Menyerap Kata-Kata Asing Ke Dalam Li Niha
Â
Untuk mengembangkan dan mempertahankan keberadaan Li Niha sebagai alat komunikasi, masyarakat Nias selaku petuturnya haruslah siap menerima ‘infiltrasi’ kata-kata asing ke dalam Li Niha. Tanpa itu, tanpa masuknya kata-kata asing tadi, Li Niha akan sangat kering sebagai alat komunikasi, sangat terbatas geraknya untuk menjadi alat komunikasi yang efektif.
Kemajuan di berbagai bidang kehidupan telah melahirkan berbagai macam ide, konsep, tekonologi, dan sebagainya yang melahirkan kosa kata baru yang menjadi milik manusia dalam kesehariannya. Kita sudah semakin terbiasa dengan berbagai istilah yang terkait dengannya: mailing list, email, teleskop, dsb. Pasar membanjiri kita dengan berbagai barang buatan teknologi: telefon genggam, ipod, keyboard, dsb.
Li Niha, karena posisinya yang sangat marginal dalam percaturan dunia bahasa, hampir tidak memiliki andil apa pun untuk melahirkan istilah yang terkait dengan kemajuan tadi. Masyarakat Nias tentu saja tidak perlu berkecil hati, karena nasib yang sama dialami oleh suku-suku bangsa dan bangsa-bangsa lain, yang tergolong besar sekalipun.
Pemasukan unsur-unsur luar ke dalam bahasa Nias tidaklah mungkin kita hindari, dan bahkan perlu. Sebab dengan demikian Li Niha akan diperkaya. Moto, gambara, foto, koputö (kofutö), nögara, söpeda, bufati, cama (camat), zuta (juta) … adalah beberapa contoh kata-kata asing yang masuk ke dalam perbendaharaan kata Li Niha).
Namun, kita harus punya aturan atau kaidah untuk membentengi Li Niha dari unsur-unsur yang bisa menghilangkan jati diri Li Niha. Orang Italia menulis “Frankfurt” sebagai “Francoforto” .. mereka menyesuaikan dengan “lidah” Italia mereka. Kita pun seharusnya begitu, kata-kata asing yang diserap itu kita sesuaikan dengan “lidah” kita, dengan kaidah bahasa kita, dan bukan “lidah” kita yang meniru “lidah” orang asing dalam berbicara dalam Bahasa Nias.
Salah satu yang menjadi kegelisahan penulis adalah: apabila unsur-unsur luar itu yang akhirnya mendikte kaidah-kaidah Bahasa Nias, dan bukan kita – petutur asli. Jangan sampai kita menjadi terkejut mendengar “Möido ba fasa” tetapi menganggap sangat normal struktur kalimat: “Ya’ita manörö-nörö“. Kalau kita membiarkan hal ini terjadi, maka unsur-unsur luar tadi telah menjadi “tuan” atas kita. (Silahkan baca artikel: “Yahobu ! Manere-nere Si’alabe“).
Salah satu ciri khas Li Niha adalah ketiadaan bunyi konsonan pada akhir setiap suku kata. Hal ini seharusnya dipertahankan: foto, moto, kalasi, galasi. Kata-kata asing yang langsung mengikuti ciri ini dengan mudah kita serap tanpa masalah serius. Kamera, televisi, radio, karaoke, Amerika, Venezuela, Saudi Arabia, telekomunikasi, radiasi, adalah beberapa contoh kata yang dimaksud.
Karakter ‘õ’ adalah karakter yang sangat dikenal dalam Li Niha, dan berfungsi untuk membedakan bunyi e pepet dari bunyi e. Maka, daripada menulis saohagele, kita tulis: saohagõlõ, dari pada menulis manere-nere, kita tulis manõrõ-nõrõ, dan seterusnya. Dan kalau kita ingin mengadopsi kata-kata asing yang mengandung bunyi e pepet, maka kita mengganti e pepet itu dengan ‘õ’: sõpeda, nõgara.
Pertanyaannya, kapan kaidah-kaidah Li Niha ini harus dipertahankan, dan kapan kita perlu lebih fleksibel menerapkannya ?
Barangkali kita tak perlu kaku memaksakan penerapan ciri khas itu misalnya untuk nama-nama kota atau negara dan nama diri. Maka seharusnya kita menerima: Santiago, Washington, Brisbane, Pakistan, Abert, Krause, dst. tanpa memaksakan penerapan kaidah Li Niha secara kaku. Kita misalnya tak bisa melarang Ono Niha mengambil nama asing seperti Adolf Hitler, Ahmad Kristanto, atau Barack Obama.
Selanjutnya, dalam usaha menyerap kata-kata itu untuk memperkaya Li Niha, kita juga harus memikirkan konsekuensi dari penerapan secara kaku kaidah-kaidah Li Niha tadi. Misalnya, dengan memaksakan menyerap Pakistan menjadi, katakanlah – Pakisitana – kita justru menambah kesulitan orang luar untuk mencoba memahami Li Niha. Ada tentunya pengecualian dalam hal ini, yaitu kata-kata asing yang sudah terlanjur dilinihakan sejak lama sesuai dengan kaidah Li Niha yang kaku itu, biarlah ia tetap tinggal seperti itu. Masuk dalam kasus ini adalah kata-kata seperti Hagõri (Inggris), Holanda (Holland), Aferika. Nama-nama bulan juga sudah lama dilinihakan menurut kaidah Li Niha itu: Yanuari, Feberuari, Mareti, Aperili, Mei, Zuni, Zuli, Auguso, Setembe, Otobe, Novembe, Desembe. Biarlah kata-kata itu tetap seperti itu. Sekali lagi, yang kita permasalahkan adalah penyerapan kata-kata baru untuk memperkaya Li Niha, yang sampai saat ini belum diserap.
Ada sejumlah kata yang relatif mudah menyerapnya ke dalam Li Niha, karena bunyinya yang relatif tidak kompleks: listiri (listrik), gasi (gas), palasiti (plastik), kõlasi atau kalasi (kelas).
Akan tetapi ada sejumlah kata yang karena struktur dan bunyinya yang relatif kompleks, kita menghadapi dilema melinihakannya. Hard disk, internet, stetoskop, spektakular, spekulan, printer.
Namun sebelum terlanjur menyerap kata-kata itu secara langsung, kita bisa bertanya: apakah kita perlu menyerap begitu saja sembarang kata asing untuk memperkaya Li Niha. Sebaiknya, sebelum kata-kata itu dilinihakan, dicari dulu kata-kata asli Li Niha yang bisa merepresentasikan makna dari kata-kata itu.
Hõma adalah kata asli Li Niha yang sudah jarang didengar oleh generasi muda sekarang. Hõma tiada lain adalah toilet, tempat buang air besar/kecil (kakus).
Barahao adalah kata lain yang sudah jarang dipakai, yang artinya orang banyak atau publik. Soguna ba mbarahao:Â untuk kepentingan publik.
Talake adalah penghubung, sangat pas untuk menghadirkan sepenuhnya makna “liason officerâ€.
Jadi, sekali lagi, sebelum melinihakan kata-kata asing, ada baiknya digali kembali berbagai istilah atau kata Li Niha yang sudah lama terpendam, tenggelam dan tak pernah dipakai lagi dalam percakapan kita.
Bagaimana dengan istilah-istilah baku di berbagai cabang sains dan teknologi? Perlukah kita menerapkan kaidah Li Niha dalam menyerapnya? Agaknya, kata-kata itu kita biarkan seperti adanya tanpa berusaha memaksakan kaidah Li Niha. Yang berikut adalah contoh-contoh kasus di mana kita menerapkan penyerapan langsung.
Nama-nama bahasa komputer: (FORTRAN, Pascal, C/C++, Visual Basic.
Nama-nama web browser: Google, Yahoo, Safari, Internet Explorer.
Nama-nama unsur kimia dan simbolnya: C (kabron), Co (cobalt), Xe (xenon),
Nama satuan fisis: kWh, cm, km, kW, MJ, kg.
Tetapi kalau mencari mencoba menyerap kata compiler, internet, explorer (bukan terkait dengan salah satu nama browser internet – Internet Explorer dari Microsoft) maka perlu diterapkan kaidah Li Niha.
Bagaimana dengan pemasukan unsur-unsur baru ke dalam Li Niha melalui huruf-huruf yang selama ini tidak dikenal pemakaiannya: Q, V, X, ? Barangkali sudah saatnya mempertimbangkannya, demi perkembangan Li Niha itu sendiri. Keempat huruf itu banyak muncul dalam istilah-istilah teknologi atau keilmiahan dan nama-nama diri atau kota.
Huruf V sebenarnya secara otomatis telah masuk ke dalam Li Niha melalui nama diri: Valentinus, Evi, Veronika, Vincensius. Dan, daripada menulis telefisi, barangkali kita langsung menyerap kata televisi tanpa mengubah v menjadi f.
Huruf Q jelas tak pernah dipakai dalam kata asli Li Niha, dan juga sangat jarang muncul dalam kata-kata asing, dengan pengecualian bahasa Arab. Hal yang sama berlaku untuk huruf X.
Dalam 30an tahun terakhir telah banyak kata asing yang diserap oleh Li Niha. Beberapa contoh adalah: nila (nilam), sokõla (cokelat), kofutõ atau koputõ (komputer), kibo (keyboard), televisi, bupati atau bufati, cama (dulu asitewedana), sake (cengkeh), zuta, juta (juta), aralozi (jam tangan).
Idealnya, proses penyerapan itu melalui aturan yang dibakukan, sehingga proses penyerapan itu berlangsung cepat dan meluas dan tidak sembarang. Dan pembakuan aturan semacam itu seharusnya melalui sebuah Dewan Bahasa Nias. Tetapi hal itu (pembentukan Dewan Bahasa Nias) tidak mudah direalisasikan, meskipun tidak salah kalau kita menggantungkan harapan pada Lembaga Budaya Nias (LBN).
Paparan singkat ini boleh dianggap sebagai pemancing diskusi bagi para pemerhati dan peminat masalah-masalah kebahasaan Li Niha. (eh)
bahasa jepang juga tidak mengenal adanya konsonan dibelakang kata, misalnya menye-but aisu kurimo untuk es krim, dan nama saya dipanggil zuru azumi, untuk standarisasi mesti dicarikan pola umum al :
* sifat umum penyebutan kata secara morfologis, morfofonologis
* huruf konsonan akhir dikategori, apakah semua dibuang (b, c ,d , f… dibuang habiskah?
* bunyi dengung diawal, diakhir dan ditengah , kapan musti n atau ng atau m
*untuk fowel mana perlu ditambah m, mb, nd, ndr
*apakah sangat jelas diikuti kaidah hukum dm seperti bahasa indonesia
*etimologi atau asal kata – khusus untuk ini , saya kira ada “ketegangan atau politik atau tidak keterbukaan” atau syndroma dengan Umanonya pak Zebua, kalau kata dalam bahasa nias kita bilang berasal dari bahasa A maka pada umumnya orang membacanya bahwa orang nias berasal dari negeri A, yang menurut saya adalah logika yang sangat pendek. saya melihat bahwa sukses etimologi hanya sekedar diperoleh sebuah kamus etimologi biasa , misalnya kata tertentu berasal dari bahasa apa, digunakan pertama kali pada dokumen apa, atau diambil dari cerita apa, hoho apa dst….lihat kamus online etymology, http://www.etymonline.com/ .
saya tidak meragukan pak Halawa sebagai lingguis dan penutur asli dalam hal ini, semoga pancingannya beroleh banyak hi’a. soal spele : Ya’ahowu, atau Yahowu atau Ya’ahoowu, dan saya kesulitan mencari huruf ‘õ’ dalam tastatur saya , sehingga saya sering menulisnya dengan :
Saohagoeloe
zul azmi sibuea
Menurut saya kata ‘sepeda’ sudah diterjemahkan/disera dlm li niha dengan ‘kureta’, ‘holland’ menjadi ‘ulöndra’, ‘jam tangan’ menjadi ‘loji’, ‘coklat’ dengan ‘sokela’, ‘televisi’ menjadi ‘tivi’. Kemudian nama2 bulan januari, februari dst sepertinya belum diserap dalam bahasa nias, kalau nama bulan dalam li niha disebut dengan angka mis: bulan april disebut bawa si öfa, bukan bawa aperili, bulan mei disebut bawa si lima, bukan bawa mei.
Yang terakhir penyerapan bahasa ini juga sebaiknya memperhatikan kecenderungan perubahan vokal yg terjadi, misalnya ‘sepatu’ menjadi ‘sifatu’, tidak serta merta diserap menjadi ‘söpatu’ walaupun kata tsb tidak memiliki konsonan pada akhir suku katanya. Terima kasih. Tabu ta’omasi’ö li niha.