Bernafas di Tengah Lingkaran Api
Jakarta (ANTARA News) – Ibarat bagian tangan, Indonesia adalah jari manis yang dilingkari sebuah cincin. Bedanya ini bukan cincin biasa melainkan cincin bencana yang menjadikan si zamrud khatulistiwa itu harus selalu bersiap menghadapi bencana.
Masyarakat di tanah air yang merajut hidup di dalamnya ibarat bernafas di tengah lingkaran api.
Indonesia memang terletak dalam jalur ring of fire kawasan Pasifik yang merupakan zona teraktif dengan deretan gunung vulkanis aktif di dunia. Cincin api Pasifik atau lingkaran api Pasifik itu merupakan daerah yang sering mengalami gempa bumi dan letusan gunung berapi yang mengelilingi cekungan Samudera Pasifik.
Daerah ini berbentuk seperti tapal kuda dan mencakup wilayah sepanjang 40.000 km dan sering pula disebut sebagai sabuk gempa Pasifik.
Diketahui sekitar 90 persen gempa bumi yang terjadi di dunia, sebanyak 81 persen di antaranya yang terbesar terjadi di sepanjang cincin api Pasifik. Daerah gempa berikutnya (5-6 persen dari seluruh gempa dan 17 persen dari gempa terbesar) adalah sabuk Alpide yang membentang dari Jawa ke Sumatra, Himalaya, Mediterania, hingga ke Atlantika. Berikutnya adalah Mid-Atlantic Ridge.
Fakta itu menjadikan Indonesia sebagai salah satu rangkaian daratan rawan bencana, mulai dari gempa bumi hingga letusan gunung berapi.
Sisi positifnya, jajaran gunung vulkano aktif menjadikan Indonesia sebagai daratan tersubur sebagaimana bait dalam lagu Koes Plus; tongkat kayu ditanam pun bisa tumbuh.
Kepala Badan Meteorologi dan Geofisika (BMG), Ir. Sri Woro B. Harijono, MSc., dalam salah satu tulisannya menjelaskan potensi gempa bisa terjadi kapan saja dan di mana saja. “Semua daerah di Indonesia sama potensialnya,” katanya.
Fakta bahwa Indonesia membujur dalam zona cincin api Pasifik telah ada sejak dahulu kala. Sayangnya, masyarakat di tanah air baru menyadari kemudian sejak badai tsunami menerjang Aceh dan Nias di penghujung 2004 silam.
Ratusan ribu nyawa yang melayang akibat bencana yang tercatat dalam sejarah hidup manusia itu rupanya tidak juga mengubah masyarakat di tanah air untuk belajar.
Gempa berkekuatan 7,6 Skala Richter yang mengguncang Sumatra Barat dan sekitarnya pada Rabu (30/3) menjadi cermin nyata, kembali tidak siapnya Indonesia menghadapi bencana.
“Kita masih saja berkutat dengan persoalan dan penyakit yang sama saat bencana terjadi,” kata Kepala Pusat Informasi dan Humas Departemen Komunikasi dan Informatika, Gatot S. Dewa Broto.
Gatot menyesalkan soal kepadatan trafik telekomunikasi yang tidak juga teratasi pascabencana terjadi yang mengakibatkan terjadinya putus kontak dalam telekomunikasi.
Itu baru satu hal, berbagai persoalan lain menerpa mulai dari gagapnya pemangku kepentingan untuk melakukan gerakan tanggap darurat hingga distribusi bantuan yang carut-marut dan rawan penyelewengan.
Buka Mata
Mulailah membuka mata bahwa untuk hidup di Indonesia memerlukan sikap waspada ekstra. Indonesia merupakan daratan yang terbujur di atas patahan dan batuan induk muda yang rawan dengan tumbukan.
Selain terletak di jalur lingkaran api, Indonesia juga dikepung oleh lempeng Eurasia, lempeng Indo-Australia, dan lempeng Pasifik. Sewaktu-waktu lempeng itu sangat mungkin bergeser patah hingga menimbulkan gempa bumi. Selanjutnya jika terjadi tumbukan antarlempeng tektonik dapat menghasilkan tsunami, seperti yang terjadi di Aceh dan Sumatera Utara.
Direktorat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (DVMBG), Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral, mencatat, setidaknya ada 28 wilayah di Indonesia yang dinyatakan rawan gempa dan tsunami.
Daerah-daerah itu di antaranya NAD, Sumatra Utara, Sumatra Barat, Bengkulu, Lampung, Banten, Jateng dan DIY bagian Selatan, Jatim bagian Selatan, Bali, NTB dan NTT. Daerah lain di antaranya Sulut, Sulteng, Sulsel, Maluku Utara, Maluku Selatan, Biak, Yapen dan Fak-Fak di Papua, serta Balikpapan Kaltim.
Fakta itu sudah seharusnya menjadikan masyarakat di tanah air membekali diri dengan sikap siaga menghadapi bencana yang layaknya siklus akan terulang dan terus terjadi.
Jadi, membekali diri dengan berbagai macam pengetahuan dan informasi tentang tanggap darurat bencana mutlak dilakukan oleh masyarakat di Indonesia.
Communication Senior Manager ACT (Aksi Cepat Tanggap), Bayu Gawtawa, mengimbau agar masyarakat mulai mencari tahu informasi tentang gempa termasuk tindakan menghadapinya.
“Masyarakat hendaknya mulai mengenali ruangan tempat aktivitasnya baik di rumah maupun tempatnya bekerja sehari-hari,” katanya.
Upayakan untuk mengenal setiap detail dalam ruangan sehingga ketika sumber penerangan atau listrik padam seseorang tempat dapat beraktivitas dan mengenali setiap ruangan tanpa kesulitan.
Sediakan tempat khusus berongga seperti meja kayu yang harus dipastikan kekuatannya. Di bawahnya tempatkan tas/kotak darurat yang di dalamnya berisi makanan instan dan obat-obatan. Bawalah selalu alat telekomunikasi yang siap digunakan sewaktu-waktu.
Jangan remehkan keberadaan bantal sofa. Benda tersebut sangat efektif dipersiapkan untuk melindungi bagian tubuh dari benturan keras.
Dan yang terpenting saat bencana terjadi, jangan panik serta jangan melakukan banyak gerakan. Bila memungkinkan segera keluar dari bangunan menuju tempat terbuka yang luas. Jika tidak memungkinkan masuklah ke dalam ruang berongga yang ada dalam ruangan.
Demi keselamatan hindari tempat-tempat yang berkaca saat bencana terjadi. Apabila berada di dalam gedung bertingkat, seseorang tidak harus panik. Sebab umumnya gedung bertingkat telah dirancang sedemikian rupa untuk mampu menahan gempa meski dalam beberapa saat.
“Latihan penyelamatan gempa atau tsunami secara rutin perlu dilakukan agar ketika terjadi gempa sudah secara refleks tahu apa yang harus dilakukan,” katanya. Ia menambahkan, jangan lupa untuk selalu berdoa sesuai keyakinan.
Itulah tindakan siaga ekstra ketika harus hidup di tengah lingkaran api.(Antara, 10 Oktober 2009)
Kenyaan bahwa kita tinggal di zona cincin api mewajibkan kita untuk hidup arif dan bersahabat dengan bencana. Terimakasih kepada redaksi untuk artikel ini.
bukannya daerah kalimantan aman jarang terjadi gempa? betul tidak?