Ilmuwan Belanda Berhasil ‘Ciptakan’ Daging Buatan
Tidak hanya itu, karena masalah daging sapi itu juga, beberapa orang kini harus berurusan dengan proses hukum karena dugaan korupsi.
Namun, Indonesia selalu punya solusi klasiknya. Mengimpor. Baik dalam bentuk daging beku, maupun impor sapi hidup untuk selanjutnya dipotong di Indonesia.
Di Belanda, lain lagi caranya. Sejumlah pakar negara itu melakukan langkah yang jauh lebih maju dengan keberhasilan ‘menciptakan’ daging buatan.
Daging buatan tersebut dihasilkan dari pemanfaatan jaringan daging dari sel punca sapi. Dalam eksperiman mereka, menggunakan lebi dari 20 ribu serat daging yang dikembangkan di laboratorium.
Menurut para peneliti dari Universitas Maastricht itu, daging buatan itu diyakini bisa menjadi solusi atas kebutuhan protein dunia yang terus meningkat. Juga untuk mengurangi emisi gas rumah kaca yang disebabkan produksi daging.
“Kami melakukan penelitian ini karena produksi daging tidak ramah lingkungan, tidak akan pernah bisa memenuhi kebutuhan, dan juga tidak bagus untuk binatang itu sendiri,” kata Mark Post, guru besar di Universitas Maastrict.
Dalam pameran hasil penelitiannya, para ahli menyajikan daging burger seberat 140 gram. Mereka membutuhkan waktu dua tahun untuk memroduksinya dengan biaya sekitar US$ 3 ribu.
Dalam pameran di London tersebut, relawan dipersilakan menikmati daging buatan itu. Sementara pakar nutrisi Austria Hanni Ruetzler mengatakan, meski seperti rasa daging pada umumnya, namun kurang empuk.
Meski dinilai bisa menjadi cara efektif mengatasi peningkatan permintaan protein dari konsumsi daging, namun, temuan itu dinilai tidak serta merta sebagai solusi.
Menurut kepala Jaringan Penelitian Kebijakan Pangan di Universitas Oxford, Inggris, Tara Garnett, solusi peningkatan kebutuhan daging dunia tidak harus dengan fokus pada solusi melalui aspek teknologi.
“Di dunia ini terdapat 1,4 miliar orang yang kelebihan berat badan dan pada saat yang sama satu miliar orang kelaparan. Ini situasi yang aneh dan tak bisa diterima. Solusi persoalan ini tidak dengan memproduksi lebih banyak pangan tapi mengubah sistem persediaan, akses, dan menambah jumlah pangan dengan harga murah,” jelas dia.(EN/VOA/BBC)