Akhirnya, Mahkamah Konstitusi ‘Ambruk’ Juga!
Jl. Widya Chandra adalah salah satu kawasan perumahan bagi para menteri dan pejabat tinggi negara setingkat menteri. Tepatnya di belakang Kantor Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) dan Kantor Direktorat Jenderal Pajak. Kawasan lainnya berada di Jl. Denpasar di dekat kawasan Mega Kuningan. Keduanya berada di wilayah Jakarta Selatan.
Bersama Akil, juga ditangkap empat orang lainnya. Yakni, anggota DPR RI dari Fraksi Partai Golkar Chairun Nisa, Cornelis (swasta) beserta Bupati Gunung Mas Hambit Bintih dan seorang lainnya.
Penangkapan ini sekaligus menjawab keraguan publik atas status ‘bersih’ MK selama ini. Juga mengkonfirmasi kecurigaan publik yang selama ini menduga kuat adanya permainan uang dalam proses pengambilan keputusan di lembaga hukum yang sangat berkuasa itu.
Ironisnya, pria yang menjabat sebagai ketua MK yang ketiga setelah Jimly Asshiddiqie dan Mahfud MD tersebut ditangkap menjelang ulangtahun ke-10 lembaga itu. Akil terpilih sebagai ketua MK pada 19 Agustus 2013 atau tidak sampai dua bulan kemudian dia ditangkap.
Mantan Wakil Ketua Komisi III DPR RI dari Fraksi Partai Golkar tersebut ditangkap dalam dugaan menerima suap dalam kasus sengketa Pilkada Kabupaten Gunung Mas, Kalimantan Tengah. Dalam kasus itu, selain sebagai ketua MK, Akil juga bertugas sebagai ketua panel hakim yang biasa terdiri dari tiga hakim konstitusi.
Pria kelahiran Putusibau, Kalimantan Barat itu langsung digelandang ke kantor KPK. Bersama dia, KPK menyita uang dolar Singapura yang bila dirupiahkan berkisar Rp 2-3 miliar. Usai penangkapan, KPK bergerak cepat menyegel beberapa ruangan di MK serta mobil dinas Akil dengan nomor polisi RI 9.
Jimly dan Mahfud Marah
Pendahulunya, Prof. Jimly dan Prof. Mahfud MD tak bisa menutupi kekagetan dan kemarahan mereka. Jimly bahkan meminta jaksa nanti menuntut penerusnya itu dengan hukuman mati. Menurut dia, meski sanksi hukuman mati itu sulit diwujudkan, tapi setidaknya itu ada dalam tuntutan. “Selanjutnya, terserah hakim memutuskannya,” jelas dia.
Sementara Mahfud mengibaratkan MK yang selama ini terkenal dan selalu dipuji sebagai lembaga peradilan yang berintegritas tinggi kini sudah ambruk. MK juga diibaratkannya sedang dihajar gempa dahsyat. Bahkan, Mahfud mengatakan, secara pribadi ingin MK dibubarkan saja.
“Dalam hati saya berkata demikian. Ini MK sudah ambruk. Dibubarkan saja. Tapi, masalahnya itu tidak bisa dilakukan karena keberadaan MK adalah amanat konsitusi sendiri,” jelas dia.
Presiden SBY juga mengaku sangat terkejut dan memahami kemarahan rakyat Indonesia yang kecewa atas apa yang mereka saksikan terkait petinggi lembaga negara yang keputusannya bersifat final dan mengikat tersebut.
Namun, Ketua DPR RI Marzuki Alie mengaku tidak terlalu kaget. Dia mengatakan, pihak pimpinan DPR RI sudah lama mencium dugaan permainan Akil tersebut. Bahkan, kata dia, sudah membicarakan hal itu kepada Presiden SBY. Namun dia mengakui, sulit mengambil langkah hukum karena membutuhkan bukti. Operasi tangkap tangan oleh KPK semalam, dinilai sebagai bukti atas kecurigaan mereka selama ini.
Penangkapan Akil menambah daftar petinggi negeri ini yang diciduk KPK dalam operasi tangkap tangan. Agustus lalu, KPK juga menangkap Kepala SKK Migas Prof. Rudi Rubiandini. Mantan Wakil Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) tersebut juga diciduk di rumah dinasnya bersama uang suap yang diterimanya.
Terpukul dan Malu
Sementara itu, para hakim konstitusi tadi malam langsung berkoordinasi dan menggelar konferensi pers bersama. Mereka mengaku sangat terpukul dan malu dengan penangkapan itu. Mereka juga menyampaikan permohonan maaf kepada masyarakat Indonesia.Delapan hakim konstitusi tersebut juga meyakinkan publik bahwa proses persidangan di MK akan berjalan sebagaimana biasanya. Pihaknya juga langsung membentuk Majelis Kehormatan untuk merumuskan sanksi yang akan diberikan kepada Akil di luar sanksi hukum yang akan diterimanya dalam proses yang ditangani KPK.
Dugaan adanya kasus suap di KPK sebenarnya bukan kali ini saja. Sebelumnya juga sudah pernah diungkap, namun berakhir antiklimaks.
Pada 2010, pengacara yang juga pakar hukum tata negara Refly Harun pernah mengungkapnya melalui sebuah tulisan di harian Kompas. Saat itu, Refly menduga Akil menerima uang Rp 1 miliar dalam bentuk dolar AS dari Bupati Simalungun, JR Saragih. Dalam kasus Pilkada Merauke, Akil juga diduga menerima uang sebesar Rp 20 miliar.
Namun, hasil akhir investigasi menyebutkan, dugaan tersebut tidak dibuktikan dan MK dinyatakan bersih. Sebaliknya, Refly diadukan ke KPK oleh Mahfud MD dan Akil Mochtar.
Kemudian, juga dugaan suap terkait persidangan sengketa pilkada di Kabupaten Bengkulu.
Akibatnya, Hakim Arsyat Sanusi memilih mundur. Bukan karena terbukti menerima suap, tapi karena anaknya terbukti berhubungan dengan salah satu calon bupati yang kemenangannya digugat di MK.
Akil sendiri pernah menangani sengketa Pilkada Kabupaten Nias Selatan pada awal 2011. Saat itu, para pihak sempat menuding adanya ketidaknetralan hakim MK dalam persidangan mengingat hakim dan pihak terkait merupakan bekas kolega pada masa keanggotaan DPRD pada periode 2004-2009.
Namun, pada pembacaan putusan, Mahfud MD menyela dengan menyampaikan klarifikasi atas tudingan ketidaknetralan tersebut yang diterimanya melalui sebuah surat. Kesimpulannya, kata Mahfud, tudingan itu tidak benar dan sekedar fitnah belaka.
Namun, KPK juga menorehkan banyak prestasi. Dari sekian banyak, putusan yang sangat fenomenal adalah ketika memperbolehkan mengikuti pemilu hanya bermodalkan KTP untuk mencegah rakyat kehilangan hak pilih hanya karena namanya tidak tercantum di Daftar Pemilih Tetap (DPT).
Publik juga tidak bisa melupakan bagaimana MK membongkar upaya kriminalisasi terhadap pimpinan KPK Bibit Samad Rianto dan Chandra Hamzah yang saat itu terkenal dengan istilah “Cicak vs Buaya”. Dalam persidangan itu, Mahfud MD memerintahkan pemutaran rekaman percakapan Anggodo yang berisi informasi upaya kriminalisasi itu dirancang.
Keras Pada Koruptor
Akil juga terkenal dengan berbagai pernyataan tajam dan kerasnya terkait para koruptor. Dia pernah mengusulkan hukuman kombinasi kepada para koruptor berupa pemiskinan dan juga pemotongan salah satu jari koruptor.
Pada 5 April 2013, menanggapi tudingan miring kepadanya saat menjadi ketua MK menggantikan Mahfud, Akil mengatakan, ”Kalau saya bukan orang independen, kalau saya orang yang bisa disetir atau diintervensi oleh kekuatan-kekuatan lain, tidak mungkin tujuh orang (hakim) itu pilih saya. Memangnya mereka bodoh. Mereka hakim-hakim yang berpengalaman, beberapa guru besar malah.”
Publik juga masih ingat kecaman kerasnya saat KPK menangkap Rudi Rubiandini, dengan menyebutkan, “Quo vadis SKK Migas? Menyedihkan… sekaligus mempermalukan bangsa.”
Akil memang masih menunggu penetapan status, apakah akan ditetapkan sebagai tersangka atau tidak dalam waktu 1 x 24 jam sejak penangkapan. Namun, belajar dari berbagai kasus operasi tangkap tangan yang digelar KPK, sulit sekali untuk menghindarkan peningkatan status tersangkat tersebut.
Kini pujian dan harapan yang tinggi pada MK, runtuh sudah. Ambruk akibat ulah pimpinannya sendiri. Kini berganti dengan kecewa dan kecaman.
Meski hanya ulah satu orang, namun MK sebagai lembaga tidak akan terlepas dari dampak kerusakan yang ditimbulkannya. Kini, yang jelas, MK tidak lagi masuk dalam daftar lembaga negara yang bisa menyandang status ‘bersih’ dan berintegritas.
Sejumlah aparat Kepolisian, Kejaksaan, Mahkamah Agung, DPR, DPRD, Kementerian/Lembaga, Komisi Yudisial (KY) hingga orang-orang lingkar presiden sekalipun, sudah pernah dan sedang jadi ‘pasien’ KPK. Sebagiannya karena operasi tangkap tangan. Kini tinggal KPK, harapan yang tersisa. (EN/*)