Rumah Adat Nias Banyak Hancur
Laporan Wartawan Kompas Khaerudin
MEDAN, KOMPAS- Selama masa rehabilitasi dan rekonstruksi Nias pascagempa bumi, banyak rumah-rumah adat di pulau ini yang sengaja dihancurkan pemiliknya agar mendapatkan bantuan. Padahal rumah-rumah adat tersebut menjadi salah satu daya tarik menjadikan Nias sebagai nominasi situs warisan dunia oleh Unesco.
Menurut Direktur Museum Nias Pastor Johanes Hammerle, kebanyakan rumah yang hancur tersebut karena pemiliknya menginginkan bantuan rumah dari Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi (BRR) Nanggroe Aceh Darussalam-Nias dan agensi bantuan lainnya. Johanes menuturkan, rumah-rumah bantuan ini terbuat dari semen.
“Padahal saat gempa rumah-rumah adat ini tidak ada yang rusak. Karena tak mendapat bantuan, banyak pemilik rumah adat yang kemudian menghancurkannya sendiri agar dapat bantuan rumah semen,†ujar Johanes dalam pertemuan stakeholder dalam pengembangan warisan budaya Nias di Medan, Jumat (25/5).
Dalam catatan Johanes, empat rumah adat besar atau omo sebua di Nias Selatan yang tersebar di empat desa, dua di antaranya dalam kondisi rusak. “Rumah adat di Desa Ono Hontro sudah hampir runtuh. Bagian belakangnya malah sudah jatuh, sementara rumah adat besar di Desa Hilinawalo Fau kalau musim hujan air terus menerus masuk. Kondisinya malah sudah tidak mungkin dihuni lagi,†katanya.
Dua rumah adat besar yang relatif masih terjaga ada di Desa Bawamatoluo dan Desa Hilinawalo Mazino. “Bisa dikatakan upaya memperbaiki rumah adat di Nias terlambat dua langkah. Sudah banyak rumah adat yang hancur karena pemiliknya ingin rumah semen,†kata Johanes.
Padahal lanjut Hammerle, rumah-rumah adat di Nias ini usianya sudah mencapai ratusan tahun. Rumah adat yang paling muda berusia 150 tahun. Kontruksi rumah adat di Nias juga tahan gempa yang memungkinkan kearifan lokal bisa diaplikasikan dalam pembangunan rumah tahan gempa oleh BRR dan agensi lainnya.
“Sayangnya baik BRR maupun LSM yang datang membantu ke Nias, tak ada yang mau membangun kembali rumah adat. Ketika ditanyakan ke LSM, mereka bilang itu urusan BRR, tetapi sampai sekarang belum ada banyak aksi untuk melakukan penyelamatan,†katanya.
Kondisi seperti ini dinilai pastor asa Jerman yang telah tinggal di Nias selama 36 tahun ini sangat memprihatinkan. Apalagi, pemerintah sudah memasukkan Nias dalam daftar nominasi warisan dunia (world heritage) kepada badan PBB Unesco.
Menurut Kepala Perwakilan BRR di Nias William P Sabandar, mulai tahun ketiga BRR bekerja di Nias, sudah ada upaya untuk merehabilitasi sektor budaya masyarakat. Salah satunya dengan membantu desa-desa dan rumah adat di Nias Selatan menjadi world heritage. “Jika kami membangun sarana fisik tanpa mempedulikan faktor budaya, sama saja membangun badan tanpa ada jiwanya. Seluruh agensi di Nias kami arahkan ke sana sekarang ini,†ujar William.
Terkait nominasi world heritage, Deputi Direktur Kantor Perwakilan Unesco Jakarta Han Qunti menuturkan, Nias masih membutuhkan waktu yang lama ditetapkan sebagai situs warisan dunia. Namun Unesco tetap berkomitmen agar desa dan rumah adat di Nias Selatan menjadi warisan dunia. “Untuk masuk nominasi saja butuh waktu paling cepat dua tahun dan paling lama 20 tahun. Kami mencoba berkomitmen agar itu terwujud. Tapi inisiatif dari masyarakat lokal pun dibutuhkan,†katanya.
Sumber: Kompas, 25 Mei 2007
bagus banget, sayang berita tentang rumah adat dan gambaran kondisinya kurang lengkap dan detil sehingga sulit mendapat gambaran tentang kondisi sebenarnya