Belajar dari Sipadan dan Ligitan
Oleh: Agus Paterson Sarumaha (www.apmaha.wordpress.com)
Masih belum hilang dari ingatan kasus pulau Sipadan dan pulau Ligitan, notabene wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang diperebutkan dengan Malaysia. Hukum internasional akhirnya memutuskan bahwa Malaysia yang menang dalam kepemilikan, padahal di era kepemimpinan Presiden Sukarno kedua pulau tersebut adalah wilayah NKRI.
Presiden Sukarno pulalah yang mengusulkan dengan lantang dan cerdas kepada dunia internasional memperjuangkan konsep kesatuan kewilayahan nasional meliputi darat, laut, udara dan seluruh kekayaan alam yang terkandung didalamnya; konsep ini kemudian diakui dalam konvensi hukum laut PBB tentang Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE), dengan diberlakukannya kawasan ZEE seluas 200 mil dari pantai terluar, artinya masyarakat Indonesia dapat memanfaatkan kawasan tersebut secara potensi ekonomi sampai batas 200 mil dari garis dasar perairan pulau terluar, sehingga tidak satupun wilayah perairan NKRI berada pada zona bebas (zona internasional). Sayangnya tidak ada yang dapat mempertahankan wilayah NKRI seutuhnya setelah sepeninggal beliau.
Wilayah Nusantara RI merupakan negara kepulauan yang terbesar di dunia, terdiri dari 17504 pulau yang tersebar menurut data Departemen Dalam Negeri Republik Indonesia, dan diyakini masih banyak pulau yang belum tercatat, tanpa penghuni, khususnya pulau-pulau terluar sangat rawan untuk diperjual belikan kepada pihak asing. Ditahun 2006 santer kasus pulau Bidadari yang terletak di Kabupaten Manggarai Barat, Nusa Tenggara Timur (NTT). Lewan Dosky warga negara Inggris menguasai pulau tersebut, dia melarang warga lokal khususnya nelayan untuk mendekat atau memasuki kawasan pulau, karena dia mengklaim bahwa pulau Bidadari dimilikinya sejak lama, sehingga warga lokal dilarang masuk kecuali orang asing yang memang hendak melakukan kunjungan wisata, akibatnya kasus ini mencuat karena laporan masyarakat setempat yang sempat menjadi isu nasional. Kasus ini juga belum jelas hasilnya, pada hal dalam Undang-undang Agraria Indonesia melarang keras seorang warga, apalagi warga negara asing untuk menguasi sebuah pulau dan menjadikannya sebagai hak milik. Bagaimana dengan pulau Nias? Menurut berita Kompas tertanggal 2 April 2007, pulau-pulau terluar Nias dan gugusan pulau-pulau Batu banyak dikuasai oleh orang asing. Pulau-pulau Batu adalah salah satu gugusan pulau terluar yang berada di Selatan Pulau Nias. Kepulauan ini terletak berbatasan dengan perairan laut Sumatera Barat.
Pemda Nias dan Nias Selatan sudah seyogiyanya menindak lanjuti adanya laporan dari masyarakat tentang penguasaan pulau-pulau terluar Nias seperti Inako, Asu, dan gugusan pulau-pulau Batu secepat mungkin, dan membawa ke meja hukum siapa saja yang terlibat memperjual belikan pulau-pulau itu kepada seseorang terlebih kepada warga negara asing, supaya dikemudian hari kasus tersebut tidak berkembang yang dikawatirkan dapat menjadi isu nasional bahkan internasional yang mengancam keutuhan wilayah NKRI.
Dengan adanya otonomi daerah, kebijakan tentang larangan kepemilikan pulau kepada seseorang warga atau warga negara asing payung hukumnya dapat diatur melalui PERDA. Di Bali, misalnya, warga negara asing tidak diperbolehkan memiliki tanah menjadi hak milik. Akan tetapi dalam rangka menarik investasi pariwisata, khususnya pembangunan hotel, resort, dan villa, PERDA mengatur kontrak sewa guna tanah maksimum selama 30 tahun, serta komponen tenaga kerja lokal mutlak disediakan minimum 20%. Hal lain, investor asing yang ingin membangun hotel, resort, dan villa harus kongsian dengan penduduk lokal – si pemilik tanah menyediakan lahan yang dikontrak oleh investor asing, setelah masa kontrak berakhir bisa diperpanjang kembali; bila tidak, maka bangunan yang ada pada tanah tersebut akan menjadi hak milik si pemilik tanah, dengan demikian penduduk lokal memperoleh manfaat, secara ekonomi dapat memacu pertumbuhan daerah, dikemudian hari penduduk lokal dapat menjadi pelaku bisnis (entrepreneur) dibidang perhotelan.
Kisah pulau Sipadan dan Ligitan hendaknya menjadi pembelajaran bagi kita ke depan. Tiga alasan pihak Malaysia akhirnya menjadi sang pemilik yakni: secara terus-menerus berada di pulau tersebut, penguasaan efektif pulau, dan perlindungan serta pelestarian ekologis. Bahkan setelah Malaysia sukses memiliki kedua pulau itu, kini mencuat lagi kasus Blok Ambalat yang kaya minyak yang terletak di sekitar laut Sulawesi. Malaysia mengklaim sebagai kawasan ZEE mereka, dengan memakai label konvensi PBB tentang hukum laut tahun 1982 yang memberikan hak untuk mengelola dan mengeksploitasi sumber daya alam yang berada di kawasan perairannya, sesuai dengan peta yang mereka buat sendiri tahun 1979. Ternyata letak wilayah Blok Ambalat berdekatan dengan pulau Sipadan dan Ligitan.
Bisa kita bayangkan apabila pulau-pulau terluar Nias dikuasai oleh pihak asing, bisa saja mereka membuat dalil seperti kasus Sipadan dan Ligitan, lalu membawanya ke Mahkamah Internasional dengan isu hak milik (property right), dan lingkungan. Dan bila hukum internasional juga dapat dipelintir, yang benar menjadi salah, dan yang salah bisa menjadi benar, tammatlah riwayat kita. Semoga saja tidak demikian.
Sebaiknya Nias segera memekarkan diri menjadi provinsi. Isu yang dibawa tentunya pertahanan negara. Jika Nias jadi Provinsi Tano Niha tentunya anggaran pertahanan dan tugas-tugas tentara menjadi lebih luas dan lebih bebas. Saat ini isu ini diangkat ke permukaan. Sebenarnya apapun isu yang diangkat, pemekaran wilayah akan memberi dampak yang baik. Namun pusat terkesan hanya melihat dari sisi ekonomi. Jika kajian pertahanan negara ini dapat dikembangkan, maka saya sangat yakin Tano Niha akan segera terwujud dan sumberdaya alam akan terjaga dari pencurian.