Negara-Negara Berkembang Bersikap Tegas Tentang Protokol Kyoto
COPENHAGEN — Negara-Negara Berkembang memperingatkan akan bahaya meniadakan Protokol Kyoto dan memprotes usaha Denmark untuk menggantikannya dengan teks bersifat kompromi tanpa berkonosultasi dengan mereka.
“Kami telah melihat gelagat negara-negara maju yang menandatangani Protokol Kyoto untuk berusaha membubarkannya.†kata Nafie Ali Nafie, kepala delegasi Sudan, mewakili kelompok 77 dan Cina. Seperti diketahui, Protokol Kyoto mengikat negara industri yang menandatanganiya untuk memenuhi sasaran mengurangi emisi.
Kelompok negara-negara berkembang hadir pada perundingan-perundingan tingkat tinggi di Kopenhagen.
Nafie mengatakan negara-negara maju berniat merongorong “tanggung jawab bersama tapi berbeda†dengan membatalkan Protokol Kyoto.
Nafie dan perwakilan dari aliasni negara-negara kecil kepulauan menekankan dalam perundingan-perundingan akan perlunya mempertahankan struktur perundingan dua jalur, di mana Portokol Kyoto merupakan intrumen penting.
Mekanisme dua jalur meurujuk pada dua kelompok kerja Konferensi – satu bertugas mengamandemen Protokol Kyoto dan yang lain membahas aksi kerjasama jangka panjang.
Mekanisme ini diluncurkan dalam Rencan Aksi Bali (Bali Action Plan) 2007, dalam mana negara-negara maju diharapkan mengusulkan sasaran-sasaran pengurangan emisi untuk period kedua komitmen dari Protokol Kyoto setelah komitmen pertama berakhir 2012 dan mendiskusikan bagaimana membantu negara-negara berkembang dalam usaha mitigai dan adaptasi mereka terhadap perubahan iklim.
Perdana Menteri Ethiopia Males Zenawi, berbicara atas nama negara-negara Afrika, mengatakan pendanaan untuk adaptasi dan mitigasi seharusnya naik menjadi US$100 miliar per tahun pada tahun mulai 2020.
Ia mengatakan pendanaan sebaiknya dimulai pada tahun 2012 dan mencapai US$50 milyar pada tahun 2015, di mana dana itu dialokasikan untuk adaptasi negara-negara dan kawasan-kawasan miskin dan rentan seperti Afrika dan negara-negara kecil kepulauan.
Untuk jangka pendek, kata Zenawi, dana pemula sebesar US$10 milyar per tahun untuk periode 2010-2012 sebaiknya dialokasikan untuk melayani kebutuhan mendesak untuk adaptasi dan mitigasi. Ia juga menyarankan agar 40% dari dana awal ini diberikan kepada Afrika.
Menjelang dimulainya perundingan-perundingan tingkat tinggi, Cina dan sejumlah negara berkembang memprotes usaha Denmark selaku pemimpin pertemuan untuk mengajukan naskah draf hasil perundingan tanpa berkonsultasi dengan mereka.
“Ini merupakan proses yang melibatkan pihak-pihak. Tidak bisa begitu saja mengajukan draf yang datang dari langit,†kata Sun Wei, ketua delegasi perundingan dari Cina, setelah Denmark mengumumkan draf tersebut.
Telah desepakati bahwa basis diskusi yang sah dari hasil perundingan Kopenhagen hanyalah yang datang dari hasil kerja kedua kelompok kerja itu, kata Su.
Tindakan Denmark ini “akan sangat membahayakan hasil-hasil konferensi Kopenhagen.â€
Teks usulan Denmark juga mendapat kecaman dari India, Brazil dan negara-negara berkembang lain, tetapi pejabat iklim PBB Yvo de Boer berusaha mengecilkan makna langkah Denmark.
Kepemimpinan Denmark menyiapkan teks untuk “menawarkan perangkat untuk memfasilitasi proses pembuatan keputusan†karena sejumlah isu krusial masih perlu dituntaskan, katanya.
“Tetapi semua tergantung kepada pihak-pihak dan pemerintah-pemerintah yang diwakili di sini untuk memutuskan apa yang ingin mereka gunakan sebagai basis kerja,†kata Yvo de Boer kepada para wartawan.
Banyak negara menuntut kesepakatan iklim yang mengikat secara hukum di Kopenhagen, tetapi perbedaan pendapat antara negara-negara maju dan berkembang, terutama tentang pengurangan emisi dan pendanaan, makin mengikis harapan akan tercapainya kesepakatan itu.
Para pemimpin dunia sedang berdatangan di Kopenhagen untuk mendukung usaha-usaha mencapai kesepakatan. Perdana Menteri Denmark Lars Lokke Rasmussen akan menggantikan menteri Connie Hedegaard sebagai presiden pembicaraan iklim PBB pada pertemuan tingkat tinggi yang akan berlagsung minggu ini. (Xinhua/brk*)