Penderitaan Nias Belum Usai
Penduduk Masih Tinggal di Tenda dan Rumah DaruratPERISTIWA gempa bumi yang melanda Pulau Nias, Sumatra Utara sudah berlalu satu setengah tahun yang lalu. Jasad 850 korban manusia yang tewas dalam peristiwa itu kini tinggal tulang belulang. Tetapi, peristiwa yang memilukan dan menghancurkan 13.000 unit rumah penduduk itu masih menyisakan banyak pekerjaan.
Selain menghancurkan rumah penduduk sebanyak itu, juga sedikitnya 30.000 rumah penduduk lainnya rusak di atas 50 persen. Sarana dan prasarana juga rusak. Sejumlah ruas jalan terputus dan hingga sekarang belum seluruhnya diperbaiki secara total. Demikian juga gedung-gedung pendidikan dan sarana peribadatan yang menjadi korban gempa tersebut masih terlihat seolah-olah belum tersentuh pembangunan.
Tahun 2005 lalu, melalui APBN pemerintah menyediakan dana Rp 450 miliar untuk rehabilitasi kembali Pulau Nias yang terdiri dari dua kabupaten itu, yaitu Kabupaten Nias dengan Ibukota Gunung Sitoli dan Kabupaten Nias Selatan dengan Ibu Kota Teluk Dalam. Dana sebesar itu terbagi dalam 21 satuan kerja dan ratusan paket proyek.
Dana sebesar itu lebih diprioritaskan untuk pembangunan sarana pelabuhan yang rusak, termasuk Bandara Binaka di Gunung Sitoli. Bandara ini merupakan satu-satunya sarana penghubung udara ke pulau tersebut. Sementara pelabuhan laut terdapat di Gunung Sitoli dan di Teluk Dalam. Dana sebanyak itu pula digunakan untuk membangun jalan, jembatan dan sekolah yang rusak akibat gempa tersebut.
Praktis, dana sebesar itu hanya menyentuh sebagian kecil rumah penduduk. Tahun lalu, rumah penduduk yang dibangun dari dana tersebut hanya 1.100 unit. Tentu, selain yang dibangun lewat dana APBN itu, ada sejumlah rumah penduduk yang dibangun secara langsung oleh lembaga swadaya masyarakat (LSM), baik itu dari dalam negeri maupun luar negeri.
Pembangunan rumah sebanyak itu bisa mencapai hasil maksimal, walaupun Kantor Perwakilan Badan Rekonstruksi dan Rehabilitasi (BRR) Nias baru ada pada bulan Juni 2005 dengan fasilitas yang sangat minim, termasuk belum memiliki kantor. Praktis, segala kegiatan yang berkaitan dengan rehabilitasi dan dana bagi Pulau Nias, masih terpusat di Banda Aceh.
Kini, gempa bumi itu sudah berlalu satu tahun enam bulan. Penduduk yang menjadi korban gempa masih banyak yang berada di tenda-tenda darurat. Ada banyak persoalan yang dihadapi dalam pembangunan kembali rumah penduduk tersebut. Di antaranya, ada penduduk yang menjadi korban gempa, rumah yang ditempatinya hancur, tetapi lahan bukan miliknya. Ini menyulitkan pembangunan rumah penduduk oleh BRR yang dilakukan melalui kontraktor.
“Tahun 2006 ini pemerintah menyediakan dana Rp 1,1 triliun untuk rekonstruksi dan rehabilitasi di Pulau Nias. Tahun ini, BRR merencanakan membangun 7.500 unit rumah penduduk yang hancur. Total dana yang disediakan untuk pembangunan rumah penduduk itu Rp 400 miliar. Selain tentu juga membangun sarana dan prasarana lainnya yang rusak. Hingga sekarang, 25-30 persen pembangunan rumah itu sudah jalan,” kata Manajer Komunikasi BRR Nias Emanuel Migo kepada “PR”.
Migo tak menampik banyaknya kendala yang dihadapi dalam merehabilitasi kembali kerusakan yang terjadi di pulau berpenduduk 712.075 jiwa (sensus penduduk Desember 2005). Kendala tidak hanya datang dari keterbatasan BRR yang baru ada di pulau yang bisa ditempuh dengan penerbangan sekira satu jam dari medan itu. Kendala juga datang dari penduduk, kontraktor maupun pedagang bahan bangunan yang tiba-tiba menaikkan harga.
Masalah lainnya juga menyangkut ketersediaan logistik, seperti pengadaan kayu yang kurang memadai. Harus didatangkan dari luar Nias. Tak ada kayu yang diambil dari Nias, karena kualitasnya kurang bagus, selain tentu dimaksudkan untuk menghindari pencurian kayu pada lahan-lahan kehutanan (hutan lindung yang ada).
Lambannya pembangunan perumahan menyebabkan sejumlah penduduk masih tinggal di tenda-tenda pengungsian atau rumah-rumah penampungan sementara. Tak sedikit penduduk yang cukup menderita karena sudah satu setengah tahun berada di tenda. Ada tenda yang sudah bocor, sehingga jika hujan turun menjadi sangat tidak nyaman.
“Kami kesusahan di tenda. Kasihan anak-anak. Kalau musim hujan bocor. Malam hari kedinginan dan banyak nyamuk,” kata Siti Asnah (27), pengungsi yang masih “bertahan” bersama suami dan dua anak-nya di samping Masjid Raya Al-Furqon, Gunung Sitoli.
Kalaupun bahan bangunan ada, ketersediaan transportasi menjadi masalah. Makanya, jangan heran jika kayu yang diangkut dengan kapal bisa berminggu-minggu, bahkan berbulan-bulan tergeletak di pinggir laut. Ini seperti terlihat di pinggir pantai di Desa Lagundri, Teluk Dalam ketika “PR” berkunjung pada akhir Mei lalu.
Kendala lainnya adalah terhadap rumah penduduk yang berada di pedalaman yang belum bisa dilalui kendaraan roda empat. Namun, untuk mengantisipasi itu semua, pihak BRR pun mengajak masyarakat dan aparat pemerintah setempat untuk mencari jalan keluar bagi percepatan pembangunan rumah penduduk itu.
Pihak BRR melakukan seleksi ketat untuk pembangunan rumah penduduk. Unsur keadilan juga ditonjolkan. Misalnya, tahun lalu dari 1.100 unit rumah yang dibangun, dibagi di beberapa desa. “Jika satu desa ada 100 unit rumah yang rusak, tidak mungkin seluruhnya dibangun di situ. Makanya, masih ada yang belum dibangun dan ada yang sudah dibangun di desa yang sama. BRR itu bukan pilih kasih. Dari 100 unit rumah yang rusak itu, BRR meminta kepala desa melakukan musyawarah dengan warganya dan menetapkan skala prioritasnya,” ujar Migo.
Migo tidak menampik kemungkinan adanya unsur yang kurang enak dalam menetapkan skala prioritas lewat musyawarah itu. Misalnya, yang diprioritaskan adalah rumah famili atau kerabat aparat desa yang rusak. BRR tidak mungkin turun ke 90 desa yang rusak parah akibat gempa itu.
Mengenai keterlambatan bahan bangunan yang terjadi belakangan ini, Migo pun menegaskan, hal itu sepenuhnya menjadi tanggungjawab kontraktor yang menjadi rekanan BRR. Kalau pengadaan kayu, itu menjadi tanggung jawab BRR. Tetapi, kalau bahan bangunan lainnya, menjadi tanggung jawab kontraktor.
Meski demikian, BRR tidak akan tinggal diam jika terjadi kekosongan bahan bangunan, apalagi hal itu menyebabkan pembangunan rumah penduduk terhenti. “Kalau sampai pembangunan terhenti akibat bahan bangunan yang tidak tersedia, tetap saja yang disorot adalah BRR, bukan kontraktornya. Padahal, itu menjadi tanggung jawab penuh kontraktornya,” jelasnya.
Penduduk Nias memang menginginkan percepatan pembangunan rumahnya. Mereka sudah tidak tahan lagi tinggal di tenda-tenda pengungsian maupun di rumah-rumah darurat yang disediakan BRR maupun LSM. (H.Mangarahon Dongoran/”PR”).***
Sumber: Pikiran Rakyat Online, 2 Oktober 2006