Harumani le

Wednesday, April 2, 2008
By nias

Harumani le
Harumani le
Wa mitehe ia mege
Me niha si lö kefe

Catatan:
Kata ‘harumani‘ agak sulit diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. Kalau seseorang mengatakan ‘harumani‘ maka dia menyesalkan sesuatu yang terjadi.

Harumani sa’e wa lö ötolo nakhimö ..” – Kok tega-teganya kau tidak menolong adikmu.

Harumani sa’e wa lö öfahede zibayamö me falukha ami andrö….” Kok bisa-bisanya kau tidak menyapa pamanmu ketika kalian bertemu?

Harumani …” Seseorang yang mengucapkan itu sudah berada di ambang pintu kemarahan yang besar …

Dalam syair maena di atas, pihak pengantin laki-laki (marafule) menyesalkan pihak pengantin perempuan yang menerima sang pengantin laki-laki sebagai menantu pada hal dia orang miskin, tidak punya uang.

“Kok kalian mau menerima pemuda ini yang tak punya uang ?”

Hal ini tentu saja bagian dari adat Nias, di mana, pihak yang datang (pihak laki-laki, Soroi tou, yang datang dari bawah) selalu merendah di depan pihak pengantin perempuan.

Di pihak lain, pihak pengantin perempuan (niowalu) pun pada gilirannya akan memuja-muji (pihak) pengantin laki-laki: yang banyak duit, sopan, dari keluarga terpandang, seterusnya. (brk)

Tags:

2 Responses to “Harumani le”

  1. 1
    Fofo'usö Says:

    Ada sesuatu yang sulit saya pahami dalam falsafah peradatan Nias seperti yang terungkap dalam lirik-lirik “maena” maupun dalam tuturan-tuturan serta pembicaraan adat (“hendrihendri” faoma “huhuo hada”), dalam jenjang-jenjang acara pernikahan di Nias, di mana pihak laki-laki menunjukkan sikap merendah kepada pihak perempuan, juga sebaliknya. Biasanya pihak perempuan pun “menyangkal” ungkapan sikap merendah itu dengan memberikan sanjungan seperti dalam penggalan lirik maena berikut:

    “Ha banua ………, zebua ana’a, ba ga’a…..,
    Ha si möi manörö ba fao khöra niha …..”

    Yang artinya kurang lebih seperti ini:
    “Hanya orang desa …….. [nama desa tertentu yang merupakan desa asal pengantin laki-laki], yang berharta banyak, ……
    Biar pun mereka hanya sekadar jalan-jalan, namun mereka bisa membawa pulang orang…..” (maksudnya membawa pulang pengantin perempuan yang nota bene untuk bisa membawa pulang seorang pengantin perempuan berarti harus menunaikan seluruh kewajiban-kewajiban adat [lala wo’ömö ba hada).

    Dalam lirik di atas pihak pengantin perempuan menyanjung pihak pengantin laki-laki yang berasal dari desa yang kehidupannya sedemikian makmur sehingga tampaknya tidak ada sesuatu yang mustahil secara ekonomi bagi mereka untuk menunaikan kewajiban-kewajiban adatnya dalam menikahkan anak laki-laki mereka.

    Sikap saling merendah dan saling menyanjung antara kedua pihak (soroi yomo, ba göi soroi tou) sebagai sebuah “unggah-ungguh”dalam tatanan peradatan Nias merupakan suatu hal yang unik, istimewa, dan sangat baik. Akan tetapi, merujuk pada penggalan lirik “maena” di atas, mungkin akan sangat bertolak belakang dengan kenyataan sesungguhnya bahwa banyak keluarga di Nias yang hidup sangat sederhana, bahkan untuk dapat menikahkan anak laki-lakinya pun tidak jarang di antara mereka harus meminjam uang atau pun barang-barang lainnya seperi emas, beras atau padi, dan ternak babi, dengan riba yang tinggi (yang dikenal sebagai kefe so’ono faoma batosö dalam ekonomi tradisional Nias), dan bukan mustahil utang-utang tersebut masih tersisa hingga generasi berikutnya.

    Kondisi ini juga dapat diperparah oleh prinsip “sökhi mate moroi aila” (lebih baik mati daripada malu), yang masih melekat dalam kehidupan masyarakat Nias. Kita sering mendengar pembicaraan orang tua ketika membicarakan kelanjutan rencana pernikahan seorang anak laki-laki di Nias yang mengatakan: “No sa’e tadoro huhuo andre khöra, aila ita na lö alua” (pembicaraan sudah terlanjur, kita nanti akan malu bila tidak terwujud). Biasanya bila sudah mencapai tahapan ini orang-orang akan menempuh upaya apa saja untuk memperoleh cukup uang dan barang-barang lainnya yang diperlukan untuk menunaikan semua kewajiban-kewajiban adatnya. Perlu diingat bahwa tata cara pernikahan dalam adat nias terdiri dari beberapa tahapan atau jenjang dan pembicaraan adat di antara kedua belah pihak yang mana untuk setiap tahapan itu membutuhkan biaya, dan biasanya setelah dimulai atau pada pertengahan tahapan-tahapan tersebut muncul pembicaraan seperti ini mengingat kondisi perekonomian keluarga terkait yang pada kenyataanya mungkin tidak sanggup melanjutkan ke tahapan selanjutnya hingga terselenggaranya dan selesainya pernikahan (wangai niha) secara keseluruhan.

    Hal yang sulit saya pahami adalah bahwa seolah-olah ada ketidakselarasan antara kenyataan kehidupan sehari-hari dengan keadaan yang digambarkan dalam tradisi saling menyanjung dalam lirik-lirik “maena” serta tradisi adat lainnya, khususnya bila kedua hal tersebut [kenyataan sehari-hari dan keadaan yang digambarkan dalam lirik maena atau tuturan adat] disandingkan secara langsung serta ditilik sebagai bagian dari kebudayaan manusia.

    Saya senang bila ada di antara saudara-saudara (ira talifusö) yang mempunyai wawasan lain dan dapat membantu memberikan pencerahan mengenai hal ini.

    Ya’ahowu

  2. 2
    Julvan laia & aza tel Says:

    bagus ini merupakan filsafat yang sangat berguna dan jadi duma-duma bandaono niha maafefu,yaahowu pulau nias.

    ya itolo ita soaya

Leave a Reply

Comment spam protected by SpamBam

Kalender Berita

April 2008
M T W T F S S
 123456
78910111213
14151617181920
21222324252627
282930