Soal Paten Belum Serius: Pemerintah Harus Melindungi Pengetahuan Folklor
Pemerintah dinilai masih kurang serius menangani sertifikasi paten pada temuan-temuan teknologi yang sebenarnya dapat memacu pertumbuhan ekonomi nasional. Selama 16 tahun terakhir ada 118 temuan dan barang yang didaftarkan mendapat paten, tetapi hanya delapan yang lolos.
Kepala Bidang Pengelolaan Hak Kekayaan Intelektual pada Pusat Inovasi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Subiyatno, Senin (16/7), menyatakan, daftar pengajuan paten oleh LIPI sejak tahun 1991-2007 terdapat 118 judul penemuan, tetapi hingga kini baru delapan temuan yang patennya disertifikasi.
“Proses pemeriksaan paten sampai didapatkan sertifikasi resmi dari negara masih lambat. Sertifikasi itu bermanfaat untuk menawarkan kepada investor sehingga pada tataran komersialisasi dapat memacu pertumbuhan ekonomi nasional,” katanya.
Berbagai lembaga yang menangani masalah penelitian ataupun pengembangan produksi masalahnya sama. Proses pemeriksaan untuk sertifikasi paten berjalan lambat. Namun, menurut Subiyatno, paten yang diajukan pihak luar negeri di Indonesia relatif lebih cepat ditangani.
Berdasarkan buku Indikator Iptek Indonesia 2006 terbitan LIPI, perbandingan jumlah paten yang diminta luar negeri dan dalam negeri tidak berimbang. Pada tahun 2003, jumlah permintaan dari dalam negeri 202 paten, disetujui 16. Sementara dari luar negeri mengajukan 3.098 paten, disetujui 2.828.
Pada tahun 2004, dalam negeri mengajukan 235 paten—disetujui 33 paten, sedangkan yang diajukan dari luar negeri 3.434 paten, disetujui 2.610 paten.
Subiyatno mengungkapkan, pada saat proses pengajuan sertifikasi paten, proses produksi secara komersial oleh pihak yang mengajukan sertifikasi paten boleh berjalan. Kendala dihadapi ketika sertifikasi itu dibutuhkan untuk meyakinkan pihak lain atau investor yang akan mengaplikasikan temuan tersebut.
“Temuan teknologi yang didaftarkan patennya berlaku surut selama 20 tahun sejak didaftarkan. Selama proses memperoleh sertifikasi, ada proses publikasi dan uji substantif. Jika ada pihak lain memanfaatkan temuan itu selama masa publikasi dan uji substantif, tetap bisa disomasi, diminta ganti rugi,” katanya.
Kepala Bidang Kerja Sama Komersial dan Pemanfaatan Hasil Penelitian pada Pusat Inovasi LIPI Manaek Simamora mengatakan, sejauh ini baru 18 jenis hasil penelitian LIPI yang dapat dikomersialisasikan.
“Salah satu kendala komersialisasi hasil penelitian LIPI adalah tuntutan industri untuk melihat langsung hasil penelitian. Sementara LIPI hanya memaparkan konsep karena secara langsung tidak dialokasikan anggaran memproduksi hasil-hasil penelitian,” kata Manaek.
Harus bersikap
Menurut pengajar Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Agus Sardjono, Pemerintah Indonesia harus bersikap untuk melindungi pengetahuan tradisional dan folklor. Hal itu perlu karena perkembangan paten di dunia.
Banyak kasus perusahaan-perusahaan besar di negara lain yang memanfaatkan secara tidak sah warisan budaya kelompok masyarakat tertentu. Bahkan, ada yang secara perorangan mengklaim sebagai hak miliknya dengan dikuatkan paten.
Salah satu contoh di Indonesia, seorang perajin ukir kayu tradisional Bali harus membayar royalti kepada orang Amerika yang mempatenkannya. Padahal, jenis ukiran itu merupakan warisan budaya masyarakat lokal.
Kejadian serupa menimpa masyarakat petani dan komunitas lokal India yang memiliki tradisi khusus. Pengekspor varietas padi Basmati, produk masyarakat India, harus membayar paten kepada pengusaha AS yang telah mematenkannya.
Menurut Agus, salah satu rekomendasi perlindungan adalah yang bersifat memberi fasilitas kepada siapa pun dari Indonesia yang memperjuangkan hak-hak masyarakat lokal. Atau, fasilitas orang asing yang berminat memanfaatkan warisan budaya secara ekonomis bisa dengan menyebutkan atau mengakui hak-hak lokal serta memberi manfaat secara langsung kepada mereka. (GSA)
Sumber : Kompas, 17 Juli 2007