Sebaiknya Yang Kita Lakukan
M.J. Daeli
Rangkuman sementara dari diskusi ini telah disusun oleh Saudara E. Halawa dengan baik. Ternyata hasil renungan para penulis banyak yang dapat dijadikan bahan pemikiran selanjutnya. Harapan dapat lebih mendekati sasaran “kepedulian†yang “digelisahkanâ€.
Dalam tulisan “Saran Untuk Direnungkan Bersama†saya mengajak semua pihak agar menghindari diskusi terhadap hal-hal yang seharusnya tidak problem menjadi problem. Dengan demikian, dalam proses mencapai tujuan tidak terbebani masalah – masalah, terutama segi psikologis, yang tidak perlu. Apalagi kalau yang didiskuskan itu sangat mudah menimbulkan salah tafsir.
Memang, bagi yang peduli pembangunan Tanö Niha, pengalaman pelaksanaan pembangunan selama ini terasa “menyakitkanâ€. Yang selanjutnya menimbulkan “rasa gelisah†bila menatap ke depan, seperti tersirat dalam tema diskusi ini. Tetapi tentu kita tidak perlu terus membuang tenaga memikirkan hal itu. Taruhlah itu pengalaman buruk.
Sekarang setelah menyadarinya, yang terbaik adalah kita berupaya berbuat sesuatuuntuk “perbaikan di masa depanâ€.
Ono Niha sebagai salah satu suku bangsa dalam negara kesatuan Republik Indonesia, seperti juga suku lainnya, memiliki budaya signifikan yang pada intinya menunjukkan identitas, ciri, atau kekhasan Ono Niha (Nias). Ketika mengartikan manusia sebagai subjek dan objek dari proses pembangunan, maka identifikasi dari identitas, ciri, atau kekhasan komunitas menjadi teramat penting dan strategis.
Pada saat seperti ini, selayaknya Ono Niha bertanya pada diri sendiri mengenai budaya signifikan yang menunjukkan identitas, ciri, atau kekhasan Ono Niha itu dalam hidup berbangsa dan bernegara Indonesia.
Gagasan mengenai identitas muncul dari cara memandang terhadap budayanya dan juga terbentuk oleh cita-cita, angan-angan serta tujuannya. Diharapkan dengan pertanyaan itu, akan menimbulkan tekad, menumbuhkan kekuatan dan menjadi pedoman menghadapi masalah di lingkungan sendiri maupun nasional.
Sekarang dengan otonomi daerah dirasakan perlu menegaskan kembali kedudukan serta fungsi kebudayaan, baik di dalam usaha kita bersama untuk mengembangkan kebudayaan pada umumnya, maupun di dalam usaha menyelesaikan cita-cita Proklamasi Kemerdekaan kita, agar dijadikan pedoman dalam menghadapi permasalahan kini dan yang akan datang.
Permasalahan itu ditentukan oleh tiga soal pokok: pertama, soal identitas kita sebagai suku bangsa dalam negara Indonesia; kedua, soal kebudayaan kita dalam rangka usaha mewujudkan cita-cita nasional, dan ketiga, soal kemampuan dan kesanggupan kita menghadapi pengaruh era globalisasi.
Meskipun pengaruh budaya dalam pembangunan tidaklah merupakan satu-satunya faktor penentu dari gerakan masyarakat, dan juga bukan merupakan kekuatan-kekuatan otonom, tetapi tentu saja merupakan ramuan yang sangat penting dalam menentukan pilihan di antara berbagai arus gerakan yang dapat dipilih.
Bagaimana Ono Niha menanggapi permasalah tersebut ? Apa yang harus dilakukan ? Pertanyaan itu pantas ditujukan kepada Ono Niha saat ini. Apakah Ono Niha mampu berpikir dan berbuat untuk kesetaraan dengan daerah lainnya di propinsi SUMUT khususnya dan Negara Indonesia umumnya ? Sekarang banyak kalangan gelisah. Dengan kehancuran yang ditimbulkan gempa (tidak ada yang tau kapan berakhir rentetannya) dan kondisi ketertinggalan yang akut selama ini di mana secara ekonomi tidak sejahtera, dan secara sosio-kultural — khususnya pendidikan — terbelakang dan secara politik labil, memunculkan pertanyaan kritis: Apakah Ono Niha dapat mengejar ketertinggalannya ? atau Apakah sebaliknya bertambah prosentase ketertinggalannya dari derah-daerah lain ? Apakah Ono Niha sungguh dapat sadar dan memiliki tekad mentalitas yang cocok untuk keluar dari kemelut itu ?
Akibat yang lebih parah apabila struktur masyarakat adat kita kesulitan menghu – bungkan diri dengan perubahan sebagai dampak kemajuan teknologi. Timbul banyak kekhawatiran dan ketidakpastian, yang dalam hal-hal tertentu juga menga – kibatkan timbulnya krisis identitas. Kalau krisis identitas terjadi, maka jawaban terhadap pertanyaan gambaran dirinya sendiri “Siapakah sebenarnya saya ini ? ” dan, “Ingin jadi apakah saya ini?” menjadi kabur dan berkeping-keping.
Pertanyaan-pertanyaan seperti, “Pada siapa atau pada apa kita harus patuh ?â€, “Siapa pula yang dapat kita contoh ?”, “Pola tingkah laku mana yang harus diambil atau disesuaikan ?”, semuanya ini telah kehilangan jawabannya yang jelas. Dan jawaban-jawaban yang baru serta memuaskan tidaklah mudah diperoleh.
Vitalitas sesuatu bangsa atau suku bangsa diukur dari kemampuannya untuk senantiasa mereinterpretasikan budayanya dengan memberi arti dan makna baru kepada pengalaman – pengalaman tradisi, sesuai dengan keperluan-keperluannya yang baru.
Apakah tatanan sosial budaya Ono Niha cocok untuk menyerap budaya pembangunan ? Apakah â€mind Ono Niha†mampu mengembangkan paduan nilai yang tepat, yang akan memelihara kekuatan budaya khas Ono Niha dibandingkan dengan nilai-nilai pembangunan ? Banyak pertanyaan dapat diajukan, tetapi hanya tujuan-tujuan dan cita-cita kita yang akan dapat memberi suatu rangka orientasi yang tegas, dan suatu pegangan baru, sehingga dapat kita bedakan yang utama atau pokok dan mana yang tidak pokok.
Otonomi daerah telah bergulir, masing-masing daerah berlomba untuk membangun diri berdasar vitalitas budayanya sendiri. Pembangunan daerah tentu tidak boleh keluar dari koridor cita-cita dan tujuan nasional. Ono Niha, mau tidak mau harus sadar dan berbuat untuk: pertama berusaha mengatasi rintangan-rintangan yang berakar dalam budayanya sendiri, dan yang menghalangi pembangunan, dan yang kedua membangkitkan kembali atau memupuk unsur-unsur di dalam kebudayaannya yang memudahkan tercapainya tujuan-tujuannya.
Tak ada seorang pun yang seorang diri, akan mencakupi seluruh permasalahan Tanö Niha, dan memberi solusi yang tepat. Perlu dimungkinkan diskusi, untuk menguji, mengoreksi dan memperkembangkan ide-ide yang timbul demi kristalisasi pemikiran yang nanti menjadi pangkal untuk langkah berikutnya. Sebab pencarian jawaban-jawaban Ono Niha ini, mau tak mau harus merupakan suatu proses kolektif.
Kalau kita telah memiliki rasa percaya diri sebagai salah satu suku bangsa, maka bergabung ke propinsi mana pun lebih bersifat teknis dari prinsip.
Semoga bermanfaat. Ya’ahowu !
Euless, 1 Agustus 2006