Vicky Prasetyo dan Keragaman Bahasa Indonesia
Pengantar: Indonesia memiliki 583 bahasa. Selain bahasa daerah, bahasa Indonesia juga beragam dan dipengaruhi oleh banyak hal. Akhir tahun 90-an, sempat mencuat bahasa Indonesia ala remaja dengan menyelipkan ‘ga’ disetiap kata yang diucapkan, misalnya, “Agakuga magauga magakaga.” yang artinya, “Saya mau makan.” Lalu sekitar awal tahun 2000 muncul trend menyingkat kata di sms, misalnya, “Msh brp lama lg acarany?” yang berarti, “Masih berapa lama lagi acaranya?” Setelah itu muncul pula fenomena bahasa 414y (baca: alay), bahasa yang menggabungkan huruf besar, huruf kecil, tanda baca, dan juga angka kedalam satu kata. Akhir-akhir ini media kita sedang diwarnai bahasa ala Vicky Prasetyo. Akankah bahasa ini menambah ragam bahasa Indonesia dan tidak tenggelam sebagaimana trend-trend dalam bahasa yang telah terjadi seperti sebelumnya? Berikut tulisan yang mengulas keragaman bahasa Indonesia.
Dua orang pemuda luar Jawa yang sedang merantau di Jogja sepakat untuk makan malam patungan berdua karena uang kiriman baru akan sampai awal bulan depan. Mereka bersepakat untuk membeli pecel lele, „Nanti kau makan lelenya, aku makan pecelnya.“ Bagi sebagian kita yang tinggal di pulau Jawa atau pernah berada di Jawa mungkin akan heran karena pecel lele sama sekali tidak ada pecelnya. Dan, bisa ditebak, memang akhirnya salah satu pemuda mesti menelan ludah, karena makanan yang dipesan tidak kunjung datang. Atau, jika kita berkunjung ke Nias, dan ditanyakan dimana kita memarkir kereta, jangan kaget dan membayangkan bahwa disana tidak ada rel kereta api, lalu bagaimana orang dapat naik kereta; lagipula, keren sekali kalau bisa memarkir kereta, karena bukan sembarang tempat yang menyediakan tempat parkir untuk kereta. Yang dimaksud kereta disini tidak lain dan tidak bukan adalah sepeda motor. Atau di daerah Indonesia timur, adalah biasa jika orang ngomong dengan hanya disingkat saja, seperti, „Sa pi sekolah.“ Tolong jangan membayangkan bahwa yang ada didalam bangunan sekolah adalah sapi-sapi. Sama sekali bukan. Melainkan, sa adalah ucapan singkat dari saya, pi adalah ucapan singkat dari pergi. Jadi, artinya adalah, „Saya pergi ke sekolah.“ Lain lagi di Medan misalnya, jika ada yang menanyakan apakah kita sudah siap, jangan membayangkan bahwa kita akan melakukan sesuatu. Namun, siap artinya disini adalah selesai atau setelah melakukan aktivitas. Misalnya, „Sudah siap Pak komputernya?“ Artinya, apakah komputernya sudah selesai Bapak pakai?
Kita memang memiliki bahasa kesatuan, yakni bahasa Indonesia. Sebagian penduduk di negeri ini juga banyak yang sudah berbahasa Indonesia. Namun, sebagaimana beberapa contoh-contoh diatas, bahasa Indonesia yang digunakanpun adalah bahasa Indonesia sesuai nilai dan rasa bahasa masing-masing daerah. Dengan demikian, sangat beragamlah bahasa Indonesia yang digunakan dimasing-masing daerah.
Contoh lain keberagaman bahasa kita adalah bahasa singkatan. Kata-kata di-phk-kan atau menyidak adalah beberapa contoh yang diambil dari singkatan. PHK sebagaimana kita ketahui adalah singkatan dari pemutusan hubungan kerja dan sidak adalah kependekan dari inspeksi mendadak. Namun, kita semua mengerti arti dari kata-kata yang telah disingkat dan ditambahkan dengan imbuhan tersebut.
Tak kurang beragam adalah penggunaan bahasa Indonesia diranah seni dan sastra. Dibidang sastra, misalnya, Pram menulis: Aku mengangkat sembah sebagaimana biasa aku lihat.. Mengangkat sembah yang ditulis Pram disini sama sekali tidak ada hubungannya dengan mengangkat barang sebagaimana kita ketahui pada umumnya. Atau puisi Chairil: ..biar susah sungguh/mengingatMu penuh seluruh.. Bagaimana kita bisa membayangkan ‘penuh’ dalam arti denotatif, apalagi digabungkan dengan ’seluruh’, apa yang bisa ditangkap dari makna itu? Atau, contoh dari bidang seni misalnya lagu: nyiur melambai, ditepi pantai.. Kok bisa-bisanya nyiur digabungkan dengan kata melambai? Memangnya pohon kelapa punya tangan? Untuk yang terakhir ini, saya dapat dengan yakin menjawab: itu adalah contoh personifikasi (http://id.wikipedia.org/wiki/Personifikasi).
Kembali lagi keragam bahasa, baik bahasa Indonesia versi daerah maupun bahasa Indonesia versi seni dan sastra (atau bahkan juga budaya) merupakan kesepakatan dan penerimaan. Jika tidak disepakati dan tidak diterima, kata-kata tersebut kemungkinan lama-kelamaan akan hilang dan tidak akan digunakan lagi. Selain itu, ragam bahasa kita telah lama juga dimasuki istilah-istilah asing, misalnya personifikasi itu tadi. Kalau dicari akar katanya, akan mengarah keperson yang berasal dari bahasa Inggris. Jika kata person diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia, maka artinya adalah manusia atau orang. Dan jika kata orang atau manusia ditambahkan dengan imbuhan seperti personifikasi, maka kira-kira akan menjadi orangisasi atau manusianisasi. Dengan demikian, selain versi daerah atau versi seni dan sastra, bahasa Indonesia juga menjadi lebih beragam dengan adanya bahasa asing.
Lalu mengapa misalnya kata personifikasi itu justru malah mengadopsi bahasa asing dan tidak mengambil bahasa asli kita sendiri? Saya juga tidak tahu dan itu kembali pada para ahli bahasa. Di Jerman, ada yang namanya Institut untuk Bahasa Jerman (Institute für Deutsche Sprache: http://www1.ids-mannheim.de/start/). Dilembaga ini, menurut salah satu pengajar ketika dulu saya masih kursus bahasa Jerman, masyarakat dapat memberi usul dan masukan sehubungan dengan bahasa, entah sehubungan dengan kata-kata atau tata bahasa. Lembaga ini adalah lembaga terpusat. Bekerjasama dengan universitas seluruh Jerman, lembaga inilah yang memutuskan perubahan apapun yang terjadi dalam bahasa Jerman. Sebagai contoh, dalam tata bahasa Jerman, kata kerja harus diletakkan diposisi kedua dalam kalimat. Untuk anak kalimat, kata kerja harus diletakkan diposisi kedua atau diakhir kalimat, tergantung dari kata penghubung yang digunakan pada anak kalimat. Konon, misalnya, beberapa anak kalimat yang dahulu kata kerjanya wajib ditempatkan diposisi terakhir, akhirnya diubah menjadi diletakkan diposisi kedua.
Kembali kefenomena bahasa yang sedang marak akhir-akhir ini, sebenarnya penggunaan bahasa campur aduk sebagaimana yang diucapkan Vicky Prasetyo telah digunakan juga oleh orang-orang lain juga, bahkan mungkin sejak jaman penjajahan Belanda. Kata-kata seperti ik-jij (saya-anda dalam bahasa Belanda) atau ada orang-orang yang dalam tiap kalimatnya menyebut dirinya sendiri sebagai ‘i‘ dan orang lain sebagai ‘you‘ (saya-anda dalam bahasa Inggris). Bahkan ada sebagian orang yang merasa intelek atau bangga jika mencampurkan bahasa Indonesia, entah dalam percakapan atau dalam tulisan, dengan kata-kata atau istilah-istilah dalam bahasa asing.
Namun sebagaimana para pendahulu Vicky, yang bahasanya diterima -entah disepakati atau tidak-, bahasa ibarat juga pernikahan, seperti ketika penghulu bertanya: „Sah???“ Dan jika para hadirin menjawab: „Sah!!!“, maka sah pulalah pernikahan tsb. Demikian pula dengan bahasa, sebagaimana asumsi saya, bahwa bahasa adalah penerimaan dan kesepakatan, mungkin lama-kelamaan bahasa yang digunakan Vicky akan jadi bahasa yang diterima dan disepakati untuk dipergunakan dalam bahasa sehari-hari -terlepas apakah para ahli bahasa jadi pusing atau tidak. Sejauh ini saya belum tahu apakah untuk bahasa Indonesia bisa diusulkan ke lembaga tertentu agar kata-kata atau tata bahasa tertentu dapat diubah atau ditambahkan. (Jika ada yang tahu, tolong beritahu saya.:)) Namun, saat ini, untuk bahasa Vicky apakah: „Sah???“
Tulisan ini juga dimuat penulis di kompasiana.com
Rujukan: