Ada Apa Dengan Pendidikan? (Bag. 3)

Sunday, September 22, 2013
By Lovely Christi Zega
Contoh ruang kelas kuliah umum disalah satu universitas di Jerman (dok. pribadi).

Contoh ruang kelas kuliah umum disalah satu universitas di Jerman (dok. pribadi).

Pada tulisan sebelumnya telah diulas bagaimana Jerman dan Jepang tidak kurang ‘merananya’ dari Indonesia pada tahun 1945. Kedua negara tersebut bahkan diatur sistem pendidikannya oleh negara lain setelah PD II untuk memastikan bahwa pendidikan tidak lagi menjejalkan doktrin-doktrin yang menggiring mereka dan generasi mudanya ke arah perang selanjutnya. Jepang diatur oleh Amerika, sedangkan Jerman, selain oleh Amerika, diatur pendidikannya oleh Inggris, Perancis dan Uni Soviet yang mengakibatkan pendidikan di Jerman memiliki beragam sistem hingga saat ini.

Jika ada yang tidak sependapat bahwa Jepang dan Jerman tidak dapat dibandingkan begitu saja dengan Indonesia, karena Indonesia pada tahun tersebut baru merdeka dari penjajahan, lalu bagaimana halnya dengan negara tetangga kita Malaysia yang baru merdeka pada 1957, yang saat ini mencapai kemajuan signifikan dibandingkan dengan Indonesia. Indikator setara dapat dilihat dari peringkat HDI Malaysia diurutan 64 dibandingkan dengan Indonesia yang berada pada peringkat 121. Perbandingan kondisi Indonesia dan Malaysiajuga dapat dilakukan ketika misalnya kita menengok kembali kondisi ketika Malaysia baru saja merdeka dan mengimpor guru dari Indonesia.

“Terancamnya” Andy F. Noya dan Warsito Taruno

Kembali pada Jerman dan Jepang, ada beberapa cara yang dapat dipertimbangkan demi memajukan pendidikan tanah air. Langkah pertama yang dapat diaplikasikan adalah pendidikan terjangkau. Dalam hal ini kita dapat belajar pada Jerman. Dalam hal ini Jepang tidak dibahas, mengingat negara ini adalah salah satu negara dengan biaya pendidikan tinggi termahal sedunia.

Jerman adalah salah satu negara didunia yang masih menerapkan biaya pendidikan gratis dibeberapa negara bagian dan pendidikan dibiayai oleh negara. Untuk sekolah sepenuhnya tidak membutuhkan iuran, sedangkan untuk biaya pendidikan tinggi (universitas/politeknik) diwajibkan membayar iuran. Meski demikian, iuran tersebut lebih mengarah pada biaya transportasi atau yang lebih dikenal dengan Semesterticket. Semesterticket tersebut digunakan untuk biaya transportasi bis dan kereta dalam batas wilayah tertentu selama satu semester. Dibandingkan dengan biaya transportasi yang dibayar oleh umum, biaya ini jauh lebih terjangkau.

Untuk menjalankan program semacam ini kemungkinan Indonesia harus kembali kemasa sebelum privatisasi perguruan tinggi. Dimasa itu, biaya pendidikan cukup terjangkau. Dengan biaya pendidikan terjangkau, Indonesia dapat memupuk bibit-bibit dalam negeri. Jika kecenderungan kondisi pendidikan kearah privatisasi dan komersialisasi sebagaimana saat ini terus berkembang, kemungkinan Indonesia akan terus kehilangan generasi-generasi emas bangsa seperti Andy F. Noya atau Warsito Taruno.

Memang sistem ini, sebagaimana sistem-sistem lain, memiliki kekurangan, dimana mahasiswa kemungkinan kuliah dalam jangka waktu yang sangat lama melebihi ketentuan wajar perkuliahan. Untuk mencegah hal tersebut, di Jerman mulai menerapkan sanksi dan ketentuan tertentu bagi mahasiswa demikian. Sanksi dan ketentuan bagi mahasiswa yang demikian kabarnya juga telah diterapkan di Indonesia. Dengan demikian, hal tersebut dapat dikaji dan dikembangkan efektifitas dan efisiensinya.

Butet Manurung vs. Anies Baswedan

Butet Manurung dikenal dalam usahanya mengajar suku anak dalam di Taman Nasional, Jambi. Pertanyaannya kemudian, siapa yang mau dan bersedia menjadi seperti Butet Manurung? Indonesia terdiri dari 17.504 pulau dengan sekitar 6.000 pulau diantaranya tidak berpenghuni tetap. Dengan kata lain, sekitar 11 ribu pulau dihuni. Adalah hal yang umum diketahui bahwa akses dan penyebaran pendidikan tidak merata dinegara kita. Bagaimana agar Indonesia dapat memberikan pendidikan yang adil dan merata bagi seluruh rakyatnya?

Gaji guru di DKI Jakarta terkenal ‘tinggi’. Tidak ada yang salah dengan hal tersebut dan hal tersebut adalah baik. Namun demikian, bagaimana halnya dengan guru didaerah lain? Jakarta dengan segala fasilitas dan kemudahan aksesnya akan dengan cukup mudah mendapatkan tenaga guru. Sedangkan tenaga guru didaerah, dengan segala keterbatasannya, masih harus bergulat dengan hal-hal lain selain renumenerasi.

Program „Indonesia Mengajar“ sebagaimana yang digagas dan dimotori oleh Anies Baswedan adalah salah satu cara menanggulangi ketidakmerataan pendidikan. Namun, program tersebut hanya untuk jangka waktu tertentu dan keberlangsungannya tergantung ketersediaan relawan. Jika program yang bermutu ini disandingkan dengan program reguler sekolah, akan menambah khasanah dunia pendidikan. Namun, jika pendidikan ini diberikan didaerah dimana tidak ada guru reguler, kesenjangan pendidikan akan tetap berlangsung. Memang program ini dapat „mengobati luka“ pendidikan, dibandingkan jika program ini tidak ada. Namun tetaplah absurb jika warga, apalagi negara, hanya semata mengandalkan program demikian demi mencerdaskan bangsa.

Hal yang ingin saya sampaikan adalah pemberian stimulus dan insentif bagi guru-guru yang bersedia ditempatkan didaerah terpencil. Dengan segala keterbatasan akses dan fasilitas, pemberian renumerasi ini sebanding mengingat guru-guru daerah terpencil menghadapi kemungkinan-kemungkinan yang tidak terjadi sebagaimana di kota, seperti misalnya jarak tempuh ke sekolah, harga bensin yang tidak terjangkau di daerah-daerah tertentu, medan ke sekolah yang sangat berat, atau transportasi ke sekolah yang terbatas dan sulit diakses.

Negara tidak mungkin selalu mengharapkan warga negaranya sebagaimana Butet Manurung atau Anies Baswedan agar pendidikan adil dan merata. Pemberian nama „Pahlawan Tanpa Tanda Jasa“ akan jadi seperti pencucian tangan negara atas keberlangsungan pendidikan warganya. Penghargaan nyata bagi guru sudah saatnya diejawantahkan.

Kredit dan Kerja Paruh Waktu

Kisah sebagaimana Butet Manurung atau Anies Baswedan tidak ditemukan di Jerman dan Jepang. Meski biaya pendidikan di Jepang termasuk paling mahal didunia, pendidikan di negara tersebut sudah merata. Bagaimana mungkin negara dengan biaya termahal bisa melangsungkan pendidikannya dengan merata? Salah satu jawabannya ada pada kredit pinjaman bagi mahasiswa/pelajar dan peluang untuk kerja paruh waktu.

Sistem ekonomi dan pendidikan di Jerman dan Jepang diatur sedemikian rupa sehingga dapat mempekerjakan mahasiswa dan pelajar, bahkan ketika semester sedang berlangsung. Sistem yang demikian menguntungkan, mengingat ekonomi diuntungkan dengan tenaga kerja murah, sedangkan mahasiswa diuntungkan dengan adanya pemasukan.

Selain itu, mahasiswa bisa mendapat pemasukan lewat adanya pinjaman khusus untuk mahasiswa yang diorganisir oleh perguruan tinggi dan pemerintah dengan diketahui oleh pihak orang tua. Syarat dan ketentuan pemberian pinjaman mahasiswa lewat perguruan tinggi telah diatur lewat undang-undang.

Penerapan program kredit bagi mahasiswa melalui perguruan tinggi dan program kerja paruh waktu dapat diterapkan di Indonesia demi terjangkaunya dan meratanya pendidikan bagi semua. Mengingat biaya pendidikan di Indonesia yang semakin mahal, sedangkan pendidikan sendiri membutuhkan biaya lain, seperti biaya transportasi atau dana untuk buku/fotokopi, maka program semacam ini bisa dijadikan pilihan.

Selanjutnya?

Benarkah kondisi pendidikan Indonesia tidak semudah diluar negeri? Apakah negara kita tidak memiliki bekal positif didunia pendidikan?

(Bersambung …)

Sumber:

Tags: ,

Leave a Reply

Kalender Berita

September 2013
M T W T F S S
 1
2345678
9101112131415
16171819202122
23242526272829
30