Pilkada dan Status Danggal Kepulauan Nias (2) – Menjinjau Kembali Budaya Perkubuan dan Dukung Mendukung
Selain meniru debat mirip debat Trump vs Biden, Pilkada di berbagai daerah juga meniru perkubuan Republikan vs Demokrat untuk alasan yang kurang jelas.
Polarisasi Partai Republik vs Partai Demokrat didasarkan atas perbedaan idelogi, nilai-nilai hakiki dan kebijakan praktis. Singkatnya: kapitalisme vs sosialisme, konservatisme vs progresisme, dsb.
Di Pilkada, polarisasi karena perbedaan-perbedaan mendasar itu seharusnya tak ada, dan terkesan irasional.
Maka, kita boleh mempertanyakan: mengapa di setiap Pilkada – dan kali ini saya fokus pada Pilkada di Kepulauan Nias – perkubuan ini selalu ada? Apa alasan mendasar? Perkubuan di sini tidak termasuk kelompok tim sukses (TS) yang memang harus ada untuk memaparkan program-program paslon ke publik. Perkubuan yang saya maksud adalah perkubuan yang juga melibatkan para tokoh dan para intelektual, yang walau tidak menjadi bagian dari TS, secara langsung atau tak langsung memihak kepada paslon tertentu.
Mari kita mulai dengan berfikir positif: bahwa pemihakan terang-terangan atau diam-diam itu didasarkan atas penilaian potensi dan prospek para calon. Artinya, pemihakan kepada paslon tertentu adalah berdasarkan penilaian pemihak bahwa paslon A lebih baik dari paslon B atau C. Pertanyaan: kriteria apa yang menjadi alasan pemihakan? Sejauh ini alasan dan kriteria itu tak pernah secara terang – terangan dibeberkan ke publik.
Selagi alasan – alasan dan kriteria yang rasional tidak dibeberkan kepada publik, maka mau tak mau kita cenderung mengambil kesimpulan: pemihakan diam – diam atau terang – terangan itu didasarkan atas alasan subjektif. Beberapa alasan subjektif bisa kita sebutkan: koneksi, kedekatan pribadi, hubungan keluarga, garis politik yang mengaburkan nalar, dsb., yang bermuara kepada usaha penjaminan akses atau kepentingan pasca Pilkada pada paslon terpilih. Artinya, apabila paslon yang didukung (terang – terangan atau diam – diam) menang, maka amanlah pemihak pasca Pilkada.
Secara alamiah kecenderungan subjektif itu ada … dan sangat manusiawi. Bisa jadi, seseorang berharap kelak usahanya di bidang tertentu bisa ‘kompetitif’ bersaing dalam projek – projek pemerintah. Atau anggota keluarganya bisa tertolong dalam proses pengangkatan pegawai, misalnya. Atau minimal, karena yang bersangkutan kenal dengan paslon favoritnya, ia merasa nyaman kapan saja ingin berkomunikasi atau bertemu langsung dengan jagoannya apabila terpilih.
Perkubuan tradisional semacam itu tidak membawa dampak besar ke publik. Ia hanya menguntung sekelompok kecil. Dan itu tadi … perkubuan macam itu berpotensi memperpanjang status Kep. Nias sebagai Daerah Tertinggal.
Mungkin lebih baik kita mencari bentuk perkubuan baru yang lebih menguntungkan mayoritas masyarakat Kep. Nias. Yang berikut adalah salah satu bentuk perkubuan itu.
Mari kita mengelompokkan seluruh masyarakat di satu kubu dan para paslon atau kontestan di kubu lain. Dalam tulisan ini, kubu masyarakat disingkat KuMas dan kubu para paslon disingkat KuLon.
KuMas dituntun (dipandu) dan dicerahkan oleh para tokoh masyarakat Nias: para tokoh agama dan adat, para intelektualnya. Tidak kalah penting, masuk dalam kelompok berpengaruh ini adalah pers dan media sosial yang berlabel (Kepulauan) Nias. Mereka ini semua berpotensi memiliki pengaruh besar dalam lingkungan mereka masing-masing.
Apa saja yang mereka bisa perbuat untuk mencerahkan masyarakat? Cukup banyak. Misalnya saja: mengingatkan masyarakat bahwa 4 dari 5 daerah administratif di Kep. Nias itu berstatus daerah tertinggal. Jangankan memahami isi debat ala Trump vs Biden, banyak masyarakat Nias bahkan tidak mengetahui status Danggal ini dan ramifikasinya bagi kemajuan Nias.
“Jangan menjadi sapi perah 5 tahunan KuLon pencari suara untuk kemudian dilupakan begitu saja kalau mereka sudah berada dalam lingkungan kekuasaan”.
Kita sangat menghargai, bahwa di tengah pandemik, ada saja individu yang berniat memimpin di salah satu daerah di Kep. Nias. Mari kita berfikir positif: mereka ini rela untuk terjun ke gelanggang Pilkada dengan tujuan mulia: mengangkat masyarakat Kep. Nias dari keterbelakangan yang berkepanjangan. Dalam kosakata sangat populer saat ini: para kontestan ini ingin mengeluarkan Kep. Nias dari status Daerah Tertinggal (Danggal). Bukan sebaliknya: untuk memanfaatkan posisinya kelak untuk kepentingan sempit keluarga, para sahabat dan koneksi politik.
Tugas utama para paslon, di tengah keterbelakangan Kep. Nias yang berkepanjangan ini,
bukan:
memasarkan diri sebagai paslon yang memiliki kemampuan untuk merealisasikan itu !
Adalah tugas para tokoh, intelektual, dan pers yang berlabel (Kep.) Nias, dan yang menjadi bagian dari KuMas – untuk mempertemukan kedua kubu (KuMas dan KuLon) ini agar saling “memahami”, sehingga tujuan menghapus status Danggal ini sungguh-sungguh bisa direalisasikan.
Adalah tugas para tokoh, intelektual, dan pers yang berlabel (Kep.) Nias, untuk mencerahkan masyarakat agar memilih paslon terbaik dalam setiap Pilkada.