Kisah Awuwukha Pemburu Kepala
Victor Zebua
Lima generasi yang silam di Börönadu hidup seorang pemberani bernama Awuwukha. Dia berhasil membawa pulang belasan kepala manusia. Usaha para musuhnya balas-dendam membunuh Awuwukha tidak pernah berhasil. Hal tersebut mengangkat status Awuwukha di mata orang-orang kampung sebagai emali (pemburu kepala).
Demikian secuplik kisah Awuwukha dalam tulisan lepas Jajang A. Sonjaya di blognya. Tulisan lepas itu berjudul “Orang Nias – Mereka Memburu Kepala untuk Bekal Kuburâ€, mengacu bab “Mangani Binu: Tradisi Memburu Kepala†di buku “Melacak Batu Menguak Mitos Petualangan Antarbudaya di Nias†(Sonjaya, 2008). Selanjutnya diceritakan titah Awuwukha di masa tuanya.
“… Awuwukha mengajukan permintaan pada anak-anaknya, bahwa jika ia meninggal nanti, ia minta ditemani oleh lima orang. Seorang untuk menyiapkan minum, seorang untuk membuat sirih pinang, seorang untuk meladeni makanan, seorang untuk menjaga, dan seorang lagi sebagai tukang pijat. Permintaan itu ditutup oleh Awuwukha dengan mengerik kuku jempolnya menggunakan pisau (ono nekhe). Itu berarti bahwa permintaannya harus dipenuhi oleh anak-anaknya. Itu berarti si anak harus mencari lima kepala untuk bekal kubur ayahnya yang disebut binu.â€
Isi kutipan di atas mungkin menuntun penulisnya memilih judul “Orang Nias – Mereka Memburu Kepala untuk Bekal Kuburâ€. Elemen ‘bekal kubur’ dalam judul itu teringkari sendiri oleh kisah Awuwukha di episode ‘membawa pulang belasan kepala manusia’ sebagai perolehan balas-dendam karena rumah ibu Awuwukha sebelumnya dibakar oleh pemilik kepala itu. Artinya, binu sesungguhnya tidak hanya untuk tujuan eskatologis semata, juga untuk hasrat manusia di alam fana ini.
Sulayman melaporkan bahwa tahun 851 pengayauan terkait prasyarat kawin pria Nias (Fries, 1919: 53; Cole, 1931: 201; Hämmerle, 2001:14). Binu perlu untuk bangunan rumah, gelar bangsawan, atau penyambutan pengantin putri (Zebua 2006: 105). Binu juga perlu bagi salawa (kepala kampung) atau bangsawan yang mengadakan owasa (pesta jasa), sebagaimana ditulis Harefa (1939: 89) berikut.
“Pada zaman poelau Nias itoe tidak dibawah Perintah Goebernemen, ia menjoeroeh orang mengajau [mengambil kepala] pihak moesoehnja. Orang jang pergi mentjahari kepala itoe, diseboet sanocho dan kepala jang didapatnja itoe diseboet binoe. Binoe setelah dapat ditanamkan dekat batoe kehormatannja [Gowe Zalawa] dimoeka roemah.â€
Mangai Högö
Pengayauan disebut mangani binu oleh Sonjaya, namun banyak orang Nias mengenalnya möi ba danö alias mofanö ba danö alias möi emali alias mangai högö. Istilah lainnya fa’emali, yaitu ‘memenggal kepala (mangai högö) antara yang tidak sepuak’ (Zebua, 1996: 10). Seribu tahun yang silam hati para saudagar Arab ciut saat mendengar kebiasaan mangai högö ini, sehingga mereka tunggang-langgang meninggalkan daratan Nias kembali ke kapalnya (Anitei: 2007).
Di lain pihak, acapkali orang menafsirkan bahwa orang Nias kuno antropofag (pemakan orang). Misalnya Masashi (2005: 43) menulis “In the tenth century, Ajä’ib al-Hind described the people between Fansur (present day Barus) and Lambri and those in Kedah and the island of Nias as cannibals.†Namun, berdasar tulisan Schröder, Hämmerle (2001: 15) berkesimpulan bahwa orang-orang Nias memang memenggal kepala orang, tetapi tidak memakan orang.
Praktek mangai högö terjadi pada zaman Nias kuno, berlangsung hingga kedatangan misionaris Jerman ke Nias (Laiya, 1980: 16). Hal itu dilakukan para pihak yang kuat secara finansial, karena berkaitan dengan owasa yang mahal. Judul “Orang Nias – Mereka Memburu Kepala untuk Bekal Kubur†terasa kurang pas bila tidak dipahami dalam konteks ‘tempo doeloe’ dan ‘orang Nias tertentu’. Yang dapat diterima secara historis adalah elemen ‘memburu kepala’. Efek generalisasi dan bias informasi dari tulisan lepas Sonjaya bisa timbul akibat pemilihan judul yang kurang pas.
Kisah Awuwukha di tulisan lepas, mungkin karena silaf, telah kehilangan sebuah ‘kalimat kunci’ sehingga potensial mengganggu pemahaman pembacanya. Di buku sumber tertulis kalimat “Cerita tersebut bisa jadi telah mengalami distorsi hingga jauh dari kenyataannya.†(Sonjaya 2008: 68). Di tulisan lepas kalimat tersebut tak dijumpai. Kalimat itu merupakan pengakuan bahwa validitas kisah Awuwukha perlu ditingkatkan. Pembaca tulisan lepas yang tidak membaca buku sumber bisa bias menilai kisah Awuwukha.
Untuk meningkatkan validitas kisah Awuwukha agaknya daya triangulasi perlu optimal digarap. Triangulasi adalah teknik pemeriksaan keabsahan yang memanfaatkan hal lain di luar data itu untuk keperluan pengecekan atau pembanding terhadap data itu (Moleong, 1994: 178). Kisah Awuwukha didapat dari ‘ingatan beberapa orang saja dari generasi tua di Börönadu’ (Sonjaya, 2008: 68). Artinya, masa hidup Awuwukha ‘lima generasi yang silam’ didapat dari ingatan informan. Mengapa data tersebut tidak dikonfirmasi pada sura nga’ötö (silsilah keluarga)?
Contoh ini diangkat karena dengan memeriksa sura nga’ötö, 32 tahun lalu Thomsen (1976: 40) berhasil mengidentifikasi masa hidup Awuwukha ‘enam generasi sebelumnya’. Dihitung sekarang, Awuwukha versi Thomsen hidup bukan lima generasi, tapi tujuh generasi yang silam.
Selanjutnya ‘batu-uji’ kisah Awuwukha adalah mengetahui ‘kisah di balik berita’ dari titah Awuwukha meminta binu saat kematiannya. Apa makna binu sebagai bekal kubur? Benarkah binu untuk menyiapkan minum, membuat sirih pinang, meladeni makanan, menjaga, dan menjadi tukang pijat Awuwukha di alam baka? Maka sampailah peneliti pada eskatologi Nias. Sebagai triangulasi, Laiya (1980: 56) menulis satu versi eskatologi Nias.
“Ada satu bagian dari upacara penguburan zaman lampau yang telah ditinggalkan kini yaitu famaoso dola* (pengangkatan tulang-tulang kembali). Upacara ini biasanya berlaku bagi kaum bangsawan. Kepala orang yang diambil waktu expedisi pengayauan dari daerah lain akan ditempatkan di kuburan bangsawan itu pada saat famaoso dola. Upacara ini menggambarkan pandangan eskatologi suku Nias. Ada pandangan di Nias yang mengharapkan bahwa orang mati itu akan bangkit kembali atau akan terjadi kelahiran kembali. Pandangan ini tidak hanya hidup di bagian Tengah Nias – seperti yang dicatat oleh Suzuki, tetapi juga di Selatan Nias. Hal ini jelas nampak pada waktu penempatan kepala orang di kuburan di mana mereka mengatakan: (Inilah kepala) ‘yang akan membuatmu bangkit’. Praktek ini tidak diteruskan lagi sementara fungsi penanaman kepala orang dikuburan diganti dengan upacara fanano buno (penanaman bunga).â€
Lompat Batu
Paragraf terakhir dari tulisan lepas “Orang Nias – Mereka Memburu Kepala untuk Bekal Kubur†mengandung banyak informasi yang boleh jadi benar adanya. Informasi itu kurang-lebih: Börönadu nyaris kalah populer ketimbang Bawömataluo, Bawömataluo mudah diakses dunia luar, leluhur Bawömataluo berasal dari Börönadu, orang Bawömataluo cukup kreatif, orang Kristen seratus tahun lalu melarang tradisi memburu kepala, inisiasi seorang lelaki Nias dalam melompati batu, dahulu memburu kepala untuk menunjukkan kelakian dan membangun status. Kemudian ditarik kesimpulan “… Jadi, lompat batu yang menjadi ciri khas Nias sekarang ini sesungguhnya relatif baru dan hanya terdapat di sebagian kecil kampung di Nias….â€
Paragraf terakhir tersebut terkesan ‘sarat-muatan’. Paling tidak, ada dua hal dapat dijadikan wacana. Pertama, memburu kepala sebagai ‘bekal kubur’ (dalam judul tulisan lepas) atau ‘menunjukkan kelakian dan membangun status’ (dalam paragraf terakhir)? Paragraf terakhir ini mengingkari judulnya dan relatif sulit ditelusuri hubungannya dengan kisah Awuwukha.
Kedua, uraian perihal lompat batu relatif terbatas sehingga sulit dipahami hubungan antara kesimpulan dan tema yang dipikul judul. Konon dahulu lompat batu merupakan latihan bagi para pemuda untuk dipersiapkan bila terjadi peperangan antar kampung (Manao, 1978; Zebua, 1981). Lompat batu juga merupakan syarat mutlak bagi anggota tim ekspedisi pengayauan, bahkan menjadi salah satu ritus dalam fondrakö wamunu niha (Hämmerle, 1995: 229-230).
Kembali ke Awuwukha sebagai ‘pemburu kepala’, menarik untuk diketahui pandangan emik (orang Nias) zaman sekarang atas mangai högö tempo doeloe. Para peneliti dapat menelusurinya di lapangan. Namun dialog singkat dua putra Nias, Yupiter Bago dan M.J. Daeli, dalam artikel Moyo (2007) di situs Yaahowu dapat dipakai sebagai cermin.
“Produk budaya megalitik Nias justru lebih banyak ditopang oleh tradisi sawuyu dan binu, ketimbang tradisi gotong royong. Banyak Omo Sebua, misalnya, didirikan dengan tenaga sawuyu, menyembelih sawuyu, memenggal kepala ‘kepala tukang’-nya, bahkan menyajikan beberapa butir kepala (binu zimate) yang didapatkan lewat ekspedisi ‘moi badano’ ke banua (kampung) lain. Monumen batu produk pesta owasa, untuk mencapai derajad balugu misalnya, juga disertai binu. Bahkan ada pula tradisi ‘binu nono nihalo’ dalam kehidupan leluhur orang Nias.†(Yupiter Bago, 1-6-2007).
“Mengenai tradisi ‘sawuyu dan binu’ budaya megalitik Nias, yang diangkat oleh Sdr. Yupiter Bago, saya anggap hanya untuk mengingatkan sejarah budaya dan penegasan bahwa hal itu tidak sesuai era religi dan hak azasi manusia. Saya percaya tradisi sawuyu dan binu sudah lama lenyap di bumi Nias. Sdr. Yupiter Bago marilah kira berusaha dengan talenta kita masing-masing untuk mengangkat nilai-nilai luhur budaya Ono Niha yang bersemangat ‘membangun bersama’.†(M.J. Daeli, 2-6-2007).
Bacaan
- Anitei, Stefan, The Island of the Head Hunters, Sofpedia, September 2007
- Cole, Mabel Cook, The Island of Nias at the Edge of the World, The National Geographic Magazine, August 1931.
- Fries, E., Nias. Amoeata Hoelo Nono Niha, Zendingsdrukkery, 1919
- Hämmerle, Johannes M., Hikaya Nadu, Yayasan Pusaka Nias, 1995
- Hämmerle, Johannes M., Asal Usul Masyarakat Nias Suatu Interpretasi, Yayasan Pusaka Nias, 2001
- Harefa, Faogöli, Hikajat dan Tjeritera Bangsa serta Adat Nias, Rapatfonds Residentie Tapanoeli, 1939
- Laiya, Bambowo, Solidaritas Kekeluargaan Dalam Salah Satu Masyarakat Desa di Nias – Indonesia, Gadjah Mada University Press, 1980
- Manao, Hekinus B., Nias, Album Budaya yang Harus Dibuka Lebih Lebar, Suara Karya, Juni 1978
- Masashi, Hirosue, European Travelers and Local Informants in the Making of the Image of “Cannibalism†in North Sumatra, The Memoirs of the Toyo Bunko 63 (41-64), 2005
- Moleong, Lexy J., Metodologi Penelitian Kualitatif, Remaja Rosdakarya, 1994
- Moyo, Perlu Budi Daya Alam di Nias, https://niasonline.net/2007/05/29/perlu-budi-daya-alam-di-nias/, 2007
- Sonjaya, Jajang A., Melacak Batu Menguak Mitos Petualangan Antarbudaya di Nias, Kanisius, 2008
- Sonjaya, Jajang A., Orang Nias – Mereka Memburu Kepala untuk Bekal Kubur, http://jasonjaya.blogspot.com/2008_04_17_archive.html, 2008
- Thomsen, M.G.Th., Famareso Ngawalö Huku Föna Awö Gowe Nifasindro (Megalithkultur) ba Danö Nias, BNKP, 1976
- Zebua, Faondragö, Kota Gunungsitoli Sejarah Lahirnya dan Perkembangannya, Gunungsitoli, 1996
- Zebua, Victor, Hombo Batu Pesona Nias Lambang Kegagahan dan Romantika Perang, Minggu Pagi, Mei 1981.
- Zebua, Victor, Ho Jendela Nias Kuno Sebuah Kajian Kritis Mitologis, Pustaka Pelajar, 2006
*Penulisan famaoso dola yang lazim adalah famaoso döla (dari kata ‘töla‘ yang mengalami mutasi awal menjadi döla).
Pak EH, di komen 19 saya berupaya mengeksplorasi gagasan Bapak. Saya membayangkan, fenomena pemaknaan ’emali’ ditemukan juga dlm bahasa Indonesia, berlanjut pd kata yg diserap bahasa Nias, contoh: sekolah. Jenis kata apa dia? Baru jelas bila ada dlm kalimat; bisa verba, bisa nomina.
Konteks diskusi kita eksplorasi ya Pak. Bila sepakat dgn itu, maka saya ajukan 1 lagi makna dr môi (selain pergi dan menjadi). Môi bisa pula berarti ‘dan’ [and, together with], contoh: Fefu zibihasa môi ndaono ofulô [All of the old people and the children were gathered]. Makna dr môi ini masih asing bagi saya. Itu saya temukan dlm ‘A Grammar of Nias Selatan’-nya Lea Brown. Hikmah yg dpt diambil, kata (emali dan môi) bisa menjadi lebih jelas bila ada dlm kalimat.
Pak AB,
Sejauh ini saya belum menemukan contoh pemakaian dalam kalimat kata ’emali’ yang berfungsi sebagai kata kerja (v). Kalau Anda menemukannya, akan sangat menolong kita memahami pengertian kata ini.
Saya tidak memiliki keberatan dengan pengertian kata mõi yang beragam. Dalam bahasa Nias Utara, padanan yang Anda kutip dari Lea Brown adalah (kurang lebih): “Mõi zatua mõi ndraono oi owulo” (Baik yang dewasa maupun anak-anak pada kumpul semua).
Proses pengubahan emali dari ‘n’ menjadi ‘v’ ya lewat awalan ‘fa’ itu. Dalam hal ini ia sejajar dengan kata benda (n) lain seperti: diala, bola, dadu.
“Inõtõ nemali” atau “Bawa nemali” bisa diterjemahkan ‘musim pengayauan’, atau “musim para pengayau’, atau kalau mau lebih ‘kreatif’ lagi “musim mengayau”. Tapi ingat terjemahan terakhir itu tidak menjadikan ’emali’ jenis ‘v’ – itu hanya karena bahasa Indonesia bisa ‘mentolerir’ terjemahan seperti itu.
Kita tidak memerlukan awalan ‘fa’ untuk kata ‘sekola’ karena ketika diserap ia telah memiliki dua fungsi – sebagai ‘v’ dan ‘n’ tergantung kalimatnya.
Hezo sekola ndra’ugõ ? (v)
Hezo/hadia zekolamõ ? (n)
salam,
eh
Baiklah Pak EH, saya coba rangkum beberapa poin diskusi kita (komen 17-22) menyangkut istilah ‘pengayauan’. Tentu rangkuman ini versi saya. Di dalam kurung kurawal ada sekedar catatan dr saya.
1. Istilah yg beredar (merujuk artikel): möi ba danö, mofanö ba danö, möi emali, mangai högö, fa’emali. [sumber lain: man(g)ai (g)azuzu, man(g)ai (g)ölömbu, möi manökhö]
2. Penggunaan istilah ‘mangani binu’ dipertanyakan ketepatannya. [di komen-17 AB mengajukan arti ‘mangani’, di komen-18 EH mengaku belum pernah dengar kata ‘mangani’]
3. Kata ‘möi’ punya 3 makna: pergi, menjadi, dan. [utk memperkaya wawasan, mungkin teman lain dpt menemukan makna lain dr kata ini]
4. Istilah ‘mangai’ atau ‘manai’ yg dikaitkan dgn högö (atau azuzu, ölömbu) denotatif menunjuk pd pengayauan. [sekurangnya menurut pendapat saya]
5. Istilah ‘möi ba danö’ dan ‘mofanö ba danö’ denotatif tak menunjuk pd pengayauan, namun dr cerita seputar pengayauan dpt difahami dia menunjuk pd pengayauan. [sekurangnya menurut pendapat saya]
6. Sesuatu kata dpt diperjelas maknanya dlm konteks kalimat. [AB menyebut ‘bila ada dlm kalimat’, versi EH ‘tergantung kalimatnya’]
7. Berkenaan dgn istilah ‘möi emali’ (tmsk ‘fa’emali’), khususnya kata ’emali’, belum ada kejelasan. [di komen-19 AB mempertanyakan jenis kata ’emali’, di komen-20 menurut EH ’emali’ kata benda]
8. Akibat dari butir-7 maka diskusi masih berlanjut, terfokus pd kata ’emali’. [mungkin teman-teman ada yg tergerak bersumbang-saran?]
Demikian rangkuman (kesimpulan sementara) dr saya. Kita nanti diskusi berikutnya.
Dalam kesempatan yg baik dan berbahagia ini, tak lupa saya haturkan “Selamat Hari Raya Idul Fitri”. Mohon Ma’af Lahir dan Bathin. Ya’ahowu!
Pak AB,
Singkat saja dulu untuk kali ini, saya lagi sibuk nih.
1. Barangkali Kamus Nias-Indonesia susunan Sitasi Z. Laiya dkk (1985) yang Anda sebutkan dalam komentar terhadap tulisan saya “Sibaya, Paman dan Uncle” memuat entri ’emali’. Tolong dicek jenis apa kata itu di sana dan kalau mungkin contoh pemakaiannya dalam kalimat.
2. Sama halnya dengan kata ‘mangani’, bisa Anda cek di sana atau pada kamus lain yang Anda punya. Tolong cari arti, jenis dan contoh pemakaiannya sehingga nanti kita bisa berdiskusi lanjut tentang ‘mangani binu’ dalam tulisan Sonjaya itu.
3. Dalam tanggapan saya sebelumnya (komen no 18) pada paragraf pertama saya menulis “barangkali tidak pernah (atau jarang) dipakai oleh para pengayau itu, atau orang-orang yang tahu gerak-gerak mereka”. Pada komen Anda (no 10) Anda mengutip kalimat sang pemimpin ekspedisi pengayau: “Ba mi’ofanö sa’ae ba danö!”. Artinya, dugaan saya (‘barangkali …’) pada paragraf pertama terbantahkan.
Toh, saya tak pernah membantah bahwa istilah-istilah itu merujuk pada pengayauan. Lihat kalimat kedua pada paragraf yang sama: “Istilah-istilah itu …”
Dengan demikian butir no 5 pada komen 23 tidak relevan.
Salam,
eh
Pak Eh, saya klarifikasi dulu butir-3 (komen-24) yg terkait butir-5 (komen-23.) Istilah ‘möi ba danö’ & ‘mofanö ba danö’ denotatif (harfiah) tak menunjuk pd pengayauan, dia baru dpt difahami dlm konteks (cerita), contohnya seruan sang pemimpin, “Ba mi’ofanö sa’ae ba danö!†Pernyataan ini umum saja, keduanya tak dpt difahami langsung dr terjemahannya, sebagaimana istilah ‘mangai högö’ misalnya.
Dlm diskusi terlihat kesepahaman, istilah-istilah tsb ‘menunjuk’ (saya cenderung pakai ‘menunjuk’ dp ‘merujuk’) pengayauan. Toh, Pak EH (sejauh ini) tak pernah membantah bahwa istilah-istilah itu merujuk pada pengayauan. Perbedaan justru ada pd kalimat-2 paragraf itu. Saya kutip paragraf-1:
Istilah “möi ba danö, mofanö ba danö, möi emali, mangai högö, fa’emali, mangai högö†barangkali tidak pernah (atau jarang) dipakai oleh para pengayau itu, atau orang-orang yang tahu gerak-gerak mereka. Istilah-istilah itu dipakai oleh pihak lain dalam konteks yang umum saja. (komen-18 Pak EH)
Saya tak mempersepsikan Pak EH membantah istilah-istilah itu. Tapi menurut Pak EH (semoga saya tak keliru) istilah-istilah itu dipakai oleh pihak lain, barangkali tidak pernah (atau jarang) dipakai oleh pengayau atau orang yg tau gerak pengayau.
Khusus istilah ‘möi ba danö’ & ‘mofanö ba danö’ saya lihat muncul di kalangan pengayau (dlm seruan sang pemimpin). Contoh lain, sebelum berangkat pengayau melakukan ‘fo’ere ba nadu horö’, syairnya a.l., “… ya’oto ono la’i, ya’oto si macua, möi ndraga ba danö, möi mamunu niha, […] ombakha’ö na te’ala, ba ombakha’ö göi na möna…†Saya yakin ke-2 istilah itu berasal dr & dipakai kalangan pengayau, bahkan jadi pakem dlm ritus mereka. Baru kemudian istilah itu diikuti pihak lain.
Seputar kata ‘emali’ & ‘mangani’ diskusi berlanjut bila kesibukan reda. Sampai jumpa!
Diskusi Ama Bram – Pak EH mencerahkan… Ingin nambahin ttg möi → fangamöi artinya memperbaiki (i’ila ifangamöi bawandruhö da’ö). Ada lagi möimöi (= mauwu) artinya jinak. Klo mö’i beda lg, artinya kedip.
Sekarat Indonesia
[…] baru menyadari betapa edannya pengalaman penelitian beliau, waktu menamatkan bukunya yang berjudul Melacak Batu Menguak Mitos, Petualangan antar budaya di […]