Hidup Tegar & Arif Sebagai Warga Daerah Rawan Bencana
Beberapa saat lagi, ‘ulangtahun’ gempa dahsyat yang mendera Kepulauan Nias dan rakyatnya akan diperingati. Gempa yang terjadi sekitar pukul 23.30 Wib tersebut datang dalam kekuatan dahsyat, 8,7 skala Richter (SR). Hanya berselang empat bulan setelah ikut menderita karena gempa dan tsunami Aceh pada 26 Desember 2004 berkekuatan 9,3 SR.
Saat itu, jelang pergantian hari pada 28 Maret 2005, hari penuh kengerian itu menghampiri. Tiba-tiba semua bergoyang, berguncang dan bergetar. Tiba-tiba semua berteriak, meraung mengharap tolong.
Namun, sebagaimana kedatangannya tak diduga, tak dapat dielakkan, dan tak dapat dihentikan, demikian juga siksa yang ditimbulkannya. Dia berlalu begitu saja dan meninggalkan kehancuran, luluh lantak dan penderitaan. Tanah terbelah, rumah hancur, berbagai fasilitas ambruk.
Tidak hanya itu, sekitar seribu nyawa melayang. Saudara-saudari tercinta kita tiba-tiba ‘pergi’ dalam kejutannya. Ribuan jiwa tercabik dalam duka dan keperihan tak terkira.
Bagi yang selamat, sebagian menanggung kesakitan selama bertahun-tahun karena luka-luka yang tidak hanya merusak fisik, tapi juga melukai jiwa. Lebih dari itu, hampir semua orang dibekap trauma dan bagi beberapa orang masih terus tersemai hingga saat ini.
Saat kejadian mengerikan itu, saya berada di Jakarta. Orangtua, dan keluarga besar ada di Pulau Nias. Di antaranya mereka ada yang menjadi korban meninggal. Ada yang luka-luka.
Dari mereka, dari cerita mereka, kengerian itu menular. Tak tahan telinga mendengarnya. Tak tega mendengar penderitaan itu. Tangisan pun serasa tak lagi cukup untuk meluapkan kemarahan terhadap kesakitan. Saat itu, sungguh saat-saat penuh siksa.
Tegar dan Arif
Beberapa orang mungkin belum sepenuhnya pulih dari kesedihan, trauma dan kesakitan sampai saat ini. Juga tidak sedikit orang yang masih menderita karena tidak tertolong sama sekali oleh jubelan bantuan dan seliweran uang selama masa rehabilitasi dan rekonstruksi itu karena banyak diselewengkan dan dinikmati oleh orang-orang yang tidak pantas.
Mari menatap masa depan dengan tegar. Biarkan orang-orang yang telah mendahului kita, bangga atas keuletan dan kegigihan kita untuk tetap hidup tanpa ketakutan.
Kini, tujuh tahun berlalu. Keadaan, memang banyak berubah. Sebagian besar karena bantuan dan dukungan dari saudara-saudara yang sebagian besarnya kita tidak kenal wajah, nama, agama bahkan asal mereka. Kehadiran mereka mengingatkan bahwa kita tidak sendiri di dunia ini.
Pengalaman itu menjadi alasan bagi kita untuk juga harus belajar menjadi ‘malaikat penolong’ bagi saudara-saudara kita yang lain. Hendaknya pengalaman bertemu berbagai wujud kebaikan, membentuk diri kita menjadi orang-orang yang peka dan bergerak cepat untuk menopang orang lain yang membutuhkan.
Sejatinya, itu bukanlah hal yang sama sekali asing bagi kita. Kearifan lokal, keyakinan dan nilai-nilai keadaban kita telah menanamkan hal itu dalam jiwa kita. Pengalaman bersama para penolong di saat kita lemah, menjadi penyempurna bahwa kita harus kuat lebih dari sebelumnya untuk menolong diri sendiri, dan juga agar kehadiran kita berguna bagi orang lain.
Saat ini, masyarakat Kepulauan Nias, meski dengan kemajuan karena perubahan senilai lebih sekitar Rp 5 triliun selama masa rehabilitasi dan rekonstruksi oleh Badan Rehabilitasi dan Rekonstuksi (BRR), namun, kondisi kita masih tetap sama seperti sebelumnya.
Kita masih dalam jajaran masyarakat dengan kemiskinan yang akut. Kita tidak mungkin lagi mengharapkan adanya gempa untuk mendatangkan uang lebih banyak lagi di sana agar kita bisa hidup lebih baik. Tidak, harapan seperti itu tidak mungkin.
Saatnya, kita bersama, saling menguatkan dan menjadi penopang satu dengan yang lain. Dalam masa-masa tanpa kesusahan itu, kita butuh kebersamaan untuk bergerak setingkat lebih tinggi.
Mari kita buktikan, bahwa kedukaan dan keperihan itu tidak dapat mengalahkan kita. Mari hidup lebih baik. Tidak lagi membiarkan waktu kehidupan ini berlalu begitu saja, apalagi dengan melakukan berbagai kerusakan. Baik secara fisik maupun dalam berbagai perilaku yang buruk.
Beberapa orang, saat ini, merasa terbiasa dengan ‘gempa’. Merasa tidak kaget lagi. Dan, kadang-kadang merasa tak lagi takut dengannya. Pada keadaan tertentu, itu sangat membantu supaya tidak terintimidasi dengan pengalaman kelam masa lalu.
Namun pada keadaan lain, itu juga bukan hal yang sehat untuk dijalani. Kita kini berada dalam suasana yang berbeda. Gempa tujuh tahun lalu itu, telah menggoyangkan seluruh sendi wilayah kita. Kondisi kini lebih rentan dibanding sebelumnya.
Tanpa harus menjadi gelisah terus menerus, kita harus jalani hidup sewajar mungkin, namun dalam keterpolaan kewaspadaan dan kesiagaan untuk menghadapi kemungkinan terburuk.
Hiduplah arif sebagai warga daerah rawan bencana. Hidup terus berjalan. Mari kita hadapi. Biarkan kedukaan dan keperihan merasakan dikalahkan dengan gagah karena ketegaran kita untuk berjuang demi hidup dan menikmatinya dengan penuh syukur.
Terima Kasih Tulus
Terakhir, kepada semua saudara-saudari dari berbagai belahan dunia yang karena keberadaan dan kemurahan hati kalian semua kami menemukan kekuatan pada saat-saat gelap itu, kami sangat berterima kasih.
Apalagi mengingat karena beberapa di antara kalian, ada yang ikut menderita saat memberikan pertolongan. Kami sangat mengingat, di antaranya, sejumlah prajurit hebat dan tak akan terlupakan jasanya dari Angkatan Laut Australia yang telah mengorbankan nyawa (meninggal karena kecelakaan helikopter bantuan di wilayah Amandraya, Nias Selatan) saat menolong saudara-saudara kami.
Kami tidak akan melupakan semua itu. Kami akan sangat ingat betapa kehadiran kalian pada waktu kesesakan kami, membuat kami masih memiliki harapan. Kalian telah menjadi perpanjangan tangan Tuhan bagi kami.
Tuhan beserta kita.