Press Release — Tolak Intervensi Kekuasaan terhadap KPK
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perpu) Pelaksana tugas (Plt.) KPK telah diterbitkan 6 hari lalu. Ditengah penolakan dan kecaman, Perpu Nomor 4 tahun 2009 yang merevisi Pasal 33 UU Nomor 30 tahun 2002 tentang KPK akhirnya tetap ditandatangani Presiden sejak 22 September 2009. Bahkan, saat ini sudah dibentuk Tim Rekomendasi yang bertugas mengusulkan tiga nama pengganti pimpinan KPK yang sudah diberhentikan sementara.
Produk hukum yang sangat subjektif dan nyaris “tanpa kontrol†ini tentu saja berbahaya jika tidak didasari alasan yang kuat dan dengan data empiris yang jelas. Latar belakang penerbitan untuk Penyelamatan KPK, mengisi kekosongan kepemimpinan KPK, dan melanjutkan pemberantasan korupsi dinilai tidak lebih dari pemanis (sugar cover) dari ancaman yang sesungguhnya. Hal ini mudah dibaca dari berbagai fenomena adanya kekuatan yang menyerang balik KPK. Kriminalisasi terhadap dua pimpinan KPK merupakan catatan terdekat sebelum penerbitan Perpu. Hanya selang satu hari setelah Presiden menerbitkan Kepres pemberhentian sementara (21/9), Perpu No. 4 tahun 2009 itu terbit.
Konsideran Perpu ini mengatakan, kekosongan kepemimpinan KPK telah mengganggu kinerja dan menimbulkan ketidakpastian hukum dalam kerja KPK. Karena proses seleksi/penggantian biasa seperti diatur di UU KPK membutuhkan waktu yang sangat lama, maka alasan kegentingan yang diakibatkan oleh kekosongan anggota KPK tersebut perlu dijawab dengan Perpu. Argumentasi ini tentu bisa jadi sangat lemah dan terlalu subjektif. Alih-alih menyelamatkan KPK, perpu ini justru dapat dibaca sebagai “pembenaran†kriminalisasi yang dilakukan terhadap 2 pimpinan KPK. Dengan kata lain, jika hal ini dibiarkan, ke depan Presiden bukan tidak mungkin menerbitkan Perpu dengan alasan yang lebih sumir dan subjektif. Bagaimana jika secara subjektif Perpu diterbitkan untuk membubarkan KPK, atau katakanlah untuk mengontrol aktivitas media massa dan masyarakat sipil?
Karena itulah, penolakan terhadap Perpu tetap perlu disuarakan secara lantang.Akibat peraturan seperti ini bukan hanya independensi KPK yang terancam, akan tetapi jauh lebih besar. Jika Presiden dapat dengan mudah menerbitkan Perpu hanya dengan alasan subjektif meskipun ditolak publik, tidak mempertimbangkan suara dan kritik masyarakat secara serius, dan cenderung “represifâ€, tentu saja kekhawatiran demokrasi dan Hak Asasi Manusia terancam dengan Perpu ini menjadi sangat logis. Hal ini diperparah jika posisi penegak hukum seperti Kepolisian rentan di intervensi dan digunakan sebagai “alat pemukul†bagi pihak yang bersebrangan dengan kekuasaan. Sehingga, tidak berlebihan jika kita mengkhawatirkan kembalinya era pemerintahan absolut jika preseden seperti ini dibiarkan terjadi tanpa pengawasan dan kritik yang kuat.
Indonesia adalah negara yang punya pengalaman dengan berbagai bentuk pemerintahan. Mulai dari demokrasi terpimpin, orde baru yang menempatkan logika pembangunan dan kestabilan diatas segalanya, HAM yang tidak ditempatkan sebagai prioritas, kebebasan informasi yang dikekang, pembredelan, penculikan, dan bahkan sebuah rezim yang memelihara aturan-aturan anti subversif yang menjadi alat untuk mengontrol suara-suara yang berbeda dari pemerintahan resmi. Berbagai model dan karakter pemerintahan anti-demokrasi tersebut tentu saja perlu menjadi pelajaran penting bagi publik. Masyarakat Indonesia tentu saja tidak ingin, masa lalu yang kelam tersebut terulang kembali di era reformasi seperti saat ini. Kita tidak boleh mundur.
Perpu Plt. KPK memang hanya merevisi dua pasal dalam UU KPK dan ruang lingkup pengaturannya hanya untuk istitusi KPK. Akan tetapi memperhatikan kondisi politik dan penegakan hukum yang tidak dapat dilepaskan satu dengan lainnya, maka kekhawatiran muncul dari berbagai tokoh masyarakat antikorupsi, dan HAM.
Adanya rangkaian serangan terhadap KPK, institusi penegak hukum (POLRI dan Kejaksaan) yang masih menjadi sub-ordinat Eksekutif, dominasi partai pemerintah dan koalisi di parlemen 2009-2014, dan hampir hilangnya partai oposisi menjadi catatan yang harus dicermati. Demikian juga dengan fenomena “pemusatan kekuasaan†di sejumlah lembaga negara menuju satu klan dan puncak baru. Jika lembaga negara seperti DPR, BPK, Kepolisian, Kejaksaan, Partai Politik, dan bahkan Kekuasaan Kejakiman dapat dikontrol, langsung ataupun tak langsung, tentu saja hal ini berarti bencana untuk demokrasi dan pemerintahan yang baik.
Untuk kondisi saat ini, bahkan lembaga independen seperti KPK pun juga berada dititik kritis yang dapat dijebak menjadi “boneka kekuasaan†baru melalui Perpu Plt. KPK. Memang, secara teoritis sangat mudah mengatakan, bahwa objektifitas arti “kegentingan memaksa†dapat diuji oleh DPR di persidangan berikutnya. Atau, mudah mengatakan mekanisme kontrol terhadap Presiden akan dilakukan oleh DPR. Namun, tentu saja di tataran empiris hal itu tidak realistis. Membaca peta politik di DPR periode 2009-2014, rasanya tidak mungkin kebijakan Presiden akan dianulir. Karena DPR pun relatif lebih homogen, dengan oposisi yang justru ingin berbagi kue kekuasaan dengan partai pemerintah. Buruknya komposisi politik dan trend pemusatan kekuasaan tersebut menjadi satu potensi ancaman terhadap demokrasi ke depan. Apalagi saat ini, juga mulai diwacanakan rencana amandemen konstitusi untuk memperpanjang masa jabatan Presiden.
Kalaupun DPR menolak Perpu, tetap saja akibat yang tidak baik selama rentang masa berlaku perpu tetap saja membahayakan independensi KPK dan demokrasi secara umum. Dengan kata lain, melihat Perpu No. 4 tahun 2009 sebagai satu bagian dari kosmos politik hari ini dan 5 tahun ke depan, maka tetap menolak dan tidak mengakui legitimasi Perpu merupakan pilihan yang paling tepat.
Aliansi masyarakat berencana menempuh jalur hukum dan politik untuk melawan Perpu 4/2009 ini. Mulai dari pengajuan Judicial Review (JR) terhadap Perpu dan mendesak DPR untuk menolak mengesahkan.
Oleh karena itu, kami:
1. Menolak dan tidak mengakui legitimasi Perpu Nomor 4 tahun 2009
2. Mengingatkan Presiden agar tidak terjebak pada kepentingan politik yang mengarah pada bentuk pemerintahan otoriter “model baruâ€.
3. Meminta Presiden untuk memerintahkan Kapolri untuk menghentikan Kriminalisasi terhadap Pimpinan KPK, dan membentuk penyelidik independen untuk memeriksa kemungkinan adanya penyalahgunaan kekuasaan di tubuh POLRI.
Aliansi terdiri atas lembaga-lembaga seperti ICW, KRHN, PSHK, LeIP, Indonesia Police Watch (IPW), INFID, HRWG, DEMOS, TII, KONTRAS. Sedangkan dukungan perorangan oleh Asmara Nababan (Aktivis HAM); Teten Masduki (Sekjen TI Indonesia); Meuthia Ganie Rochman (Pengajar FISIP UI); Zumrotin (Mantan Komisioner KOMNAS HAM, Board KONTRAS); Neta S. Pane (IPW); M.M. Billah (mantan Komisioner KOMNAS HAM); Ilham Wahyu (Ketua BEM FHUI); Nawawi Bahruddin (INFID).
Selanjutnya, A. Prajasto (DEMOS); Dadang Trisasongko (Ketua Dewan Etik ICW); Danang Widoyoko (Koordinator ICW); Andi Sahrandi; Bambang Widodo Umar (Purnawirawan POLRI); Emerson Yuntho (Wakil Koordinator ICW); Arsil (Wakil Direktur LeIP); Ery Nugroho (Direktur Operasional PSHK); Wahyudi Djafar (Peneliti KRHN); Febri Diansyah (Peneliti Hukum ICW), Syamsudin Harris (Profesor Riset LIPI); Ikrar Nusa Bakti (mantan Kepala Pusat Penelitian LIPI); LBH Jakarta, dan ILRC.
Kontak:
Febri Diansyah
Juru Bicara Aliansi, Peneliti Hukum – Anggota Badan Pekerja ICW
Jl. Kalibata Timur IV/D No. 6 Jakarta Selatan
HP. 0819 7575 404
Telp: 021-7901885, 021-7994005
http://www.antikorupsi.org
http://febridiansyah.wordpress.com/