Mencermati Perubahan di Masyarakat Kepulauan Nias Akibat Bencana-Bencana Alam
Oleh: Noniawati Telaumbanua*
Setelah menulis berbagai hasil penelitian dan berbagai buku dengan titik perhatian pada wilayah Kepulauan Nias, maka serangkaian penelitian lanjutan dan terkini yang dilakukan oleh Noniawati Telaumbanua, dibuka dalam jumpa pers, menandai peringatan dua tahun bencana gempa Maret 2005.
Bentuk bencana alam yang terjadi beruntun di Kepulauan Nias dengan mengacu peristiwa yang tercatat antara tahun 2000 hingga tahun 2007 mengindikasikan bahwa bencana alam yang telah terjadi bukan hanya dalam bentuk nyata berupa gempa, melainkan banjir yang disertai longsor dan bencana badai laut yang mengancam pelayaran.
Pada bulan Agustus 2001 bencana air bah menimpa Lahusa-Gomo. Dalam 5 tahun terakhir, perubahan volume air sungai di beberapa tempat, berubahnya pola pemanfaatan sumber daya nabati dan hayati di darat maupun di perairan, terjadi signifikan. Tercatat sejumlah bencana pelayaran penting di perairan Nias hingga tahun 2006. Bencana terbesar pada tgl. 26 Desember 2004 dan tgl. 28 Maret 2005 dalam wujud gempa laut dan tsunami secara teori memuncak di titik waktu tersebut.
Teori perulangan waktu gempa sepertinya perlu dicermati secara khusus di pantai barat, karena intensitas bencana-bencana alam yang saling kait-mengkait, lebih hebat dari yang diduga. Gerakan-gerakan alamiah di bawah tanah memicu semua titik di wilayah ini aktif dalam waktu singkat dan mendesak titik-titik rawan bencana alam di teritorial lainnya.
Yang juga menjadi perhatian pada penelitian ini adalah perubahan yang terjadi di masyarakat Nias karena bencana-bencana alam yang mengikuti ritme kehidupan sehari-hari sejak tahun 2000. Sejarah lebih banyak mencatat dan memberi perhatian pada bencana 2004 dan 2005.
Pusat Kota Gunungsitoli sebagai jantung perekonomian di Pulau Nias kali ini dipilih sebagai inti evaluasi.
Dialog dengan masyarakat awam dan elemennya memberikan gambaran yang hampir seragam berupa perubahan fisik kota, tanggapan akan kesulitan infrastruktur kota dan perubahan struktur sosial-budaya-ekonomi kota.
Hal yang sangat menarik di kota ini adalah bentuk yang sangat mendesak dan memicu perubahan di atas, yang oleh hampir seluruh masyarakat diakui berupa efek materi. Efek sosial yang tidak begitu banyak mempengaruhi perubahan tadi, tetapi oleh efek materi yang sangat persisten, menjelma sebagai ancaman bencana sosial. Kematangan bencana ini, dari pengamatan peneliti, berlaku di seluruh Kepulauan Nias dan dalam waktu singkat. Faktor pemicu yang berhasil dihimpun adalah: bencana alam beruntun, volume dan tipikal bantuan dari berbagai organisasi, serta ketidaksiapan mental masyarakat menghadapi perubahan mendadak.. Hal ini mengejutkan, kendati bukan hal baru untuk kasus daerah bencana.
Khusus di Kepulauan Nias, terlihat bahwa bentuk bencana di masa depan kelak, pada awalnya selalu tidak berbentuk eksak, karena berbagai faktor. Pemicu tidak melulu berasal dari jantung perekonomian Pulau Nias, melainkan diperani oleh hampir seluruh titik esensial di pedesaan. Sebagai contoh, perubahan struktur tanah yang mengubah posisi lahan sawah terhadap pengairan telah memaksa peningkatan volume import beras ke Nias hampir dua kali lipat, harga pun terimbas.
Dari serangkaian penelitian sejak tahun 2005, peneliti melihat indikasi, Nias akan menghadapi bukan hanya bencana alam, melainkan bencana berlapis dengan efek pseudo (bayangan), dimana sebelum bencana terjadi, masyarakat tidak mengenal bentuknya, namun proses pematangan bencana berlangsung selama periode tertentu, sedari awal pun telah bersifat merusak seluruh sendi kehidupan dan lingkungan hidup bermasyarakat hingga memberi wujud ekstrim pada satu waktu tertentu. Bencana ini tidak hanya berupa bencana alam (gempa bumi) seperti yang dikenal, melainkan secara kategorial, dalam penelitian ini dikatakan tersusun dalam berbagai lapisan, sebagai bencana ekologi, bencana sosial-budaya, bencana ekonomi, bencana politik, dsb.
Salah satu alternatif solusi yang memungkinkan adalah usaha mendorong apresiasi, inisiatif dan integrasi masyarakat dalam pembangunan di seluruh tahapan. Apa boleh buat, ini seperti berkejaran dengan waktu. Integritas dalam hal ini sangat dibutuhkan oleh masyarakat sesegera mungkin, demi tercapainya pemahaman akan realita di kawasan tempat tinggalnya.
Penelitian ini dituangkan dalam bentuk buku-buku Seri Ono Niha. Dua buku terakhir bertajuk Dialog Masyarakat-Realita Dua Tahun Pasca Bencana di Kepulauan Nias (Kasus Kota Gunungsitoli) dan Gempa 28 Maret 2005-Kisah Para Saksi Mata di Kota Gunungsitoli.
Sedangkan dua buku lainnya dalam bahasa Jerman yang sejak thn. 2005 dirintis, satu buku telah dikaryakan (2006), bila Tuhan ijinkan, sebuah buku lagi akan selesai dalam pertengahan tahun 2007 dan untuk terjemahan edisi bahasa Indonesia diselesaikan dalam tahun 2008. Ya’ahowu.
*Penulis dan Peneliti dari Universitas Karlsruhe (Perguruan Teknik)-Jerman, Bidang Ilmu Kewilayahan/Perencanaan Tata Ruang, di bawah naungan organisasi Evangelischer Entwicklungsdienst (EED) – Jerman.
hi….senang sekali membaca artikel anda, saya Eva, saat ini saya sedang meneliti mengenai disaster di Indonesia dan bagaiamana disaster ini diinterpretasi oleh masayarakat indonesia, saya sangat berharap mendapat bantuan dari anda, mengenai persoalan ini, khususnya mengenai penjelasan bencana alam secara geofisika ataupun lingkungannya, saya akan membahasnya dari sudut pnadang psikologis masyarakat nanti….
mohon bantuannya yah..
Eva Taibe
saya pengen cari penelitain
ini berita yang di cari untuk tugas kami kls XI IPS 2………
ini berita yang di cari untuk tugas kami kls XII IPS 2………man rengel