Böwö Dalam Adat Nias (1)

Thursday, May 22, 2008
By nias

Oleh: E. Halawa*

Pendahuluan
Dalam artikelnya berjudul: “Sistem Adat Perkawinan Nias: Salah Satu Penyebab Kemiskinan Masyarakat Nias?“, Postinus Gulö menguraikan secara panjang lebar tentang adat perkawinan Nias, etimologi kata böwö, sisi-sisi positif dan negatif dari böwö dan sejumlah usulan untuk memecahkan masalah seputar sisi negatif dari böwö yang mahal.

Postinus berangkat dari pemahaman tentang arti kata böwö, kenyataan di lapangan berkaitan dengan böwö, usaha-usaha yang dilakukan gereja (khususnya usaha P. Mathias di wilayah Nias Barat) untuk menekan angka böwö, dan mengakirinya dengan sejumlah butir sumbangan pemikiran untuk mencoba mengatasi masalah yang berkaitan dengan “mahalnya” böwö.

Tulisan ini coba melihat sisi-sisi yang belum terungkap atau belum muncul ke permukaan dari apa yang telah dikemukakan Gulö dalam tulisannya. Sisi-sisi yang belum terungkap itu, kalau kita berhasil menyajikannya dalam tulisan singkat ini, barangkali sedikit banyak akan membantu kita memahami böwö dan posisinya, maknanya dan pesannya untuk masyarakat Nias. Tulisan ini dibagi dalam beberapa bagian dan akan ditayangkan secara berangsur di Situs Yaahowu.

Makna kata böwö
Dalam tulisannya, Gulö mengartikan böwö sebagai “hadiah, pemberian yang cuma-cuma”. Tulis Gulö: “Jadi arti sejati kata böwö mengandung dimensi aktualisasi kasih sayang orangtua kepada anaknya: bukti pehatian orangtua kepada anaknya!”

Dari uraian Gulö tentang arti böwö, kita lantas bisa bertanya: “Dalam konteks perkawinan secara adat Nias, apa yang menjadi “hadiah” atau “pemberian cuma-cuma”, siapa pemberi dan siapa penerima ?” Setelah membaca berulang-ulang tulisan Gulö, penulis tidak menemukan jawaban atas ketiga pertanyaan yang saling berhubungan itu.

Böwö dalam pengertian Gulö adalah kata benda konkrit: “hadiah, pemberian cuma-cuma”. Uang, emas, babi, ayam, tanah adalah beberapa contoh kata benda konkrit yang juga bisa dihadiahkan. Nah, mahar – uang jujuran dalam perkawinan adalah “böwö” dalam pengertian Gulö ini. Akan tetapi kalau kita mengadopsi pengertian ini untuk böwö maka kita dengan segera diperhadapkan dengan kontradiksi. Bagaimana mungkin “hadiah” atau “pemberian cuma-cuma” mencapai angka belasan atau puluhan juta, puluhan ekor babi, berkarung-karung beras ? Kalau kita menerapkan pengertian Gulö, maka kalimat: “Böwö sebua” atau “Ebua mböwö” tidak bisa kita fahami secara logis lagi, karena “kontradiksi internal” yang ada di dalamnya. Dengan kata lain, pemaknaan kata böwö versi Gulö, tidak berhasil melepaskan kita dari irasionalitas böwö dalam kaitannya dengan perkawinan adat Nias.

Apabila kita melanjutkan penggunaan pengertian böwö versi Gulö untuk menjawab pertanyaan siapa pemberi “hadiah” atau “pemberian cuma-cuma” itu, maka tetap saja kita mengalami kesulitan yang sama. Bagaimana mungkin sang pemberi “mengadiahkan mahar yang tinggi”, bagaimana mungkin si penerima “hadiah” menganggapnya sebagai “tanda kasih sayang dari sang pemberi hadiah” ?

Lantas bagaimama kita memaknai böwö dalam konteks adat perkawinan Nias ? Sebelum kita melakukan usaha pemaknaan baru itu (atau barangkali menggali kembali makna asli dari kata böwö itu), mari kita lihat secara singkat pihak-pihak yang memiliki peran dalam suatu perkawinan adat Nias.

Dalam perkawinan adat Nias ada tiga pihak yang memiliki peran penting tetapi dalam posisi yang berbeda. Ketiga pihak itu adalah: (1) “soroi tou”, (2) “sowatö atau sonuza” (keluarga pihak penganten perempuan), dan (3) “uwu nono alawe” (pihak saudara laki-laki dari ibu (calon) penganten peremuan – keluarga dari sibaya penganten perempuan.

“Soroi Tou” – Yang datang dari bawah
Pihak pertama adalah: “soroi tou”, yang “datang dari bawah”. Ini adalah pihak laki-laki yang ingin menyunting seorang anak perempuan Nias. Dalam konteks adat Nias, “soroi tou” adalah pihak yang ‘lemah’ ! Mereka datang dari “bawah” dan harus memiliki sikap: lemah, tunduk, sopan, tutur kata harus dijaga, tidak boleh mensejajarkan diri dengan pihak kedua dan ketiga yang akan disebut di bawah. Dalam keluarga yang menjalankan adat Nias secara konsekuen, posisi ini tidak bisa ditawar-tawar ! Artinya apa ? Selaku “soroi tou”, pihak laki-laki harus menanggalkan segala atribut berkonotasi “agung” ketika berhadapan dengan pihak kedua dan ketiga ! Artinya apa ? “Sorou tou” harus “merendahkan diri” (dan tentu saja harus tahu diri): dia tidak boleh berlagak kaya atau menunjukkan bahwa ia kaya; ketika bertemu dengan pihak keluarga calon mertua, ia harus “tunduk”: hormat, tidak peduli apakah ia seorang pejabat atau orang biasa saja.

Ganjarannya ? “Soroi tou” yang mengikuti adat di atas akan sangat dihargai dalam keluarga pihak perempuan ! Ia akan dipanggil “Ono” (anak), bukan lagi hanya umönö (menantu).

Beberapa waktu lalu, penulis berada di Nias. Ada sebuah kisah nyata yang bisa memberikan gambaran jelas tentang apa yang telah diuraikan di atas. Ada seorang pemuda yang jatuh hati pada seorang pemudi, dan demikian sebaliknya. Menurut adat Nias, untuk “merealisasikan” kisah kasih ini, pihak laki-laki harus datang ke pihak perempuan. Pihak laki-laki biasanya mengirim “utusan” – sebaiknya orang yang cukup tahu keadaan keluarga pihak perempuan, dan orang yang berterima atau disenangi oleh pihak keluarga perempuan. Utusan inilah yang dengan sangat hati-hati menyampaikan niat pihak laki-laki sebagai berikut (kalimat berikut bisa bervariasi, tetapi intinya tetap sama: ungkapan rendah hati.)

“So mena’ö zi möi mamakhai si tenga bö’ö, na lö fatimba khöda/khömi” (“Kalau tidak berkeberatan, ada pihak yang ingin sekali menjalin hubungan kekerabatan dengan keluarga kita ini”). Demikianlah kurang-lebih isi pesan dari pihak keluarga laki-laki yang disampaikan oleh “utusan” tadi kepada pihak keluraga perempuan. Biasanya, kalau pesan ini disampaikan dengan baik, maka pihak perempuan akan menjawab singkat:

“Hana wa fatimba khöda da’ö” ? (Mengapa harus kita tolak (kalau ada yang ingin menjadi saudara kita ?)

Dalam kisah nyata di atas, ternyata pihak laki-laki “melanggar” aturan, orang tua sang pemuda “terjun langsung”: datang bersama anaknya laki-laki ke rumah keluarga pihak perempuan. Ini adalah langkah “blunder” karena ini tidak biasa. Dalam adat Nias, sangat janggal bahwa orang tua laki-laki langsung menjadi “juru bicara”, terlebih pada awal-awal proses penjalinan komunikasi kedua pihak.

Namun, karena dalam adat Nias, setiap yang datang dianggap sebagai tamu (kecuali tamu tak diundag seperti maling), maka orang tua tadi dan anaknya diterima dengan baik.

Sayangnya, “blunder” tadi diikuti oleh “blunder” berikutnya: pemakaian “bahasa pasaran” dalam perundingan dengan keluarga perempuan. “Ha’uga mböwö kira-kira ?” (berapa mahar kira-kira?) itu antara lain yang keluar dari mulut orang tua si laki-laki kepada keluarga pihak perempuan. Bahasa pasaran macam itu jelas tak biasa muncul dalam perundingan empat-mata macam itu, dan bahkan bisa berarti: (1) pihak laki-laki tidak tahu “sopan santun” berbicara dalam adat Nias, dan/atau (2) pihak laki-laki ingin “merendahkan” pihak perempuan.

Alkisah, pertemuan empat-mata itu gagal: pihak laki-laki memang dijamu dan dipersilahkan bermalam di rumah pihak perempuan, tetapi ketika mereka pulang, mereka tidak diberi “ni’odöra” (daging babi bagian dari jamuan tadi untuk dibawa sebagai “kabar” baik kepada keluarga pihak laki-laki).

Setiba di rumah, keluarga pihak laki-laki tadi mencium sesuatu yang tidak beres, terlihat dari “absennya” ni’odöra tadi. Singkat kata, ayah dari sang pemuda menyadari “kekeliruannya” dan menyerahkan persoalan kepada pihak keluarga. Pada akhirnya, setelah melalui proses yang normal, pendekatan dilakukan kembali kepada pihak perempuan. Kini, pihak perempuan lebih terbuka, merasa dihargai secara sewajarnya, dan pada akhirnya menerima dengan tangan terbuka keinginan pihak laki-laki untuk “mamakhai sitenga bö’ö” (menjalin hubungan kekeluargaan lewat sebuah perkawinan). Kedua sejoli tadi pada akhirnya menikah dalam suasana yang baik. Bukan hanya itu, böwö yang tadinya dikuatrikan akan sangat tinggi, ternyata tidak seperti yang diduga semula: sudah jauh diturunkan.

Pelajaran dari kisah nyata di atas adalah (1) pemahaman budaya sentral sekali dalam perkawinan adat Nias, (2) sopan santun bertutur dalam menjalin hubungan kekeluargaan lewat sebuah perkawinan sangat penting, (3) posisi pihak keluarga perempuan dan anak gadis dalam sebuah perkawinan adat Nias begitu sentral – dan Ono Niha yang mengerti akan hal ini tidak akan begitu saja menerima pernyataan bahwa gadis Nias hanyalah semacam ‘barang’ yang nilainya ditentukan oleh böwö. (Lebih lanjut tentang ini akan dibahas pada tulisan selanjutnya).

Tidak jarang, pihak luar yang ingin menyunting anak gadis Nias ‘salah masuk’, sehingga pada akhirnya memiliki kesan buruk. Barangkali mereka sudah membawa uang sekian juta ke Nias tetapi pulang ‘gigit jari’ karena böwö yang diminta jauh lebih tinggi. Masalah utama adalah karena mereka datang dengan pendekatan sebagai ‘pembeli‘ dan bukan sebagai pihak yang ingin menjalin hubungan kekeluargaan. Maka sangat kita sesalkan ucapan-ucapan semacam: “harga gadis Nias mahal sekali“, atau “jujuran di Nias mahal sekali“. Ucapan semacam itu hanya keluar dari pihak yang tidak memahami ‘pendekatan’ ala budaya Nias dalam hal perkawinan.

Pernyataan itu juga yang menyebabkan para imam katolik di masa lalu (dan sampai kini) gagal menurunkan besarnya ‘böwö‘ itu. Tetapi bukankah Gulö mengatakan P. Mathias telah berhasil ? Bisa jadi, tetapi perlu pembuktian lebih lanjut. Yang bisa kita lihat dengan mudah ialah bahwa orang-orang Nias yang dulu irasional dalam soal ini sudah semakin terbuka matanya, semakin sadar akan sisi-sisi negatif dari mahar yang tinggi. Dan tentu saja karena akhirnya orang Nias sendiri capek dengan sisi irasionalitas yang terkait dengan ini. (bersambung).

Tags: ,

16 Responses to “Böwö Dalam Adat Nias (1)”

  1. Rosmei Zega

    Saya kira kita jangan terlalu berlebihan dalam mengomentari masalah “bowo” di Nias. Setiap suku dan budaya punya hal yang seperti itu. “Bowo” di Nias tidak ada apa2nya dengan jujuran di Sumba yang disebut “Belis”. Semua ada falsafah dan makna yang terkandung di dalamnya kan?

    Jax: Ah, saya kira semua pernikahan di mana tempat di muka bumi ini, melelahkan, ada aturan dan biayanya. Jangan terlalu berlebihanlah. Pertunangan berkali-kali? Masa sih? Pesta 2x? Ah, yang bener?

    Kswawan: Menurut saya pernikahan adat Jawa juga sangat ribet lho (saya tinggal di Solo). Jadi sama aja…Bisa koq dibuat luwes juga, bkn karena Jawa modern dan Nias tidak modern. Semua tergantung orangnya. So, don’t be afraid

    #9129
  2. e-h

    “Semua tergantung orangnya,” tulis rekan kita Rosmei Zega. Makna kalimat pendek itu begitu luas sebenarnya. Manusia yang menciptakan, mendinamiskan dan berimprovisasi dengan budayanya, dan bukan sebaliknya.

    Artinya apa? Orang yang hanya mengeluh misalnya dengan mengatakan: “Pernikahan dengan adat nias bukan hanya sangat mahal tapi juga sangat melelahkan karena terlalu banyak aturan yg harus dilalui dan tidak boleh dilanggar.” atau “Mengapa yang namanya bõwõ itu masih terus ada hingga zaman yang semodern ini?” secara tak langsung menunjukkan dirinya tak berdaya berbuat sesuatu dengan budayanya. Ia hanya mengeluh dan tak lebih dari itu. Ketakberdayaan itu banyak penyebabnya dan komentar singkat ini tak bermaksud membahas itu dalam kesempatan ini.

    ***
    Bagaimana kita bisa ‘berimprovisasi’ dan ‘mendinamiskan’ budaya, khususnya yang terkait dengan pernikahan adat Nias ? Kita bisa mulai dari hal-hal kecil.

    Istilah ‘tidak boleh dilanggar’ dalam salah satu komentar di depan menunjukkan kurangnya pemahaman yang betul terhadap budaya Nias. Dan barangkali inilah sumber dari segala keluhan yang mengalir dari padanya.

    Dalam sepuluh terakhir ini saya beberapa kali menghadiri dan mengamati langsung dari dekat proses pernikahan di Nias. Kesan saya yang paling utama adalah: ternyata pelaksanaan tahap-tahap pernikahan di Nias sangat fleksibel. Bõwõ ? Sama halnya, ada pernikahan yang terselenggara dengan baik dengan biaya tidak lebih Rp 7 juta rupiah, dan ada juga yang mencapai beberapa kali lipat.

    Di sejumlah desa acara ‘fame’e’ nono nihalõ misalnya tetap dilaksanakan secara simbolis, tetapi sang gadis tidak lagi menangis di pundak keluarga yang datang mengunjungi rumah sang gadis. Sang gadis juga tidak lagi dikurung berhari-hari dalam kamar, tetapi bisa bersendagurau berkelakar dengan keluarganya dan teman-temannya.

    Juga acara ‘femanga mbali nisila hulu’ dan ‘fame’e’ seringkali disatukan untuk mempersingkat proses dan mengurangi biaya-biaya yang tak perlu.

    Jadi ternyata masyarakat Nias – sekurang-kurangnya dari pengamatan saya yang terbatas di sejumlah desa – mampu ‘berbuat sesuatu’ terhadap tradisi pernikahan yang diwariskan oleh generasi pendahulu.

    Ada beberapa event penting yang masih tetap dipertahankan. Misalnya saja ‘fanika gera’era mbõwõ’. Walau ‘bõwõ’ yang diminta sedikit atau banyak, acara ini tetap dilaksanakan: daun kelapa muda yang dipotong kecil-kecil tetap ditebarkan di atas meja sambil mengingatkan ‘marafule’ akan kewajibannya terhadap pihak keluarga mertuanya. Dalam kesempatan ini dia diingatkan misalnya bahwa sejak saat ini, ia tidak lagi ‘selevel’ dengan pihak keluarga mertuanya, ia telah menjadi ‘sorotou’, ‘yang datang dari bawah’. Ia harus sopan terhadap pihak keluarga besar mertuanya yang mencakup seluruh kampung dan pihak ‘uwu’. Kalau bertemu di jalan ia harus duluan menyapa, tak boleh memalingkan muka, dst., dst.

    Tetap dipertahankannya acara ini dalam pernikahan adat Nias karena masyarakat Nias menganggap bahwa pernikahan menurut adat Nias tidak terbatas hanya mempersatukan dua insan – ni’owalu dan marafule – tetapi juga menjadi sarana menghadirkan kekerabatan baru antara pihak keluarga besar perempuan dan laki-laki, kekerabatan yang berlangsung lama ke depan. Masyarakat Nias harus mampu menjelaskan hal ini kepada pihak-pihak lain yang tak memahami esensi pernikahan menurut adat Nias.

    Ada hal baru yang dapat kita amati. Kalau dulu beban keuangan yang mewujud alam bantuk ‘bõwõ’ itu ditanggung seluruhnya oleh pihak keluarga laki-laki, maka kini ada kecenderungan pihak keluarga perempuan mulai turut berpartisipasi sehingga ‘beban’ itu menjadi lebih ringan. Caranya ? Sangat bervariasi, ‘semua tergantung orangnya.’

    Komentar singkat ini dimaksudkan untuk menunjukkan bahwa kita – masyarakat Nias – tidak hanya mampu mengeluh, tetapi juga mampu turut aktif mendinamiskan budaya Nias.

    ‘Semua tergantung orangnya.’

    eh

    #9150
  3. Rosmei Zega

    Saya setuju banget dengan sdr e- h.
    Budaya dan tradisi adalah identitas. Menghilangkan budaya dan tradisinya dapat menghilangkan identitas lho.Jangan sampai karena terpengaruh modernisasi, kita kehilangan identitas sebagai “ono niha”.

    #9215
  4. Adieli Mh

    Dlm artikel: Maka sangat kita sesalkan ucapan-ucapan semacam: “harga gadis Nias mahal sekali“, atau “jujuran di Nias mahal sekali“. Ucapan semacam itu hanya keluar dari pihak yang tidak memahami ‘pendekatan’ ala budaya Nias dalam hal perkawinan. Pernyataan itu juga yang menyebabkan para imam katolik di masa lalu (dan sampai kini) gagal menurunkan besarnya ‘böwö‘ itu.

    Apa bisa diartikn…. ‘pendekatan ala Budaya Nias’ punya korelasi positip sama ‘besarnya böwö‘ dlm perkwinan?… Mohon ‘bersambung’nya diterusin Pak. Menarik diskusi ini! 🙂

    #17171
  5. S. Zega

    Benar juga “sisi-sisi yg belum terungkap” (kutipan artikel) menambah cakrawala. silahkan lanjutkn berdiksusi, Yaahowu!

    #18519
  6. ehalawa

    Fusõ Newali menyinggung sebuah tulisan saya dalam komentarnya (Fusõ Newali lupa judulnya). Artikel ini barangkali yang dimaksud. Artikel ini sebenarnya bersambung, tetapi karena keterbatasan waktu, saya belum meneruskannya. Ide penulisan artikel ini muncul (diilhami)antara lain oleh tulisan Fr. Postinus Gulõ yang kini sedang ramai-ramainya dikomentari antara lain oleh: Siwani Vitor Dachi, Marselino Fau, Bezisõkhi Dao, Benny Lase, Hikayat Salomo, Takwaena, dan Fr. Postinus Gulõ sendiri.

    Adalah bagus bahwa kita Ono Niha peduli dengan budaya kita sendiri. Adalah hal yang wajar juga kalau perbedaan pendapat sering muncul.

    Silahkan membaca dengan seksama artikelnya serta berbagai komentar yang muncul, termasuk dari saya sendiri (e-h). Selamat melanjutkan diskusi.

    Salam,

    ehalawa

    #32364

Leave a Reply

Kalender Berita

May 2008
M T W T F S S
 1234
567891011
12131415161718
19202122232425
262728293031