalan semula: Apakah Batak benar-benar telah menjajah identitas orang-orang non-Batak di Sumatera Utara sehingga mereka terpaksa menerima kenyataan yang terjadi sekarang ini untuk dapat hidup aman di tanah Melayu, yang kini katanya telah dikuasai oleh orang Batak?
Meskipun para sosiolog, antropolog, dan pakar kebudayaan menganggap masalah identitas sebagai sesuatu yang terlalu biasa sehingga mereka dengan mudahnya mengatakan bahwa apa yang dialami oleh Leo, Yulianus Harefa, dan Zaslina Zainuddin sebagai “politik identitas†atau “political identityâ€, yaitu suatu keadaan di mana identitas menjadi sesuatu yang cair, saya, sebagai orang Batak yang hidup di tengah-tengah fenomena ini, memandangnya sebagai sesuatu yang pantas untuk diperhatikan.
Untuk sampai kepada jawaban atas pertanyaan apakah orang Batak benar-benar telah menjajah identitas orang-orang non-Batak di Sumatera Utara, alangkah baiknya jika kita mengenal orang Batak secara lebih dekat.
Dalam sejarah orang Batak, yang diwariskan secara turun-temurun dari mulut ke mulut, dikenal sebuah ungkapan “Madekdek sian langit, mapultak sian bulu.â€Secara harfiah, ungkapan ini dapat diartikan “Jatuh dari langit, keluar dari batang bambu.â€Proses keberadaan orang Batak yang terbilang ajaib sehingga tak mungkin ditelusuri garis sejarahnya ini, tentu saja, sangat bertentangan dengan berbagai teori yang mengatakan bahwa orang Batak merupakan keturunan ras Mongol yang bergerak dari Yunan, Cina Selatan. Tetapi, satu hal yang perlu kita ingat adalah bahwa ungkapan ini akan tetap terpelihara dengan baik, meski dalam jangka waktu beberapa tahun mendatang muncul teori dan hipotesa baru yang mencoba menjelaskan tentang asal mula orang Batak.
Selain melalui ungkapan “Madekdek sian langit, mapultak sian buluâ€kita juga mengenal karakteristik orang Batak melalui istilah “Raja.â€Karena sifatnya yang selalu merasa sebagai manusia yang istimewa dan berbeda dengan manusia lainnya, orang Batak selalu menyebut dirinya sebagai raja. Kenyataan ini dapat dengan mudah kita saksikan pada upacara-upacara adat, seperti upacara perkawinan atau upacara kematian. Pada upacaraupacara seperti ini, semua hadirin disapa dengan gelar kehormatan Raja, seperti Raja ni Hula-hula, Raja ni DonganTubu/Sabutuha, Raja ni Boru, Raja ni Dongan Sahuta, dan lain sebagainya. Gelar kehormatan ini diberikan tanpa memandang jenis kelamin, status ekonomi, pendidikan, dan lain-lain. Maka, bagi orang Batak, bukanlah sesuatu yang mengherankan jika seorang perempuan paruh baya yang bekerja sebagai pedagang kaki lima disapa sebagai “Raja ni Boruâ€pada suatu upacara adat perkawinan.
Sifat dan karakteristik ini kemudian menjadi unik dan menarik karena telah menjadi darah dan daging orang Batak. Bahwa mereka tercipta dengan cara yang ajaib dan seringkali dipanggil raja, ternyata bukanlah ungkapan dan prinsip yang dipelihara dan tercermin melalui upacara adat saja. Bahkan dalam kehidupan sehari-hari, prinsip ini mempengaruhi cara hidup orang Batak. Ketika harapan untuk hidup layak di tanah sendiri semakin kecil, orang Batak selalu siap untuk merantau hingga ke pelosok tanah air, bahkan ke ujung dunia sekalipun, asalkan tetap menjadi raja atas diri sendiri. Dan sungguh luar biasa, dengan berbekalkan prinsip ini, orang Batak mampu bertahan di tengah kerasnya hidup dan kezamnya zaman dengan menjadi seorang pemulung, supir/kernet, pedagang asongan/kaki lima, hingga pejabat tingggi di lingkungan pemerintahan. Mungkin, inilah yang membentuk orang Batak menjadi manusia yang dikenal berwatak keras dan pantang menyerah pada keadaan.
Di tengah padatnya aktivitas di tanah perantauan, seperti di Medan, orang Batak tidak pernah melupakan asalnya. Hal ini tercermin dari punguan (perkumpulan), baik perkumpulan se-marga, segaris keturunan, atau perkumpulan sekampung halaman, yang sengaja dibentuk sebagai wadah perjumpaan dengan sesama perantau. Di samping sebagai wadah untuk mempererat hubungan silaturahmi dan kekerabatan dengan sesama, perkumpulan seperti ini juga merupakan wadah untuk menanamkan suatu prinsip agar orang Batak selalu ambil peduli terhadap nasib “sesamanya†dan sebisa-bisanya terlebih dahulu memberi uluran tangan kepada “saudara†yang membutuhkan. Dengan demikian, orang Batak akan lebih mudah dikenal di mana pun bumi dipijak.
Tak dapat dipungkiri memang, prinsip untuk selalu mendahulukan dan mengutamakan “sesama†atau “saudara†seringkali dipelesetkan menjadi sebuah tindak “terkutuk†yang sejak Mei 1998 tiba tiba menjadi momok yang sangat menakutkan – NEPOTISME. Batak pun, sebagai etnis yang sangat menjunjung tinggi prinsip ini, masuk ke dalam blacklist etnis paling nepotis di bumi pertiwi ini. Alhasil, ketika pucuk pemerintahan di Sumatera Utara atau jabatan tertinggi suatu instansi dipegang oleh orang Batak, maka orang beramai-ramai “mengikhlaskan diri†sebagai orang Batak: mereka memakai marga Batak yang sepadan dengan marganya atau ketika mereka berasal dari etnis yang tidak memiliki padanan marga dengan marga-marga Batak, mereka akan “lumrah†saja ketika orang lain mengenal dan menyebutnya sebagai orang Batak. Banyak orang kemudian merasa “aman†berlindung di balik indentitas mereka sebagai orang yang “di-Batakkan†hingga tiba hari ketika mereka merasa bahwa posisi dan situasi yang ada sangat memungkinkan untuk menunjukkan identitas mereka yang sesungguhnya.
Apakah kenyataan ini memberi sebuah petunjuk bahwa Batak telah menjajah identitas orang-orang non-Batak di Sumatera Utara? Ternyata tidak. Dari data dan fakta yang telah diuraikan di atas, jelas sekali bahwa orang Batak hanya ingin mereka dikenal di Sumatera Utara atau di bagian mana pun dunia ini, bukan agar Sumatera Utara dikenal sebagai tanah Batak. Perkumpulan dan prinsip yang ada semata-mata ditujukan untuk menyatakan dan menegaskan eksistensinya di negeri yang memang disadari penuh dengan keanekaragaman ini. Jadi, tidak ada alasan untuk mem-Batakkan atau menyangkal identitas orang-orang non-Batak yang ada di Sumatera Utara karena orang Batak sendiri menyadari betapa keinginan untuk dikenal sebagai diri kita yang sebenarnya adalah sesuatu yang hakiki.
Lalu, bagaimana Batak sampai kepada suatu posisi, yaitu sebagai “ikon†Sumatera Utara sehingga orang-orang yang ada di tanah Melayu ini, yang secara statistis ternyata lebih banyak dihuni oleh orang Jawa, dikenal sebagai orang Batak? Pertanyaan inilah yang sebetulnya paling pantas untuk kita renungkan ketika kita, baik sebagai orang Batak maupun orang non-Batak, berhadapan langsung dengan orang-orang seperti Idris Pasaribu.
Bagi kita yang setuju bahwa istilah Timur/Oriental dan Barat tidak diciptakan oleh orang Timur sendiri, melainkan oleh orang Barat yang mempunyai kepentingan atas pemisahan ini[6], maka tidak akan sulit untuk mengerti bahwa image Sumatera Utara sebagai Batak dengan sengaja diciptakan oleh pihak tertentu untuk kepentingannya. Apa yang disebut oleh para antropolog, sosiolog, maupun budayawan sebagai “geographical ethnicity†atau “etnis geografis†kemudian dipertegas dengan pembangunan Taman Mini Indonesia Indonesia (TMII). Melalui tempat yang diagung-agungkan sebagai miniaturnya Indonesia ini, kita “dilatih†dan “dibiasakan†untuk berpikir bahwa Indonesia terdiri dari kantung-kantung budaya yang tertata sedemikian rupa. Setiap wilayah geografis, dalam hal ini keduapuluhtujuh provinsi†direpresentasikan oleh etnis yang dianggap sebagai etnis mayoritas di wilayah tersebut. Bentuk representasi ini tercermin dari dibangunnya rumah adat Batak di Sumatera Utara, rumah adat Jawa di Jawa Barat, rumah adat Dayak di Kalimantan Timur, rumah adat Manado di Sulawesi Utara, dan seterusnya.
Tentu saja pembangunan TMII tidak sepenuhnya salah dan melulu membawa dampak negatif. Setidaknya dengan dibangunnya tempat yang kini menjadi salah satu tujuan wisata tersebut, kita mengetahui dan mengenal salah satu “indigenous ethnic†yang mendiami wilayah tersebut. Hal ini menjadi salah ketika pemerintah tidak mampu menghadirkan “indigenous ethnic†lain yang terbilang minoritas di dalamnya. Lebih salah lagi, ketika pemerintah tidak pernah membuat semacam sosialisasi penyadaran bahwa Indonesia tidak sesederhana model yang ditata sedemikian apiknya dalam TMII. Indonesia akan jauh lebih indah ketika etnis-etnis yang disebut minoritas tersebut dihadirkan dan didudukkan berdampingan dalam posisi yang sejajar dengan etnis mayoritas yang ada.
Seperti halnya Indonesia, Sumatera Utara yang didiami oleh beragam etnis, baik kesepuluh etnis asli[7], berbagai etnis pendatang dari daerah lain di Indonesia[8], maupun etnis yang berasal dari bangsa lain[9], akan jauh lebih indah daripada Sumatera Utara yang sampai saat ini lebih dikenal sebagai “sarang†orang Batak. Kenyataan bahwa semua etnis yang mendiami Sumatera Utara mampu hidup berdampingan dalam suasana yang rukun dan damai merupakan syarat yang lebih dari sekedar cukup untuk mengatakan bahwa Sumatera Utara merupakan replika hidup Negara Kesatuan Republik Indonesia yang “Gemah Ripah Loh Jinawi.â€
Untuk mewujudkan dan menunjukkan keindahan Sumatera Utara, adalah tugas kita untuk mengambil sikap dan tindakan sembari menunggu tindak lanjut dari pemerintah. Sebagai orang Sumatera yang non-Batak, kita tidak perlu takut menunjukkan identitas kita karena sejarah telah membuktikan bahwa orang Batak tidak pernah melakukan tindak anarkis atau bentuk diskriminatif lainnya terhadap orang-orang yang ingin untuk menunjukkan identitasnya. Pernyataan bahwa “Batak adalah penjajah†yang datang dari orang Batak sendiri, yaitu Idris Pasaribu, adalah bukti konkret bahwa orang Batak tidak pernah menutup mata terhadap segala fenomena sosial yang terjadi, sekecil apapun itu. Sekali lagi, kita tidak perlu menunggu sampai hari ketika kita berada dalam posisi dan situasi yang kuat untuk menunjukkan siapa kita sebenarnya karena orang Batak bukanlah penjajah yang berusaha untuk melakukan genosida terhadap etnisetnis lain.
Sebagai penutup dari tulisan ini, saya ingin berbagi cerita kepada Anda:
Seorang laki-laki, sebut saja SM, baru saja turun dari sebuah angkutan umum. Karena ramainya kegiatan di lokasi pemberhentian angkutan umum tersebut, ia tidak sadar bahwa dompet yang ada di saku belakang celananya telah dicuri. Beberapa menit kemudian, ia sadar bahwa dompetnya sudah tidak ada. Ia pun berputar-putar, mencari-cari dompetnya tersebut. Karena lelah, SM terduduk di sebuah warung kecil. Ia terus berpikir hingga seseorang dari kejauhan datang menghampirinya. Ternyata orang tersebut adalah pencuri yang telah mengambil dompetnya. Dompet tersebut, beserta seluruh isinya, dikembalikan kepada SM. Mengapa? Ternyata, ketika menggeledah isi dompet tersebut, pencuri tersebut melihat KTP SM. Si pencuri dan SM sama-sama orang Batak.
Pertanyaannya:
– Manakah lebih dahulu terjadi, pencuri tersebut mengambil dompet SM atau mengetahui bahwa SM orang Batak?
– Apakah semua orang Batak mengalami hal serupa dengan SM atau ia hanya sedang beruntung?
– Seandainya SM bukan orang Batak, apakah jika pencuri tersebut tidak mengembalikan dompet SM dianggap sebagai suatu tindak diskriminatif yang mencerminkan penjajahan?
Beberapa pertanyaan yang patut kita renungkan secara bijak.
[1] Ditulis untuk Desantara “Institute for Cultural Studiesâ€
[2] Siswa Sekolah Multikultural Desantara Angkatan 2008
[3] Salah satu harian lokal di Sumatera Utara
[4] Diadakan pada 23-28 Juni 2008 di Gedung BLPLP Sumatera Utara
[5] Disiarkan secara langsung setiap Selasa malam melalui statsiun TPI (Televisi Pendidikan Indonesia)
[7] Sumatera Utara terdiri atas sepuluh etnis asli, yaitu Melayu Pesisir, Melayu, Karo, Simalungun, Batak Toba, Mandailing, Angkola, Pakpak, Nias, dan Ulu
[8] Hampir seluruh etnis yang ada di Indonesia ada di Sumatera Utara. Etnis-etnis tersebut dating melalui program transmigrasi ataupun kegiatan perdagangan.
[9] Seperti etnis Tionghoa dan etnis Tamil
Link ke sumber artikel: http://desantara.org/v3/index2.php?option=com_content&do_pdf=1&id=441
Tulisannya OK banget.
Artikel panjang Erlin Sitinjak ini cukup bagus. Ada beberapa hal yang ingin saya tambahkan dari artikel ini :
(1) Jika Anda pergi ke Jakarta misalnya, lalu Anda memperkenal diri berasal dari Sumatera Utara, sering sekali Anda ditanya kembali,”Batak yach?”. Generalisasi seperti inilah yang sering dianggap “penjajahan” identitas. Tapi apakah sederhana itu kita menjelaskan penjajahan identitas. Menurut saya, memahami generalisasi seperti diatas, tidak bisa hanya sepotong.
Mari saya beri contoh kasus, ketika tahun 2006 saya mengunjungi Inggris, saya sering memperkenalkan diri sebagai orang Indonesia. Saya cukup terkejut ketika lawan bicara bertanya :”Which part Indonesia on Bali?” Banyak orang yang menyangka bahwa Indonesia adalah salah satu kota di Bali. Selidik punya selidik, eh ternyata itu disebabkan Bali lebih dikenal sebagai tujuan wisata kelas dunia ketimbang Indonesia. Jika hal-hal beginian yang terjadi, maka terlalu “ceroboh†kita langsung menyebutnya sebagai penjajahan identitas.
(2) Saya sering ditanya, mengapa setiap orang batak merasa bersaudara dengan batak yang lain. Terlebih-lebih kalau orang itu tinggal diluar Sumatera Utara. Penjelasannya cukup panjang, namun kekerabatan orang batak bukanlah kekerabatan tanpa alasan. “Marga” menjadi pemersatu diantara orang Batak. Misalnya, saya yang bermarga Hutasoit (sub marga dari Sihombing) jika bertemu seseorang marga Sihombing atau boru Sihombing (untuk perempuan) maka secara otomatis kami “merasa” punya hubungan. Walaupun kami tidak pernah bertutur sapa atau berkenalan sebelumnya. Dari titik ini, saya harus akui bahwa identitas sebagai batak kadang memang membawa keuntungan.
(3) Sebagai penutup, saya akan ceritakan sebuah kisah lucu :
Pada suatu hari, seorang perantau batak dari Jakarta pulang ke kampung halamannya di Tobasa (waktu kisah ini terjadi masih Tapanuli Utara). Setibanya di terminal bus di Siborong-borong. Perantau itu segera melangkahkan kakinya keluar dari bus. Ada perasaan gembira sekaligus bangga, dia bisa kembali ke tanah tempat dia dilahirkan.
Setelah beberapa meter berjalan, dia merasa ada sesuatu yang tidak beres. Saku belakangnya seperti ada yang meraba. Akhirnya dia sadar, kalau dia hendak di copet.
Dia berusaha untuk tenang dan tidak menoleh kebelakang. Dia yakin kalau orang batak tidak mungkin dicopet, apalagi di tapanuli. Lalu dia pura-pura batuk dan berkata kuat-kuat..
“Halak hita do ahu, lae .”
(terjemahannya kira-kira begini: Orang Batak juganya aku, bang)
“Bah, halak hita do sasaran,” jawab si pencopet itu spontan.
(terjemahannya kira-kira begini : wah, memang orang batak yang mau kita copet).
***
Orang bodoh adalam makanan orang pintar. Terjemaahkan sendiri mksd saya.
Tuhan tidak pernah melihat suku dan subetnis.
Permasalahannya adalah ??? bisa kah kita mengembangkannya tanpa sirik pada orang lain. Ada banyak org sumatera yang juga pernah ditolong orang Batak. tapi kenapa giliran yang jeleknya selalu LUpa Daratan. Dasar….
Rupanya penjajah dan pencopet hanya beda-beda tipis sazzza!!! Alamak!!!
Itu namanya sesama orang Batak dilarang saling mencopet… Horas bah!!!!! 🙂
Sayang kali protap belon terwujud… namanya perlu ganti neeh ‘protak’ – Provinsi Batak…
Letjend (Purn) Dr TB Silalahi SH meresmikan pengoperasian Museum Pustaka Nias… Ketua Yayasan Pusaka Nias Pastor Paskalis Pasaribu… SIB (20/11/2008}.
Itulah hebatnya Orang Batak!!!
Saya kira terlalu vulgar kalau dinamakan menjajah hanya karena berjumlah lebih banyak secara statistikal , lebih aktif dilihat dari behaviornya , pokoknya lebih “geor” lah. tapi itu kan cuma stereotype, tidak semuanya demikian . artinya ada tempat-tempat dimana etnik batak tidak lebih banyak dan ada pula tempatnya lebih sedikit tapi lebih berisik misalnya,
mungkin pernyataan atau kata yang dipakai untuk menjelaskan stereotyp itu Jangan digunakan kata “menjajah “atau “mendominasi “- pakai lah yang lebih pas mengeks-pressikan nya misalnya lebih banyak, kalau memang jumlahnya lebih banyak, lebih berisik kalau memang lebih ribut, lebih kuat teriaknya kalau memang lebih keras teriakan-nya, bukan menjajah.
Sebagai orang batak saya tidak pernah merasa menjajah baik sengaja, tak taulah kalau tidak sengaja, dan saya berusaha agar orang lain disekitar saya tidak merasa terjajah.
Pemilihan kata yang vulgar , tidak menggambarkan secara persis apa yang akan dikomunikasikan, akan berbahaya dan memunculkan rasa tidak aman bagi “sipenjajah” dan yang merasa “terjajah”.
Kalo kita ke Medan, mungkin orang luar Medan akan berkata..? Medan nih kotanya Batak, Melayu, atau Tionghoa ..
Kalo kita lihat dari aktivitas ekonominya, maka Medan nih kotanya orang Tionghoa. Coba saja kita tengok hampir 75% kegiatan ekonomi disana dikuasai oleh Tionghoa yang jumlahnya hanya seperempat dari penduduk kota. Bahkan pada batasan tertentu, beberapa pasar tradisional di Medan banyak di dominasi oleh orang Minang, pasar Sukaramai misalnya.
Kalo kita tengok dari segi budaya, orang Melayu yang cuma 6% dari penduduk Medan, juga lebih dominan dari Batak. Cobalah lihat bangunan-bangunan di Medan yang hampir semuanya dipengaruhi oleh ornamen-ornamen Melayu. Bahkan logat Melayu Deli-pun menjadi ciri khas bahasa Medan. Coba dengar tutur kata Nuim Khaiyath, wartawan kesohor dari gang Bengkok Medan, berlenggok Deli. Dan beliau sangat identik dengan Medan.
Kalo kita lihat contoh diatas, dimana letaknya Batak bisa dominan apalagi menjajah etnis lain di Kota Medan ..?
Apa ada beda Batak & Melayu dalam konteks Medan? Batak adalah Proto Melayu, Melayu ya lebih baru! Kita boleh baca dulu bukunya Marco Polo “Travel” thn 1290. Kita boleh baca juga bukunya William Marsden “History of Sumatra” thn 1810, Kita boleh telusuri Naskah Hamparan Perak – Guru Patimpus, bahwa Batak ada di Medan memang karenah punya dia.
Batak perantau di Jakarta dan daerah lain punya andil membangun daerah dimana kakinya berpijak dan langit dijunjungnya secara fisik dan non fisik, dan hampir tak ada dikembalikannya ke kampung halamannya sendiri yang tetap miskin segalanya.
Di Gedung Sate Bandung sebagai pusat pemda, coba cari batak nggak akan ditemukan bahkan tukang sapu sekalipun. Tetapi apabila ada batak di komplek perumahan maka dialah yang pertama membela komplek dari gangguan luar, ini menunjukkan dimana kaki berpijak dan langit dijunjung adalah milik yang harus ku jaga -itu kata mereka. Kalau di Medan di tanah mereka sendiri, mereka menjadi ‘ikon’ dibilang menjajah, kan sudah keterlaluan ini.
Dalam sejarahnya Batak tidak pernah menjajah. Coba telusuri sejarah sebalum penjajah masuk, sebelum agama masuk, sebelum merdeka- tidak akan pernah ditemukan Batak sebagai penjajah. Tetapi dimanapun batak berada akan selalu menjadi segala macam merek; “pencopetlah, kasarlah, berisiklah, ditakutilah, dicurigailah, tetapi setelah ada sedikit pembuktian ketidak benaran akan tuduhan merek tersebut lalu disanjung tetapi tetap saja diwaspadai.
Mau kemana lagi kau batak di Indonesia ini? Kau hanya sukses sebagai individu saja ! Komunitasmu kuat, itu hanya kata orang saja !! Sebenarnya kau sudah tercerai-berai !!! Mau jadi probat, harap harap cemas sajalah !!!! Apalagi mau bikin negara, dibantailah kau !!!!!