Tetap Waras di Musim Janji Politik

Wednesday, March 26, 2014
By susuwongi

Ilustrasi | kpu-banjarbarukota.go.id

Ilustrasi | kpu-banjarbarukota.go.id

Oleh E. Nehe

Kehebohan lima tahunan itu datang lagi. Namanya Pemilihan Umum (Pemilu). Pemilu legislatif (Pileg) dan Pemilu Presiden (Pilpres). Semua riuh, semua sibuk. Banyak wajah-wajah cerah dan penuh optimisme beredar kesana-kemari.

Mereka menawarkan hal-hal yang seolah harapan baru. Bahkan seolah sesuatu yang baru sama sekali. Meski sebenarnya cuma mengulangi ritme dan substansi yang sama pada masa kampanye lima tahun lalu. Yang saat ini belum terbayarkan, bahkan sudah dilupakan.

Kini mereka datang lagi dan menawarkan janji-janji bahkan potret bersih mulus kinerja mereka yang sebenarnya bolong-bolong bahkan bopeng akut. Beberapa di antaranya bahkan sudah kehilangan mukanya.

Mereka datang memanfaatkan kebiasaan gampang lupa masyarakat. Juga memanfaatkan kebiasaan gampang tergoda masyarakat atas produk daur ulang harapan-harapan manis namun lebih sering cuma pepesan kosong. Ketidakpahaman masyarakat akan prosedur dan realitas sebenarnya, dieksploitasi habis-habisan guna menempatkan mereka lagi pada jabatan sebagai anggota legislatif maupun di jabatan eksekutif.

Masa kampanye juga seperti mengambil bentuk sebagai sarana ‘cuci otak’ publik. Akibatnya, tidak sedikit yang tertipu atau secara sadar menikmati harapan palsu yang baru ditebar. Akibat ‘cuci otak’ itu, tidak sedikit yang kehilangan rasionalitasnya dan terjebak pada fanatisme ekstrim dengan melulu mendukung seseorang atau sebaliknya menjelekkan orang lain yang jadi pesaing pihak yang dijagokannya.

Dalam musim kampanye, dengan rekayasa pencitraan sedemikian rupa, yang baik-baik bisa tampak sangat buruk dan layaknya dibuang. Sementara yang pernah merusak bangsa, pembunuh, penculik, pelanggar HAM, pengusaha hitam, penjahat kemanusiaan, perampok keuangan negara (korupsi), penjahat moral, penjahat lingkungan dan berbagai kejahatan lainnya bisa tampil bak juru selamat. Itulah kehebatan dunia pencitraan, terutama di masa kampanye.

Namun ini tidak menafikan bahwa di antara mereka yang berlaga di kontes politik ini, masih ada yang berintegritas atau berusaha sekuat tenaga untuk menjaganya. Tapi mungkin, jumlahnya tidak terlalu banyak.

Karena itu, sebagai pemilik suara, rakyat mesti cerdas dan kritis menyikapi kehadiran, pernyataan dan janji-janji partai, caleg dan capres.

Beberapa hal berikut bisa digunakan untuk mengidentifikasi janji manis yang tak lebih sebagai harapan palsu tersebut.

Pertama, menihilkan kapabilitas yang lain. Negara/Bangsa ini dipersepsikan hanya akan selamat kalau si capres dan partainya yang memimpin negara/bangsa ini.

Ada partai yang kader maupun petingginya beberapa waktu lalu menggunakan istilah negara autopilot untuk kondisi bangsa ini guna menyerang pemerintah berkuasa. Istilah autopilot itu dipakai untuk melabeli pemerintah berkuasa ‘tidak bisa bekerja’, ‘tidak pantas memerintah’ dan ‘tidak menghasilkan apapun yang baik bagi bangsa’. Mereka setuju bahwa negara ini sedemikian baik fundamentalnya sehingga ‘tidak ada’ pemimpin pun, bisa berjalan dengan sendirinya.

Kini partai dan kader yang sama menampilkan diri seolah-olah bangsa ini baru bisa berjalan hanya kalau mereka yang jadi penguasa. Negara ini tidak bisa lagi autopilot. Sebuah inkonsistensi. Kalau bangsa ini sendiri bisa autopilot, maka siapapun yang pimpin, negara ini bisa berjalan. Begitu harusnya logika sederhananya.

Kedua, menekankan bahwa rakyat membutuhkan mereka, bukan mereka yang membutuhkan rakyat.

Pada saat krisis ekonomi akut pada 1998, dimana sebagian besar orang berduit dan juga bagian dari yang berkuasa kabur ke luar negeri menyelamatkan diri termasuk menghindari proses hukum, kelompok ekonomi kecil, para pedagang kecil atau yang biasa dikenal sebagai pengusaha Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM)lah yang menyelamatkan ekonomi negara ini.

Tapi, kini ketika semua sudah normal kembali, semua kembali dan tampil menjadi pahlawan kesiangan. Mengkondisikan bahwa rakyat kecil yang telah menyelamatkan negara ini dari berbagai krisis, sangat membutuhkan mereka untuk bertahan hidup. Karena itu mereke mengeksploitasi sedemikian rupa keadaan rakyat kecil untuk mendapatkan suara.

Ketiga, mempertanyakan keamanahan kandidat lain dan merasionalisasi korupsi partai/kadernya melalui perbandingan tak cerdas.

Ada juga partai dan kadernya yang getol dan berapi-api mempertanyakan amanah tidaknya kandidat lain. Pertanyaan terkait keamanahan seorang kandidat dikaitkan dengan sang kandidat meninggalkan masa jabatannya yang belum selesai.

Konyolnya, partai dan para kadernya itu karena begitu bersemangat, lupa kalau pola yang sama juga dilakukan petinggi partai dan kader-kader mereka yang kini menjadi pejabat. Baik di partainya sendiri, di eksekutif di daerah, maupun di pusat. Anda dengan mudah menemukan pola seperti ini di partai politik manapun. Ini realitas biasa saja di politik. Jadi, tidak perlu didramatisir.

Lalu, guna menutupi buruk rupa partainya karena petinggi/kadernya terjerat sebagai pelaku korupsi kelas kakap di negeri ini, mereka mencari pembenaran dengan mengatakan partainya bukan yang paling korup.

Mereka berusaha mereduksi perilaku korupsi pada persentase kasus atau jumlah yang dikorupsi. Sebuah pembodohan publik yang mencerminkan kebodohan mereka sendiri. Kalau mau konsisten, tidak peduli berapa orang, berapa besar dan berapa kali kader korupsi, intinya sama. Partai (dalam hal ini melalui kadernya) itu bagian dari yang melakukan korupsi. Sesederhana itu. Tidak perlu merasa lebih baik dari partai lainnya.

Jadi, motivasinya sebenarnya lebih banyak karena kekuatiran bahwa eksistensi mereka akan tergerus dan tergusur dari percaturan politik nasional dengan adanya unggulan baru. Jadi, cara apapun dilakukan untuk menghadang laju kandidat lain.

Keempat, atas nama kepentingan rakyat, menebar janji seolah bisa melakukan apa saja.

Kampanye memang sejatinya masa menebar janji. Momen ini biasanya dimanfaatkan, bahkan hingga overload oleh para partai politik, caleg dan capres. Mereka menjanjikan seolah-olah bisa melakukan apa saja untuk rakyat. Seolah-seolah, kalau dia atau partainya sudah berkuasa, maka bisa sesuka hati mengambil kebijakan.

Mereka menutupi fakta banyaknya batasan dalam bentuk peraturan perundang-undangan dimana seorang yang menang mutlak dalam pileg dan pilpres sekalipun di negara ini tidak serta merta bisa mengambil kebijakan sesuka hatinya.

Mereka berjanji seolah anggaran yang dibutuhkan untuk memenuhi semua janjinya itu sudah tersedia, tinggal pakai atau gampang dicari. Ada juga yang menjanjikan lowongan kerja baru berjuta-juta banyaknya. Seolah-olah seluruh perusahaan di negeri ini miliknya. Karena itu, dengan mudah nanti dia akan membuka lowongan kerja untuk menampung para pengangguran. Mereka menutup mata dengan berjubelnya komplikasi aturan hingga buruknya kondusivitas berusaha yang bahkan sering kali diciptakan oleh penguasa sendiri.

Para caleg tingkat pusat, berjanji akan melakukan ini dan itu. Seolah-olah, hanya dia dan partainya di DPR. Mengabaikan realitas bahwa dengan sistem multipartai, maka ide terbaik sekalipun belum tentu lolos di sana.

Mekanisme dan kebiasaan politik di DPR tidak memungkinkan sebuah gagasan baik sekalipun akan lolos begitu saja. Sebaliknya, sebuah kepentingan politik yang menguntungkan, bahkan meski merugikan publik, bisa saja dengan mudah lolos. Ingat, aturan dan kebiasaan di DPR yang akan diisi oleh para caleg yang baru terpilih masih sama. Mekanismenya masih sama.

Juga tidak banyak yang tahu. Tidak peduli anggota legislatif dan presidennya sehebat apa, namun yang menentukan kebijakan krusial itu adalah partai yang mengusungnya. Arah kebijakan partai biasanya adalah harga mati. Tidak peduli apakah si anggota legislatif punya sikap berbeda dengan posisi partainya. Menolak, risikonya dicopot karena dianggap mbalelo.

Partai itu tentu saja hanya organisasi semata. Cuma sarana. Namun, siapa yang menentukan arahnya? Mereka adalah orang-orang yang menjadi pengurus utama partai. Mereka yang menentukan kebijakan akhir yang wajib diikuti oleh kader di partai, di legislatif maupun di pemerintahan. Mereka juga yang menentukan atau merekomendasikan siapa saja yang akan ditempatkan di posisi-posisi pemerintahan atau di parlemen.

Bisa saja mereka berargumen bahwa kebijakan itu mempertimbangkan suara rakyat. Tapi, biasanya sulit membedakannya dari kepentingan orang per orang atau sekelompok orang di dalam partai.

Presiden Dengan Kuasa Terbatas

Dari sisi aturan, seorang presiden, seperti halnya kepala daerah, juga terikat mekanisme dan proseduer kerja dan pengambilan kebijakan yang standar, yang tidak bisa dilangkahi begitu saja. Bahkan, bisa-bisa sang presiden digugat dan dilengserkan karena dianggap melanggar konstitusi dengan melanggar undang-undang. Sebagai contoh, anggaran untuk pendidikan, sudah diatur oleh Undang-Undang yakni minimal 20% dari APBN. Itu tidak bisa diganggu-gugat.

Kemudian, negara juga memiliki kewajiban menuruti aturan-aturan internasional ataupun konsensus global yang telah menjadi komitmen pemerintah untuk mengikutinya baik secara langsung karena menjadi bagiannya, maupun secara tidak langsung melalui kesepakatan yang berlaku global.

Seorang presiden yang menang mutlak sekalipun tidak bisa semaunya sendiri membatalkan perjanjian internasional bahkan meski itu mungkin merugikan negara. Tidak bisa membatalkan kontrak karya dengan perusahaan internasional begitu saja meski secara kasat mata mereka merugikan negara. Negara bisa digugat ke pengadilan internasional (arbitrase). Bila kalah, harus membayar kerugian materil yang biasanya sangat besar – bisa triliunan – dan kerugian immaterial yang tentu saja bisa lebih dari itu. Ada aturan-aturan yang menjadi koridor dan norma global yang tak bisa diterabas begitu saja, kecuali kalau mau ‘cari mati.’

Masih dalam sektor ekonomi. Presiden seberkuasa apapun juga harus tunduk pada dinamika perekonomian global yang seringkali tidak bisa diprediksi. Amerika Serikat dan Eropa dan negara maju lainnya bahkan satu per satu sempat lunglai dibikinnya. Di antaranya, masalah nilai tukar, harga saham, harga minyak dunia, situasi politik global dan konflik/perang antar negara semua sangat memengaruhi kondisi dan kebijakan perekonomian serta kebijakan politik setiap negara.

Dampaknya bisa kemana-mana dan sangat merusak. Terutama bila fundamental perekonomian tidak kokoh, hanya terlihat kuat di permukaan seperti kita saksikan dan masih akan kita saksikan hingga beberapa periode pemerintahan ke depan di Indonesia.

Jadi, kalau ada yang menjanjikan perkembangan ekonomi yang luar biasa dalam sekejap atau dalam masa lima tahun pemerintahannya (dengan asumsi pemerintahannya tetap stabil sampai akhir), maka berhati-hatilah dengan janji serupa itu.

Kelima, mengabaikan fakta bahwa kepala daerah jauh ‘lebih berkuasa’ dari anggota DPR/DPRD bahkan dari Presiden sekalipun.

Presiden juga tidak bisa mengendalikan pemerintah di daerah secara langsung seperti pada era Orde Baru. Meski secara hirarkhis semua kepala daerah adalah subordinasi Presiden, namun mereka tetap otonom. Sesuai UU terkait, kewenangan Presiden untuk menunjukkan kekuasaannya kepada kepala daerah, sudah banyak diamputasi. Penguasa sejati di daerah itu, ya kepala daerah. Gubernur dan Presiden itu cuma penguasa di atas kertas. Presiden tidak bisa serta merta memerintahkan apalagi memecat kepala daerah.

Di bidang hukum, Presiden paling berkuasa sekalipun, tidak dibolehkan mengintervensi proses hukum. Bahkan, meski Jaksa Agung dan Kapolri ditunjuk dan berada di bawahnya, Presiden tidak bisa melakukan intervensi. Apalagi dengan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), lembaga penegak hukum independen dari pemerintah, presiden tidak berdaya di sana. Pekerjaan mereka tidak tergantung si presiden dan sebaliknya si presiden tidak pada tempatnya mengklaim kesuksesan KPK sebagai bagian dari kinerjanya. Semua sudah ada aturannya.

Di level legislatif daerah, penentu kebijakan di daerah itu, bukan anggota DPRD. Tapi kepala daerah – Gubernur, Bupati dan Walikota. Sesuai aturan, para kepala daerah itu yang berhak mengajukan rancangan anggaran dan pembangunan.

Memang, proses pembahasannya bersama DPRD. Tapi, tidak serta merta DPRD bisa memasukkan usulannya di sana. Hanya bisa mengusulkan. Lagi-lagi, penentunya adalah kepala daerah, dengan segala pertimbangan dan kepentingannya. Baik kepentingan pribadi, teman-teman/saudara maupun partai pengusungnya. Bukan anggota DPRD yang barusan menebar janji-janji itu.

Jadi, kalau ada caleg atau capres yang menjanjikan bisa melakukan ini dan itu, seolah-olah bisa menjungkirbalikkan semua proses normal prosedur baku yang ada saat ini, ketahuilah, Anda sedang dibohongi. Pikir-pikir lagi apakah mau memilih mereka.

Ujian Awal Lupa Janji

Sebenarnya, menguji apakah para partai, caleg dan capres yang sekarang sedang ‘jual diri’ dalam kampanye benar-benar konsisten pada janjinya itu, gampang sekali. Tidak butuh waktu lama. Nanti lihat setelah pemilu legislatif pada 9 April 2014 dan hasilnya diumumkan.

Partai-partai yang tidak lolos parliament threshold (PT) sebesar 3,5% untuk tingkat DPR RI, langsung tamat. Berjuta-juta suara yang memilih partai dan calegnya pun ikut ‘hangus’. Tidak ada gunanya lagi. Anda sebagai pemilih partai ‘hangus’ itu pun tidak berhak lagi menuntut mereka memenuhi janjinya. Kecuali mereka yang lolos di tingkat DPRD, masih bisa ditagih karena mereka tetap bisa menjadi anggota DPRD meski di pusat partainya tidak lolos parlemen.

Dan bila lolos ke parlemen tidak berarti sudah aman. Partai yang memenuhi syarat untuk mengajukan calon presiden dan calon wakil presiden (presidential threshold) sebesar 20% kursi di DPR RI atau minimal 25% total raihan suara sah secara nasional namun masih merasa ‘kurang pede’ akan mencari rekan koalisi.

Bagi partai yang lolos ke parlemen namun suaranya pas-pasan, alias tidak bisa mengajukan capres dan cawapres, harus pontang-panting mencari tautan koalisi. Koalisi itu bisa saja dengan partai yang sebenarnya konstituennya tidak sukai sebelumnya. Tapi keputusan ada di petinggi partai. Harus diikuti. Daripada tidak kebagian kue kekuasaaan.

Nah, pada momen ini, biasanya akan saling mencair. Biasanya berbagai perbedaan yang ada selama ini akan mencair dan melebur, lalu menjadi ‘sehati’. Olok-olok bahkan hinaan terhadap partai atau capres kompetitor selama kampanye legislatif dimana perbedaan itu yang selama ini jadi pembeda sekaligus jualan kepada publik agar memilih mereka, langsung dilupakan. Yang penting berbagian dalam kekuasaan.

Pada saat itu, berjuta-juta lagi konstituen akan dilupakan dan dikecewakan. Konstituen pemilih mereka di pemilu legislatif akan jadi jualan untuk berkoalisi. Dan kalau sudah jadi, maka para konstituen akan diajak lagi untuk mendukung partai dan capres yang dulu mereka jelek-jelekkan. Dan selama memerintah, mereka akan membelanya habis-habisan meski kebijakannya ngawur. Yang penting jatah kekuasaan mereka tidak dicabut oleh presiden berkuasa.

Jadi, kapan janji-janji akan diingkari? Tak usah menunggu sampai partai, caleg dan capres lolos menuju tempat mereka masing-masing. Tapi, tepat setelah pemilu legislatif itu selesai.

Musim kampanye adalah musim dimana bahkan malaikat pembunuh sekalipun bisa tampil jadi malaikat penyelamat. Waspadalah.

Lalu, apakah itu berarti tidak perlu ikut dalam pemilihan? Tidak demikian. Silakan berpartisipasi sesuai pertimbangan nurani masing-masing. Namun, tulisan ini sekedar mengingatkan bahwa banyak keadaan yang tak terhindarkan yang memberikan kesan suara yang telah diberikan itu terlihat tidak ada gunanya kelak.

Jadi, kalau memutuskan memilih, maka tetaplah waras dengan menyadari keadaan-keadaan tak terelakkan tersebut di atas. Sehingga tidak terlarut dalam kekecewaan berulang karena harapan palsu.

Dan bila saat ini Anda sedang mendukung sebuah partai, caleg atau capres, juga sebaiknya proporsional saja. Tidak perlu berlebihan. Apalagi sampai menunjukkannya dalam bentuk-bentuk sikap personal yang bernuansa kebencian atau terus menerus menjelekkan pihak lain.

Jangan sampai partai-partai, para caleg dan para capres telah melupakannya dalam berbagai kompromi dan pesta pora kekuasaan, Anda masih di sini dengan segala sakit hati dan kebencian akut tak ada ujung. Yang merusak diri Anda sendiri dan juga relasi dengan orang lain, termasuk dengan orang yang telah terpilih meski Anda tidak kenal pribadi dengan dia.

Ingat, setiap partai, caleg maupun capres punya titik lemahnya. Bahkan, tidak sedikit yang memiliki borok yang berusaha ditutupi sedemikian rupa dan dipoles seolah tidak ada. Kalau pun ada, akan dikesankan itu hal biasa saja meski sebenarnya bila Anda jadi korbannya, sudah mengobarkan perang habis-habisan dengan mereka.

Karena itu, jadilah pemilih yang cerdas, realistis, siap kecewa dan… tetap waras!

Jakarta, 26 Maret 2014

One Response to “Tetap Waras di Musim Janji Politik”

Leave a Reply

Kalender Berita

March 2014
M T W T F S S
 12
3456789
10111213141516
17181920212223
24252627282930
31