Tribalisme: Sisi Gelap Otonomi Daerah
Basyral Hamidy Harahap*
Mr. Dzulkarnain: “Kita tidak pikir pada Tapanuli, sebab kita belum mengetahui bagaimana pendapatan Tapanuli”
Dr. H.J. van Mook: “Saja maksud, bagaimana pikiran orang Batak?”
Dr. Nainggolan: “Djika Daerah Istimewa Sumatera Timur bediri sendiri, ini berarti kematian Batak.”
Itulah petikan notulen dialog Dr. H.J. van Mook dengan tokoh-tokoh Melayu dalam merancang pembentukan Negara Sumatera Timur di Medan tanggal 2 Oktober 1947. Kalimat penuh makna itu patut dijadikan pelajaran dari sejarah, karena sejarah mencatat pertemuan itu merupakan bagian dari gerakan mencabik-cabik bangsa kita.
Perasaan kelompok masyarakat yang diikat oleh satu kepemilikan bahasa, kebudayaan, agama, adat istiadat dan teritorial menimbulkan semangat kekitaan pada warganya. Semangat ini sekaligus menumbuhkan sikap yang seragam dalam berhadapan dengan orang luar. Anggota masyarakat itu dengan mudah mengidentifikasi kelompok sendiri dan kelompok orang luar. Maka ada kecenderungan kuat memandang orang luar sebagai ancaman terhadap eksistensi dan kepentingan kelompok sendiri.
Faham semacam itu termasuk tribalisme yang menampilkan masyarakat dalam kelompok-kelompok yang diikat oleh semangat kesatuan yang kuat sampai pada semangat kesatuan dalam organisasi politik yang bermuatan solidaritas kebersamaan menghadapi orang luar. Bahkan spiritualitas tribalisme dalam skala yang lebih besar dapat berupa negara kebangsaan. Warga masyarakat itu memiliki semangat persatuan yang hakiki sebagai warga tribe, suku, atau negara. Warga kelompok itu memperlihatkan perilaku saling memiliki dan saling menolong. Tetapi perlu diingat bahwa tribalisme dapat juga mengesampingkan semangat nasionalisme (Tribalism may replace nationalism), karena semangat tribal yang menggebu-gebu.
Pastilah motto bangsa Indonesia Bhinneka Tungga Ika lahir dari pemikiran terhadap bahaya tribalisme, karena bangsa Indonesia memiliki keaneka-ragaman suku, agama dan tradisi kebudayaan yang menonjol. Maka amatlah penting semboyan persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia sebagai warga Negara Kesatuan Republik Indonesia. Otonomi daerah seyogianya merupakan bagian dari semangat ke-bhineka tunggal ika-an itu. Tetapi kenyataan menunjukkan betapa gerakan kedaerahan di negeri kita senantiasa bermuatan semangat tribalisme. Udang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 Tentang Pemerintahan Daerah menegaskan dalam konsiderannya, bahwa sistem pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia menurut Undang-Undang Dasar 1945 yang memberikan keleluasaan kepada Daerah untuk melaksanakan Otonomi Daerah. Fakta-fakta di lapangan telah membuktikan bahwa UU No. 22 Tahun 1999 itu memacu semangat tribalisme. Hal itu dapat dirujuk pada Pasal 76 UU yang menegaskan bahwa Daerah mempunyai kewenangan untuk melakukan pengangkatan, pemindahan, pemberhentian, penetapan pensiun dst
Pasal ini tampaknya telah menjadi senjata ampuh untuk memutasikan orang-orang yang berasal dari luar daerah yang bersangkutan. Orang dengan mudah dapat menunjukkan contoh-contoh kejadian serupa itu di tingkat propinsi antar kelompok etnis. Bahkan yang lebih tajam lagi semangat tribalisme dapat terjadi di kalangan antar kelompok masyarakat dalam satu kabupaten.
Dalam hubungan ini saya tertarik untuk menyinggung maraknya gerakan yang menghendaki pembentukan Provinsi baru di dua bekas Keresidenan di Sumatera, bekas Keresidenan Sumatera Timur dan bekas Keresiden Tapanuli yang bernuansa tribalisme. Saya mensinyalir, bahwa di balik semboyan peningkatan kesejahteraan masyarakat Sumatera Timur atau Tapanuli, ada muatan semangat tribalisme. Kita mengetahui bahwa Sumatera Timur diidentifikasikan sebagai daerah masyarakat dan budaya Melayu, sedangkan Tapanuli diidentifikasikan sebagai daerah masyakarat dan budaya Batak, walaupun ada tiga puak Batak lagi di luar Tapanuli: Karo, Pakpak dan Simalungun.
Pada hakikatnya pembentukan Provinsi Sumatera Timur praktis menghapus nama Provinsi Sumatera Utara. Karena sebagian besar wilayah Sumatera Utara adalah wilayah bekas Keresiden Sumatera Timur itu. Dengan demikian, wilayah yang tersisa adalah terutama bekas Keresidenan Tapanuli.
Saya tertarik pada notulen yang menceritakan keberangkatan Mr. Dzulkarnain tanggal 11 Agustus 1947 ke New York sebagai anggota delegasi Belanda menghadiri Sidang Dewan Keamaman Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk membicarakan Masalah Indonesia, dan laporan tentang pertemuan Gubernur Jenderal H.J. van Mook ketika bertatap muka dengan tokoh-tokoh Sumatera Timur pada tanggal 2 Oktober 1947 di Medan. Pertemuan itu diselenggarakan dalam rangka pembentukan Negara Sumatera Timur. Ketika itu dua tokoh utama Sumatera Timur tampil, ialah anggota delegasi Belanda ke PBB yang sudah kembali ke Indonesia, Mr. Dzulkarnain, dan Dr. Mansur yang kelak menjadi Wali Negara Sumatera Timur.
Van Mook dalam tatap muka itu antara lain menanggapi penjelasan Dr. Mansur, sebagai berikut:”Saja bermaksud begini: Saja mendapat kesan bahwa Komite ini memang mempunjai pengikut (aanhang). Di lain pihak saja pikir, bahwa ada penduduk jang hendak menambah Komite dengan wakil-wakil lain. Saja mengerti tentang kedudukan zelfbestuur, ini masih satu tanda tanya. Tetapi saja usulkan, supaja beberapa wakil dari zelfbestuur duduk dalam Komite, jang diundjukkan oleh zelfbestuur. Penduduk sepakat bahwa daerah ini akan mendjadi daerah istimewa, bahwa perlu satu organisatie jang baik, bahwa daerah ini tidak mengakui kekuasaan Djokja. Dari itu saja anggap ada baik, djika mereka duduk djuga dalam Komite. Tentang soal-soal penting mereka telah setudjui, djanganlah kita berselisih tentang hal-hal jang ketjil-ketjil.”
Pada bagian lain tatap muka itu, Mr. Dzulkarnain berbicara tentang Tapanuli, sebagai berikut: “Kita tidak pikir pada Tapanuli, sebab kita belum mengetahui bagaimana pendapatan Tapanuli.” Van Mook bertanya:”Saja maksud, bagaimana pikiran orang Batak?” Dr. Nainggolan yang hadir dalam tatap muka itu menjawab: “Djika Daerah Istimewa Sumatera Timur berdiri sendiri, ini berarti kematian Batak.”
Kata-kata Dr. Nainggolan dalam tatap muka dengan Van Mook itu memiliki makna yang luas, termasuk kekhawatiran pada munculnya gerakan tribalisme di Sumatera Timur yang merugikan orang Batak. Agaknya kata-kata Dr. Nainggolan itu masih bergaung sekarang ini. Ini yang mesti direnungkan oleh orang-orang Tapanuli, dalam hal ini Batak Toba, untuk mengurungkan niatnya membentuk Provinsi Tapanuli.
Prof. Dr. Lance Castles di dalam disertasinya The Political Life of Sumatran Residency: Tapanuli 1915-1940, menegaskan bahwa persatuan antara Utara dan Selatan – maksudnya antara orang Batak Toba dan Angkola Mandailing – adalah sesuatu yang sulit dilaksanakan. Disertasi yang dipertahankan di Yale University tahun 1972 ini, banyak dirujuk orang dalam berbagai tulisan dan penelitian tentang sejarah lokal dan politisasi etnis di Indonesia.
Saya sebagai penulis Kata Pengantar edisi Indonesia disertasi Dr. Lance Castles itu menekankan dalam Kata Pengantar itu, bahwa sinyalemen Dr. Lance Castles antara tahun 1915-1940 itu sampai kini masih terbukti. Disertasi itu diterbitkan oleh Kepustakaan Populer Gramedia di penghujung tahun 2001 di bawah judul Tapanuli: Kehidupan Politik di Suatu Keresidenan Sumatera 1915-1940.
Hal ini telah terlegitimasi dalam hasil-hasil pemilu 1955 yang menunjukkan bahwa Tapanuli Utara adalah negeri Kristen 67,38% dan Tapanuli Selatan adalah negeri Islam 75,45%. Hal ini saya paparkan di dalam makalah saya The Political trends of South Tapanuli and its reflection in general elections: 1955, 1971 and 1977 yang saya bacakan pada International Interdisciplinary Symposium on Cultures and Societies of North Sumatra yang diselenggarakan di Universität Hamburg, Jerman, pada akhir November 1981. Makalah tersebut dimuat dalam proceedings simposium itu yang diterbitkan pada tahun 1987 oleh Dietrich Reimer Verlag di Berlin dan Hamburg di bawah judul Cultures and societies of North Sumatra.
Secara sosial, budaya dan agama keduanya memiliki potensi konflik dan sulit dipersatukan dalam satu wadah yang khas orang Toba dan Angkola-Mandailing, seperti Provinsi Tapanuli itu. Hal ini telah dibahas oleh Prof. Usman Pelly dalam Harian Analisa edisi 28 Agustus 2004 yang terbit di Medan. Mahaguru yang juga sosiolog itu menegaskan bahwa pembentukan Provinsi Tapanuli akan membawa banyak kontroversi.
Gagasan pembentukan Provinsi Tapanuli sendiri ditolak oleh masyarakat di tiga daerah tingkat dua di wilayah Selatan, ialah Kabupaten Tapanuli Selatan (Tapsel), Mandailing-Natal (Madina) dan Kota Padangsidimpuan. Masyakarat di daerah itu menyatakan, jika Provinsi Tapanuli dibentuk, maka ke tiga daerah itu sama sekali tidak ikut bergabung di dalam Provinsi Tapanuli itu.
Bahkan reaksi yang lebih keras muncul dengan gagasan lain untuk membentuk Provinsi Tasmanlaba (Tapanuli Selatan, Mandailing-Natal dan Labuhan Batu). Gagasan ini lahir dari fakta peta wilayah etnis Mandailing-Angkola dan peta agama. Suara-suara yang saya dengar di kalangan DPRD Madina lebih tajam lagi, yang dapat disimpulkan, seandainya Provinsi Tapanuli dibentuk lebih baik Kabupaten Madina bergabung dengan Provinsi Sumatera Barat atau membentuk Provinsi sendiri. Kedua alternatif ini bisa terjadi.
Soal bergabung dengan Sumatera Barat, agaknya mendapat dukungan secara kultural dan agama. Lebih-lebih penduduk Kabupaten Pasaman yang berbatasan dengan Kabupaten Madina banyak yang berasal dari Madina. Bahkan penduduk Pasaman yang berbahasa Minangkabau dan Pesisir fasih juga berbahasa Mandailing.
Dengan demikian, jika Provinsi Tapanuli juga tetap dibentuk, maka daerahnya hanyalah Tapanuli Utara sebelum pemekaran. Sebab Kabupaten Nias tentu saja enggan bergabung dengan Provinsi Tapanuli, karena masyarakat dan budaya Nias sama sekali berbeda dengan masyarakat dan budaya Batak Toba.
Provinsi Tapanuli yang seperti itu akan mengalami kesulitan besar dari segi ekonomi, karena subsidi minyak yang selama ini berasal dari Provinsi Sumatera Utara akan hilang. Sementara itu sumber daya alam Provinsi Tapanuli itu tidak akan cukup membawa masyarakat setempat ke tingkat yang lebih sejahtera dari yang sekarang. Selain itu terjadi pula proses pemecah-belahan bangsa yang semakin deras. Agresivitas etnis pun cenderung akan meningkat. Lihatlah keadaan yang sekarang berlangsung di Batang Toru, keresahan yang terus meningkat sebagai dampak dari penambangan emas yang didominasi etnis dan agama tertentu di wilayah itu.
Saya sebagai pemerhati masalah-masalah masyarakat Batak Toba dan Angkola-Mandailing, menganjurkan agar gerakan pembentukan Provinsi Tapanuli itu segera dipadamkan. Jalan keluarnya ialah meningkatkan pemberdayaan dan kesejahteraan masyarakat di seluruh wilayah Provinsi Sumatera Utara. Jadi biarkanlah Sumatera Timur dan Tapanuli tetap bergabung dalam satu Provinsi Sumatera Utara yang kuat dan multi etnis tetapi rukun dan damai, daripada terpecah belah menjadi dua provinsi yang sarat dengan semangat tribalisme
Fakta-fakta historis menunjukkan walaupun Sumatera Utara didiami penduduk multi etnis, namun situasi sosial budaya di provinsi itu termasuk yang paling tenteram terhindar dari konflik etnis. Sebab segala pihak senantiasa memelihara terciptanya equilibrium. Pengalaman masyarakat Sumatera Utara seperti ini, agaknya patut ditiru oleh daerah-daerah lain. Percayalah dengan pembentukan Provinsi Sumatera Timur dan Provinsi Tapanuli, akan merusak keseimbangan semangat etnisitas masyrakat Sumatera Utara.
Inilah sisi lain otonomi daerah, yaitu legitimasi tribalisme yang berpotensi menimbulkan ancaman bagi semangat persatuan dan kesatuan bangsa.
Tokyo, 17 Februari 2006.
Catatan:
- Naskah asli artikel ini disertai surat pengantar yang lebih panjang dari artikel ini dan beberapa buku yang saya tulis, saya serahkan kepada Mendagri Hari Sabarno melalui sekretarisnya di kantor Mendagri pada tanggal 4 April 2002. Redaksi Jurnal Otonomi Daerah memakai artikel dan surat pengantar itu menjadi tulisan berjudul BIARKANLAH PROPINSI SUMATERA UTARA TETAP UTUH SEPERTI SEKARANG yang dimuat dalam vol. I, no. 6 edisi Juni 2002 hal. 44.
- Mendagri Hari Sabarno menyatakan dialam Konperensi Gubernur di Semarang, 9 April 2002, bahwa tidak ada pembentukan provinsi baru. Pemerintah pusat tetap konsisten untuk tidak membentuk Provinsi Tapanuli. Hal ini ditegaskan Mendagri Hari Sabarno di Medan 10 September 2004 yang menjadi berita utama Harian Analisa terbitan 11 September 20024 berjudul MENDAGRI: RENCANA PEMBENTUKAN PROPINSI TAPANULI TAK AKAN DIPROSES. Berita tersebut saya muat di dalam BLOG ini.
- Artikel TRIBALISME: SISI GELAP OTONOMI DAERAH yang dimuat di halaman ini telah saya sunting ulang dan saya tambah antara lain dengan pendapat Prof. Usman Pelly yang mengatakan bahwa pembentukan Provinsi Tapanuli akan menimbulkan banyak kontroversi.
*Catatan: Redaksi menemukan tulisan ini dalam blog Basral Hamidy Harahap yang kiranya perlu dibaca dan relevan diketengahkan dalam diskusi ini.
Yth, sdr Basral Hamidy Harahap
untuk menambah wawasan tentang Tasmanlaba dan arus gerakan yang teranyar, mohon kiranya dapat memberikan informasi-informasinya.
Tertanda
FD Harahap