Selamat Tinggal Rasionalitas!
Catatan: Tulisan berikut ditemukan Redaksi secara kebetulan di internet, dan sudah berumur 5 tahun (ditayangkan di Suara Pembaruan tahun 2002), namun masih cukup relevan.
Oleh Benny Susetyo Pr
Belakangan ini masyarakat bawah terjangkiti demam sebuah lagu dangdut yang mengupas peran Mbah Dukun untuk meluluskan cinta seorang pemuda, melalui jampi-jampi dan kekuatan alam gaib. Pada saat yang sama, ternyata demam alam gaib itu tidak saja dialami oleh masyarakat bawah, bahkan masyarakat kelas atas juga ditimpa hal yang sama. Mereka dibuai dalam mimpi tentang hartakarun.
Cerita harta karun itu bukan cerita untuk anak-anak kecil yang mau tidur saja, ternyata masyarakat yang telah mengklaim diri sebagai pewaris zaman pencerahan juga masih sangat mempercayai harta karun.
Geger penggalian harta karun di Batutulis Bogor merupakan cermin semakin bingungnya negeri ini dalam menghadapi krisis multidimensional. Situs bersejarah yang diduga menyimpan harta karun itu tidak saja menarik untuk dikaji secara mendalam mengapa terjadi, melainkan juga karena melibatkanpejabat publik sekelas Menteri Agama. Realitas seperti itu sebenarnya menggambarkan sebuah realitas kekuasaan yang absurd (kosong). Daya nalar sudah mati, dan apa pun bisa dilakukan. Tidak peduli, meminta to- long padaIMF sampai pada hantu.
Kekuasan yang absurd itu menjelma menjadi irasionalitas yang sulit untuk dijangkau dengan nalar, sebab di dalamnya ada kekuatan supranatural yang tentu saja tidak bisa dinalar. Itulah sebenarnya cermin dari kekuasaan kita yang tidak percaya pada kekuatan sistem dan juga kekuatan pikiran manusia.
Sudah menjadi rahasia umum bahwa sejak zaman Bung Karno, Pak Harto, Gus Dur, sampai Bu Mega, para petinggi kita sedikit banyak dikelilingi oleh kekuatan supranatural. Terutama cerita klenik Pak Harto yang sangat terkenal itu.
Dasar Pemerintahan
Kita perlu mengingat bahwa berulangkali Bung Hatta meletakkan dasar-dasar pemerintahan secara rasional yang bisa dikontrol. Dengan meletakkan sistem pemerintahan yang memiliki mekanisme, maka hal itu memungkinkan sebuah kinerja yang bisa diawasi. Namun, lama-kelamaan kekuatan daya kharisma selalu mengalahkan kekuatan sistem rasional yang dibangun itu. Ini membawa akibat lahirnya peristiwa-peristiwa yang menggetirkan dan menggelikan itu.
Peristiwa itu bukan dilakukan rakyat biasa tetapi seorang intelektual yang memiliki kemampuan nalar sekaligus seorang yang ahli agama. Tapi mengapa realitasnya bisa berubah seratus derajat? Dari mana ide itu tiba-tiba
diperoleh tanpa mempertimbangkan dimensi keintelektualannya? Rupanya publik menjadi terheran-heran akan peristiwa yang terjadi di Batutulis, Bogor itu.
Mungkin publik tidak melihat apa yang ada di balik peristiwa itu sebenarnya sebagai sebuah cerminan betapa merosotnya mutu kenalaran seseorang, ketika daya nalar bisa dikalahkan oleh kekuatan magis. Sebenarnya peristiwa itu merupakan bagian dari ketidakmampuan kekuasaan untuk melihat realitas yang terjadi. Seorang ahli sosiologi Max Weber pernah mengingatkan akan kemampuan manusia untuk membaca realitas. Kemampuan untuk membaca realitas itulah yang perlu dimiliki oleh mereka yang berkuasa. Mengapa? Agar mereka tidak salah
menangkap realitas. Realitas masyarakat sangat membutuhkan pemerintahan yang berwibawa, bersih, jujur dan menegakkan keadilan.
Namun realitas itu dibaca secara salah oleh kekuasaan. Kekuasaan melihat bahwa pemerintah butuh uang karena kebutuhan itu yang paling urgen. Demi menjaga nama kekuasaan agar bisa terus lestari maka daya nalar dimatikan digantikan dengan kekuatan klenik.
Tidak Berdaya
Realitas itu menunjukkan bahwa sebenarnya pemerintahan saat ini sudah tak berdaya lagi. Ketidakberdayaan itu terjadi karena fungsi manajemen pemerintahan tidak berjalan. Terjadi kemandekan proses yang rasional dan
bisa dimengerti semua pihak. Realitas yang sebenarnya terjadi dalam dinamika masyarakat adalah ketidakmampuan yang berujung pada sikap frustrasi. Ketika kekuasaan merasa frustrasi maka ketidakmampuan membaca realitas itu paling mudah menjual impian, yaitu mitos harta karun.
Jadi, realitas itu sebenarnya mencerminkan kondisi elite politik yang telah kehilangan orientasi. Mengapa hal itu terjadi? Karena para elite politik kurang dewasa. Seperti pernah dikatakan oleh Kant bahwa ketidakdewasaan
adalah ketidakmampuan untuk mempergunakan pemikiran sendiri tanpa bimbingan orang. Ketidakdewasaan itu merupakan kesalahan sendiri, yakni ketidakmampuan untuk berpikir. Di samping itu juga karena orang tidak memiliki ketegasandan keberanian untuk mempergunakan pemikirannnya tanpa bimbingan orang lain.
Di sinilah letak persoalan betapa mudahnya para pemimpin kita terjebak pada ketergantungan penasihat spiritual yang mempengaruhi segala keputusan publik, yakni karena pemimpin tidak berani mengambil risiko atas keputusannya sendiri. Semua keputusan diselesaikan di bawah meja tanpa sepengetahuan publik. Akibatnya, penasihat spritual begitu laku dipakai oleh para elite politik hanya sekadar untuk menghibur bahwa kekuasannya tetap lestari. Demi itu, semua saran dukun pun tidak lagi dinalar dengan mempertimbangkan aspek yang lain. Di situlah uniknya negeri ini: kehidupan beragama sangat kuat di satu sisi tapi di sisi lain, perdukunan juga begitu
kuat.
Realitas itu riil terjadi tanpa kita bisa menolak. Realitas seperti itu ada dalam lingkaran kekuasaan politik Indonesia. Oleh karena itu, realitas itu harus dibaca sebagai ketidakmampuan elite politik untuk mengatasi persoalan krisis multidimensional. Lantas karena ketidakmampuan itulah mereka lari mencari jimat dan pusaka.
Ada juga dugaan kuat bahwa sebenarnya ini adalah gejala untuk mengalihkan perhatian terhadap ketidakmampuan seorang pemimpin. Bila realitas itu yang terjadi, maka selamat tinggal dunia rasionalitas. Bila itu ditinggalkan di ruang publik, maka segalanya akan sulit untuk dikontrol karena semua serba absurd dan maya. Segala yang absurd memang sulit untuk dinalar, dan ironisnya hal itu justru dijadikan sebagai logika kekuasaan.
Maka, silakan saja bongkar prasasti di Batutulis, dan selamat tinggal rasionalitas!
Penulis adalah budayawan, tinggal di Malang.
Sumber: SUARA PEMBARUAN DAILY, 27/8/2002