Pemerintah Didesak Evaluasi Sistem Penganggaran Otonomi Daerah
“Kami mendesak pemerintah pusat untuk melakukan evaluasi menyeluruh sistem penganggaran otonomi daerah yang dijalankan. Apalagi faktanya, mayoritas Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) terkuras untuk membayar gaji pegawai semata,†ujar Anggota DPR RI dari Fraksi Partai Golkar Nurul Arifin, di Jakarta, Selasa (28/1/2014).
Nurul menuturkan, pertumbuhan setiap daerah secara optimal diharapkan tercipta melalui otonomi daerah. Itu sebab, beberapa daerah yang memberlakukan otonomi daerah mengalami pertumbuhan pesat. Bahkan lebih tinggi dari pertumbuhan nasional.
Namun realitanya, kata dia, pelaksanaan otonomi daerah di seluruh kabupaten/kota di Indonesia, tidak semulus yang diharapkan. Sebab, masih terdapat sebanyak 446 kabupaten/kota atau lebih dari 90% yang memiliki PAD di bawah 20%.
Efektifitas Anggaran
Menurut Nurul, penggunaan anggaran negara harus ditujukan secara efektif bagi pembangunan daerah. Apalagi, pemerintah melalui Kementerian Keuangan telah mentransfer dana ke daerah untuk belanja pegawai dan dana alokasi umum (DAU) tahun 2014 sebesar Rp 45 triliun.
Data pemerintah juga mencatat, alokasi dana perimbangan dalam APBN 2014 mencapai angka Rp 487,9 triliun. Dana itu terdiri dari DAU sebesar Rp 341 triliun, Dana Bagi Hasil (DBH) Rp 113,1 triliun, dan Dana Alokasi Khusus (DAK) senilai Rp 33 triliun.
“Itu sebab, Partai Golkar mendesak pemerintah mutlak untuk melakukan evaluasi menyeluruh terhadap kebijakan otonomi daerah. Untuk menghasilkan tujuan pertumbuhan dan pembangunan yang disasar. Supaya setiap rupiah uang negara tidak terbuang sia-sia,†kata dia.
Menyitir data Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD), Nurul mengatakan, dari total 490 kabupaten/kota di Indonesia pada tahun 2012, hanya terdapat 44 kabupaten/kota yang nilai PAD-nya di atas 20% dari APBD daerah tersebut.
Lebih jauh, kata Nurul, upaya mengefektifkan anggaran negara yang ditransfer ke daerah harus diwujudkan dengan sinkronisasi program dan kegiatan pemerintah pusat dan daerah. Sehingga tidak terjadi kebijakan tumpang tindih yang pada akhirnya memboroskan anggaran negara untuk kegiatan konsumtif. Intinya, tambah Nurul, tidak boleh ada lagi ego sektoral yang membuat program-program pemerintah pusat tersia-siakan di daerah.
Hingga saat ini, pemerintah pusat tengah menjalankan moratorium pemekaran daerah. Dengan demikian, upaya-upaya pemekaran daerah masih terus dikaji untuk dilanjutkan atau tidak. Meski demikian, menjadi sangat mendesak, kata Nurul, untuk memparalelkan kebijakan moratorium tersebut dengan evaluasi pelaksanaan otonomi daerah selama ini.
“Sekali lagi kami mendesak pemerintah wajib melakukan evaluasi menyeluruh terhadap otonomi daerah selama 13 tahun terakhir. Supaya terlihat jelas, dimana letak kelemahan yang harus diperbaiki, dan kekuatan yang harus dipertahankan serta dikembangkan,†tandas Nurul. (en)