Kritik, Berpikir dan Bersikap Kritis
E. Halawa*
Pendahuluan
Dalam dunia seni istilah kritik merupakan kosa-kata sehari-hari. Suatu karya sastra atau karya seni lainnya, begitu ia ditampilkan kepada umum, cepat atau lambat mendapat sorotan dari para peminat atau pemerhati karya seni yang bersangkutan. Peminat karya seni yang tidak memiliki pemahaman yang mendalam tentang nilai suatu karya seni akan mendasarkan pilihannya pada kritik yang disampaikan oleh seniman yang mengkhususkan diri di bidang kritik. Ia akan mencari majalah atau surat kabar yang memuat kritik terhadap karya seni yang sedang diincarnya. Sebaliknya, si pencipta karya seni dengan hati berdebar-debar menunggu tanggapan pemerhati (kritik) terhadap karya seninya.
Apa sebenarnya kritik itu ? Kritik dapat diartikan sebagai penilaian yang mengungkapkan baik keistimewaan, kekhasan maupun kelemahan dari suatu karya cipta semata-mata dari kenyataan apa adanya yang ditunjukkan oleh karya cipta itu sendiri. Jadi melalui kritik seseorang meneropong aspek-aspek positif dan negatif dari suatu karya cipta, baik ciptaannya sendiri maupun ciptaan orang lain. Dengan kata lain, ia melakukan penilaian dan penimbangan seksama dan teliti terhadap karya tersebut.
Menurut Ballard & Clanchy (1984), penilaian atau pertimbangan yang seksama atau teliti itu dicapai melalui telaah atau analisis dan pertanyaan yang sistematik. Selanjutnya, menelaah (menganalisis) suatu masalah berarti mencoba memutuskan atau menetapkan: (1) unsur-unsur apa saja yang terkandung dalam masalah tersebut, (2) apa bukti-bukti keberadaannya atau sifat-sifatnya, (3) bagaimana unsur-unsur itu berhubungan satu dengan yang lain, dan (4) seberapa penting masing-masing unsur tersebut.
Keliru sebagai fitrah manusia
Kritik merupakan pengakuan bahwa manusia itu tidak sempurna, memiliki kelemahan dan mudah keliru. Tetapi keliru adalah fitrah manusia. Hal ini harus disadari sehingga keterbatasan atau kelemahan yang inheren dalam setiap manusia (dalam hal ini peneliti) seharusnya menjadi kekuatan. Kelemahan, keterbatasan atau kekeliruan bukanlah aib ! Namun, membiarkan kelemahan, keterbatasan dan kekeliruan menodai hasil karya penelitian kita sebagai peneliti adalah hal yang harus dihindari.
“Keliru itu indah†adalah sebuah judul tulisan dalam kolom “inovasi“ sebuah mingguan ekonomi (Gede Prama, 1998). Dalam tulisan singkat itu, penulis mengungkapkan bahwa manusia-manusia besar sepanjang zaman yang punya peran dalam mengangkat peradaban manusia adalah “kumpulan manusia keliru†di zamannya masing-masing. Tetapi hal-hal yang dikemukakan di atas tidak boleh digunakan sebagai alasan untuk melakukan penelitian secara seadanya, serampangan, atau asal-asalan. Sebagai suatu kegiatan ilmiah, peneliti wajib mengusahakan ketelitian dalam metode, prosedur, atau pendekatan, relatif terhadap tujuan yang ingin dicapai. Di sini kata relatif dipakai untuk menunjukkan bahwa tingkat ketelitian atau keakuratan yang dituntut adalah sejauh ia mampu memberikan gambaran yang cukup spesifik terhadap gejala yang diamati.
Bentuk-Bentuk Kritik
Kritik terhadap sesuatu ide atau karya dapat muncul kapan saja dan dalam berbagai manifestasi. Misalnya, keluhan konsumen terhadap suatu barang atau alat produk teknologi tertentu yang kurang atau tidak memuaskan dapat dianggap sebagai sebuah kritik. Ketika seorang peneliti merujuk dan mengomentari hasil-hasil penelitian terdahulu dalam suatu karya ilmiah, dia telah melakukan kritik terhadap ide atau karya itu. Dalam pertemuan ilmiah (seminar, dsb) kritik dapat langsung disampaikan kepada penyaji makalah dalam question time, atau dalam perbincangan informal selama jeda, misalnya. Penilai (reviewer) akan mengajukan kritik terhadap makalah yang diperiksanya dalam lembaran yang disediakan untuk tujuan itu. Dalam jurnal-jurnal ilmiah biasanya ada ruang (kolom) bagi pembaca untuk menyampaikan pendapatnya terhadap tulisan yang muncul dalam jurnal itu.
Dalam kenyataannya, kritik pada umumnya menekankan hal-hal negatif berupa kelemahan-kelemahan dari objek kritik. Hal inilah yang membuat sebagian kalangan tidak menerima kritik sebagai sesuatu yang wajar saja – seseorang tidak mau mengkritik agar (pada gilirannya) iapun tidak dikritik.
Penelitian Sebagai Suatu Kritik
Suatu penelitian adalah bentuk kritik terhadap penelitian (karya) sebelumnya dalam bidang yang sama. Dalam suatu penelitian ingin ditemukan jawaban (solusi) terhadap pertanyaan atau masalah yang belum terjawab. Dalam suatu usulan penelitian, misalnya, ditinjau suatu pokok permasalahan dengan menggali informasi dari berbagai literatur yang membahas masalah yang sama. Dalam bagian pendahuluan atau latarbelakang dikemukakan berbagai capaian dan kelemahan dari karya (penelitian) terdahulu, lalu beberapa aspek yang berupa kelemahan atau keterbatasan disorot lebih tajam sebagai alasan untuk melakukan penelitian lanjutan. Hal ini tidak lain adalah sebentuk kritik. Hasil dari penelitian ini pun kelak menjadi bahan kritik, sebab kebenaran ilmiah selalu bersifat relatif dan sementara, tidak pernah mutlak dan final.
Oleh karena kritik bisa ‘menelanjangi‘ kelemahan-kelemahan suatu penelitian, maka peneliti harus berusaha dalam batas-batas kemampuannya untuk meminimumkan kelemahan-kelemahan itu, tetapi bukan menyembunyikan-nya ! Hal ini dapat dilakukan dengan mengumpulkan informasi yang cukup (dalam bentuk literatur, data, dsb.), menerapkan metode yang baik dan benar, melakukan kritik diri (self-criticism) terhadap karya itu sendiri sebelum dipublikasikan. Sebaliknya, seorang pengkritik harus pula memahami secara umum topik yang menjadi sasaran kritiknya. Makin rinci dan tajam kritiknya, seharusnya ini menunjukkan makin rinci pula dia memahami seluk-beluk topik yang sedang dikritiknya.
Berpikir dan bersikap kritis
Berpikir dan bersikap kritis berarti tidak lekas percaya, selalu menaruh ‘curiga‘ dan keraguan terhadap sesuatu yang dianggap ‘fakta‘ atau ‘gejala‘ sebelum diketahui secara pasti (atau mendekati pasti) bahwa memang demikianlah adanya. Dengan kata lain, berpikir dan bersikap kritis berarti tajam dalam meng-analisis sesuatu fakta atau gejala.
Seorang yang berpikir kritis tidak mudah dipukau oleh suatu ‘fakta‘ atau ‘gejala‘, tidak mengambil kesimpulan sebelum melakukan investigasi dan analisis yang memadai. Seorang yang kritis juga tidak mudah dipukau oleh paparan, pendapat atau analisis orang lain, meskipun paparan, pendapat atau analisis itu datang dari seorang pakar di bidangnya. Ia tidak menilai kadar kebenaran dari suatu pernyataan berdasarkan siapa yang menyampaikannya tetapi berdasarkan apa dan isi dari yang dinyatakan.
Sikap kritis juga berarti menjauhi sikap latah (ikut-ikutan). Dalam beberapa waktu belakangan, misalnya, banyak bermunculan istilah-istilah atau ungkapan yang dari sisi kebahasaan kacau seperti: “suatu masalah-masalah ..â€*, “beberapa hal-hal …â€, dan sebagainya. Ungkapan-ungkapan rancu itu biasanya menyebar dengan cepatnya, dan tidak jarang menjangkiti para peneliti yang barangkali mengikutinya karena tidak mau ketinggalan atau memang sedang mengikuti trend.
Kritik diri (Self-criticism)
Sikap kritis tidak hanya ditujukan pada karya peneliti lain, melainkan dan terutama terhadap diri dan karya sendiri. Hal ini memang tidak mudah karena ‘ego‘ seseorang sering lebih kuat dan senantiasa berjaga-jaga untuk menutupi kelemahan diri. Tetapi kritik diri (self-criticism) harus bisa ditumbuh-kembangkan, mengingat bahwa yang memerlukan perbaikan dan yang berkepentingan memperbaikinya adalah diri sendiri. Lagi pula, tidak jarang hal-hal yang dirasakan sebagai kelebihan diri justru kebalikannya; demikian sebaliknya, hal-hal yang kita anggap kelemahan merupakan kelebihan yang belum didayagunakan. Yang pertama-tama menyadari semua hal itu (mestinya) adalah diri sendiri.
Dengan berlatih kritis terhadap diri atau karya sendiri, seorang peneliti akan dengan mudah menerima kritik pihak lain sebagai hal yang positif dan konstruktif. Demikian juga apabila ia harus mengkritik karya orang lain, hal itu dilakukannya karena terpanggil untuk memberikan sumbangan yang positif dan konstruktif terhadap karya itu.
Pentingnya Budaya dan Sikap Kritis
Mengapa sikap kritis harus ditumbuh-kembangkan ? Dalam masyarakat yang lemah daya kritisnya merajalela pembodohan, berkembang berbagai macam kemunafikan yang menguntungkan pihak tertentu dan merugikan pihak lain. Dalam masyarakat yang budaya kritisnya telah berkembang, ruang dan kesempatan terhadap pembodohan semacam itu dipersempit dan sikap egaliter berkembang.
Sikap dan budaya kritis menjadi semacam penangkal dari kesewenang-wenangan sikap atau tindakan satu orang (kelompok) terhadap orang (kelompok) lain. Masing-masing (orang / kelompok) lebih berhati-hati dalam bertindak, bersikap atau mengeluarkan pernyataan karena lingkungannya selalu memasang ‘mata pengawasan’ terhadapnya. Setiap individu makin terasah daya nalarnya karena setiap saat pendapat atau gagasannya dihadapkan pada penilaian objektif dan terbuka sehingga kecil sekali peluang baginya untuk sekadar mengeluarkan pendapat, pernyataan atau membuat kebijakan yang berimplikasi luas tanpa memikirkannya dalam-dalam, tanpa pertimbangan matang. Apabila dilakukannya juga, dia akan dihadapkan pada kecaman yang sangat tidak bersahabat.
Dalam lingkungan penelitian sikap kritis harus ditumbuhkan, dipelihara dan dikembangkan. Dalam penelitian, kritik ibarat angin yang menggoyang-goyang pohon (dalam hal ini penelitian) dari kecil hingga menjadi pohon yang rimbun. Goncangan-goncangan angin itu bermanfaat untuk memperkuat akar-akar, dan cabang-cabang pohon hingga ia tumbuh dan berdiri kokoh.
Ilmu dan teknologi tanpa kritik menjadi mandul, sulit berkembang. Demikian juga penelitian sebagai suatu aktivitas ilmiah sangat memerlukan kritik. Kritik akan selalu mengingatkan, menuding, memelototi, sehingga kehadirannya hampir selalu dianggap sebagai ‘pembuat onar’. Akan tetapi justru hal-hal inilah yang merupakan manfaat dari kritik. Dengan hal-hal itu seorang peneliti diharapkan selalu berusaha menghasilkan karya ilmiah yang terbaik dalam batas-batas kemampuannya. Jadi tidaklah pada tempatnya seorang peneliti alergi terhadap kritik.
Sayangnya, lingkungan penelitian sering menjadi hambatan utama untuk mempertajam daya kritis. Peneliti sering dipaksa menerima ‘sesuatu‘ tanpa diberi kesempatan (bahkan dilarang – secara terang-terngan atau secara samar-samar) untuk mengungkapkan pendapat tentang ‘sesuatu‘ itu. Seringkali kalangan peneliti disodorkan ‘paket-paket‘ program atau kebijakan yang sudah dikemas dari atas, dan kalangan peneliti (diasumsikan) otomatis mampu ‘mengunyahnya‘. Seringkali sikap kritis diartikan sebagai pembangkangan yang harus cepat-cepat diredam agar ‘virus‘ itu tidak menyebar ke mana-mana.
Bagaimana sikap kritis ditumbuh-embangkan ? Dalam lingkungan yang sangat terbatas, kegiatan-kegiatan ilmiah yang bersifat intern seperti seminar dan sebagainya dapat menjadi ajang latihan untuk bersikap kritis. Adalah jauh lebih baik dan bermanfaat mendapat / mengajukan kecaman dari / kepada teman-teman di kalangan sendiri untuk mempoles suatu karya penelitian sehingga “layak publikasi†ketimbang mendapat ‘cercaan‘ dari kelompok peneliti lain.
Rujukan:
- Ballard, B. & Clanchy, J., 1984: Study Abroad – A manual for Asian students, Longman, Kuala Lumpur.
- Gede Prama, 1998: Keliru Itu Indah, Artikel dalam kolom Inovasi mingguan berita Warta Ekonomi No. 24/X/, 2 November.
* Seingat penulis, frase “suatu masalah-masalah ..” muncul dari salah seorang petinggi militer beberapa tahun sebelum tahun “reformasi” 1998. Sejak itu, frase ini dengan cepat menyebar. Dalam sebuah khotbah di sebuah gereja, penulis pernah mendengar variannya: “suatu permasalahan-permasalahan …” Petinggi militer itu tak pernah lagi memakainya, tapi justru tetap melekat dalam ucapan rekan-rekannya.
Penelitian seakan-akan sebuah reparasi atas ketidaksempurnaan atas sesuatu yang telah dilakukan sebelumnya. Di sana ditampilkan sebuah etos dalam bentuk “kritik” yang seakan mengibas kekeliruan, kekurangan atau kelemahan [negatif] dan menjadikannya lebih sempurna.Sekilas itu semua benar dalam tulisan ini, karena memang semua itu bersifat relatif/sementara, tidak mutlak dan bukan final terlebih dalam sebuah narasi/fakta ilmiah.
Namun, seharusnya kita jangan berhenti pada ruang pemahaman yang seperti ini.Kritik, berpikir dan bersikap kritis bukan hanya mencari jawaban atas hal yang belum terjawab. Karena jika demikian, kita akan terjebak pada garis pemikiran linear, sekedar menyasar atau membedah tujuan yang masih belum ditemukan. Dan di samping itu akan ada kecenderungan menyingkirkan hal-hal yang tidak selaras dengan apa yang kita inginkan. Seharusnya, semua ini bergerak pada pencarian anima universal. Anima universal itu adalah transparansi semesta yang ada di sekitar kita, bahkan kendati kita tidak memiliki interest mencari sesuatu, semua itu sudah ada di sana. Dalam hal ini, kita mengambil perbandingan yang sederhana. Dalam wilayah pemikiran Barat selalu dibedakan antara putih dan hitam. Namun, pemikiran orang-orang Timur mengatakan dalam hitam ada putih dan sebaliknya. Maka, jika kita justru mengarah pada anima universal ini, kritik,berpikir,dan bersikap kritis bukanlah [sekedar] mencari jawaban dan meminimalisasi kelemahan atau “bertolak” pada kekurangan-kekurangan untuk menghasilkan suatu karya,atau juga [sekedar] memperkokoh sesuatu, namun terletak pada membukanya millieu yang hendak kita ketahui dengan membiarkannya [objek penelitian] menguraikan dirinya sendiri. Artinya kita membiarkan diri kita dituntun oleh objek sekaligus kita mengitari objek dari setiap tampakkannya. Maka, bukan hanya kita yang meminimalis kelemahan tetapi juga objek menampilkan ada-nya. Dengan demikian, kritik, berpikir dan bersikap kritis menampilkan etos “polarity management” yang harmonis.
Manusia yang merasakan getaran keindahan alam mengadakan semacam identifikasi spiritual dengan alam itu, bahkan alam memasuki kalbunya.
Dan sebaliknya: manusia memasuki alam, memeteraikan alam dengan kehadirannya, merasakan keindahan alam itu sejauh alam mengandung isyarat-isyarat yang melambangkan emosi dan pengalaman inderawi.
Para kawi (penyair) di Jawa pada zaman kerajaan Kediri dan Majapahit melukiskan pengalaman itu dalam kakawin-kakawin. Mereka berkelana ke pantai, mendaki lereng-lerang gunung untuk berjumpa dengan alam dan menangkap getaran keindahannya, lalu merasa terhanyut di dalamnya. Perasaan subjektif mereka proyeksikan ke dalam alam, dan sebaliknya alam bercerita tentang manusia.
Saling interpenetrasi antara manusia dan alam kita jumpai dalam “alam pikir mitis”-nya van Peursen. Sang professor dari Leiden itu mengingatkan kita pula, “alam pikir mitis” tidak hanya terbatas dijumpai pada manusia purba, tapi dalam manusia modern saat ini pun kadang-kadang alam pikir itu muncul.
Kelirumologi merupakan sindiran terhadap dunia ilmu pengetahuan. Dunia ilmu pengetahuan sekarang ini sudah terlalu banyak istilah. Banyak yang keliru lagi. Jadi kena polusi terminologi.
Kelirumologi bikin kepala pusing. Dan kelirumologi ini sendiri sebenarnya keliru. Artinya yang benar itu kelirulogi. Tapi, karena ilmu ini mempelajari kekeliruan, dia harus keliru sendiri. Jadilah keliru-mo-logi. Disisipkan mo, supaya keliru. Kalau nggak keliru, nggak relevan.
Jaya Suprana sendiri sering keliru. Tapi dia tidak suka kekeliruan, tidak menonjolkan orang untuk sengaja keliru. Manusia pasti keliru. Tapi jangan sampai kemudian ada orang keliru kemudian menyebutkan, “Saya kan nggak apa-apa keliru, karena menurut Pak Jaya Suprana boleh keliru.”
Jangan sengaja keliru. Justru letaknya peradaban manusia adalah menghindari keliru. Kerbau pun kalau sudah terperosok pada lubang, besok pagi pun nggak akan terperosok.
Kelirumologi adalah hasil dari permainan logika, bukan main-main. Kalau logika kita jalan, kita akan bisa.
Sumber: Jaya Suprana, Jangan Sepelekan Kentut, 1997.
Dedi Elfian Piliang: … “alam pikir mitis†tidak hanya terbatas dijumpai pada manusia purba, tapi dalam manusia modern saat ini pun kadang-kadang alam pikir itu muncul.
Bila seseorang manusia modern masih berkutat dalam “alam pikir mitis” ini, tanpa disadari sehari-hari dia menggunakan pelbagai produk yang disebut Auguste Comte sebagai tahap positif, boleh jadi tanpa disadari pula dia akan atau sedang mengalami kondisi kepribadian yang terbelah (skizofrenia).
Mungkin hanya kelirumologi lah yang dapat menjelaskan fenomena ini.
Kelirumologi merupakan piranti untuk menemukan secara logis kekeliruan supaya kekeliruan tidak direproduksi.
Artinya, kelirumologi adalah “kritik, berpikir dan bersikap kritis” a la orang timur yang ditemukan Jaya Suprana.
Menelaah kekeliruan, kelirumologi, bahkan kekeliruan dalam kelirumologi itu sendiri boleh-boleh saja, yang penting tetap hati-hati jangan sampai terjebak dalam kekeliruan melihat kekeliruan, sehingga kekeliruan tidak lagi terlihat keliru atau sebaliknya segala sesuatu menjadi tampak keliru, lalu samar apa atau siapa yang keliru.
Ketua E. Halawa*, apa kabar? Cara mengkritik yang cocok untuk republik ini seperti apa? Emangnya ketua E.Halawa * juga tukang kritik ya ? Peri bahasa mengatakan “Anjing menggonggong kafilah berlalu …….., Salam perjuangan 1/2 Merdeka !!!!!! ha…ha..ha..
is there any one who knows any source about this subject in other languages?
thankz infony sngt membantu 🙂
terima kasih, sangat bermanfaat bagi saya