Budaya Ilmu Tanpa Tembok
Berbagai kendala seperti kualitas sumber daya manusia (SDM),ketersediaan infrastruktur pendidikan hingga minimnya anggaran menjadi faktor lemahnya budaya iptek di Indonesia.
Budaya ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek) di Indonesia dinilai banyak kalangan masih rendah. Akibatnya, kualitas lembaga pendidikan di dalam negeri jauh tertinggal dibandingkan negara lain. Singapura misalnya. Di Negeri Tumasik itu,budaya penelitian begitu digalakkan dengan dukungan infrastruktur pendidikan dan anggaran yang memadai.
Menjadi sangat wajar jika The Times Higher Education Supplement- Quacquarelli Symonds (THE-QS) World University Rangking, sebuah lembaga pemeringkatan perguruan tinggi (PT) di dunia, menempatkan Universitas Nasional Singapura (NUS) di urutan ke-30 duniasekaligusyangterbaik di Asia Tenggara dalam The 2008 THE-QS World University Ranking.
Rendahnya kualitas iptek Indonesia juga ditunjukkan hasil survei Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) tentang kondisi budaya iptek di Indonesia 2007. Survei itu menyebutkan bahwa iptek masih dianggap sebagai barang mahal dan anggaran untuk penelitian masih minim.
Peneliti dari Pusat Penelitian Perkembangan Iptek (Pappiptek) LIPI Siti Meiningsih menegaskan, kondisi budaya penelitian di dalam negeri masih memprihatinkan. Meskipun paradigma penelitian di kalangan akademisi sudah cukup baik, sayangnya hal itu tidak didukung anggaran dan sarana yang memadai.
Akibatnya, penelitian para akademisi sering menjadi tidak optimal dan tidak bisa menembus jurnal ilmiah internasional. “Berdasarkan hasil survei kami,kebanyakan anggaran penelitian PT di dalam negeri sangat minim.
Sangat tidak memadai untuk bisa dijadikan penelitian yang memenuhi standar dan bisa menembus jurnal internasional,†katanya kepada SINDO. Meski begitu, kini mulai banyak lembaga pendidikan di dalam negeri yang berlomba-lomba mengembangkan diri menjadi kampus riset, di antaranya Universitas Indonesia (UI), Universitas Gadjah Mada (UGM),dan Institut Teknologi Bandung (ITB).
Upaya ini membuat Mei sedikit optimistis.Menurutnya, perguruan tinggi negeri (PTN) di TanahAir sangat mungkin mewujudkan predikat sebagai kampus riset dan bisa berkompetisi di jajaran internasional. “Saya sedikit lega ketika pemerintah memutuskan akan menyediakan anggaran 20 persen untuk pendidikan dari APBN 2009.
Kabarnya, dana penelitian untuk PT akan dinaikkan yang jumlahnya mencapai triliunan rupiah. Mudah-mudahan ini benar dan kualitas penelitian peneliti lokal semakin layak dan memenuhi standar internasional,†paparnya.
Faktor lain yang juga menjadi penyebab kualitas pendidikan–khususnya pendidikan tinggi– lemah adalah akibat kualitas pengajarnya masih jauh dari kata ideal. Hal ini dibuktikan dengan masih banyaknya dosen lulusan S-2 atau bahkan lulusan S-1.
Padahal untuk menjadi kampus riset yang kompetitif,minimal pengajarnya lulusan S-3.Pengajar kita masih didominasi lulusan S-2, padahal harusnya lebih banyak S-3,â€ujarnya. Sudah menjadi rahasia umum jika anggaran riset untuk penelitian dan pengembangan (litbang) PT di dalam negeri masih sangat minim.
Seandainya anggaran pendidikan 20 persen untuk tahun ajaran 2009 jadi dilaksanakan, efeknya pun akan baru dirasakan dua tahu kemudian. Artinya,bobot sebuah penelitian dikatakan berkualitas jika indikator publikasi penelitian ilmiah PT dalam negeri yang dijadikan rujukan dunia internasional semakin besar.
Semakin banyak penelitian akademisi dalam negeri yang masuk jurnal ilmiah dunia, semakin naik pula peringkat lembaga pendidikan bersangkutan. Dalam publikasi jurnal internasional untuk penelitian bidang matematika misalnya,Indonesia masih sangat minim untuk kajian ilmu hitung itu.
Padahal matematika merupakan tulang punggung ilmu pengetahuan.“Penelitian itu harus diakui dan banyak dikutip oleh komunitas ilmiah internasional, itu baru akan kelihatan dampaknya,â€ujarnya. Di samping itu, Mei juga menjelaskan, jumlah SDM yang ahli dan mumpuni di bidang teknologi di Indonesia masih minim.
Rasio idealnya adalah satu orang berbanding 10.000 penduduk.Perbandingan ini menjadi salah satu indikator untuk mengukur seberapa dalam budaya iptek mengakar di Indonesia. Sejatinya, iptek pernah mendapat perhatian yang cukup berarti pada dekade 1970-an dan 1980-an.
Pada periode itu pembiayaan iptek pernah mencapai angka 0,74 persen dari PDB pada 1971 dan intensitas litbang 0,48 persen PDB pada 1972. Namun,sejak dekade 1990-an sampai sekarang, pembiayaan iptek dan litbang oleh pemerintah cenderung menurun menuju keadaan terabaikan dengan intensitas iptek 0,08 persen PDB dan intensitas litbang sebesar 0,05 persen PDB pada 2004.
Pengamat pendidikan Arif Rachman mengungkapkan, minimnya budaya riset di dalam negeri disebabkan proses pengembangan ilmiah di PT lebih banyak berorientasi untuk menerima dan menguasai. Bukan paradigma untuk mencari dan menemukan.Wajar jika sangat minim mahasiswa yang memiliki perhatian khusus di bidang penelitian.
Arif juga menilai, selama ini umumnya banyak yang belajar karena faktor untuk mengejar materi, bukan untuk mengungkap makna filosofi ilmu yang sedang dipelajari.Di samping itu,sistem kontrol terhadap pelaksanaan penyelenggaraan pendidikan juga menjadi salah satu penyebab lemahnya budaya iptek meski sistem pendidikan telah dibangun dengan baik.
Arif sepakat bahwa minimnya anggaran penelitian ilmiah di Indonesia menjadi faktor utama rendahnya kualitas iptek.Sebab,menurutnya,banyak peneliti dan ilmuwan andal di Tanah Air yang sejatinya sangat berkualitas. Namun, minimnya dana membuat mereka menyelesaikan penelitiannya di luar negeri dengan pendanaan asing.
Sementara Rektor UI Gumilar Rusliwa Sumantri menegaskan, demi memperbaiki kualitas karya ilmiah dan membangun kampus riset,PT seperti UI terus meningkatkan kualitas dan profesionalismenya.
Di antaranya dengan menjalankan reformasi dalam rangka incorporation capacity buildingdengan melakukan integrasi manajemen keuangan, SDM, sarana dan prasarana. “Selain itu, restrukturisasi akademis serta implementasi konsep knowledge without walls,†katanya. (abdul malik/islahuddin/faizin aslam) (Seputar Indonesia, 18 Oktober 2008)