THE GLOBAL NEXUS — Dalai Lama, Dharmawangsa, dan AS
Oleh Christianto Wibisono
Insiden Tibet 14 Maret merupakan simtom dari rasa keterasingan Tibet dari wilayah Tiongkok yang lain. Dalai Lama sudah 50 ta- hun bertahan hidup dalam pengasingan di India dan memanfaatkan momentum Olympiade untuk menarik perhatian dunia. Suatu contoh perang urat syaraf, propaganda, dan opini publik yang di abad XXI ini justru bisa lebih sukses dari perang militer model alutsista. Karena demo kekerasan yang ditindak dan munculnya biksu dalam acara public relations pemerintah RRT untuk pers dan diplomat asing, malah mempermalukan RRT di depan jaringan TV global.Presiden Sarkozy sempat melontarkan ide memboikot pembukaan Olympiade. Tiongkok memang berkepentingan untuk mempertahankan Tibet, karena jika kepada Tibet diberikan otonomi atau separatisme berhasil memecah Tibet, maka Xinjiang dengan suku Uighur, yang mayoritasnya Islam, pasti juga akan meminta merdeka. Begitu pula dengan Mongolia Dalam, sehingga Tiongkok akan terpecah seperti bubarnya Uni Soviet dan Yugoslavia.
Gebrakan Dalai Lama bersaing dengan berita krisis finansial global. Steve Hanke dalam ceramah umum, Selasa (25/3), di Universitas Pelita Harapan menyatakan bahwa AS hanya bertumpu pada kepercayaan seluruh dunia, bahwa AS tidak akan mengemplang utang kepada kreditor. Eropa, RRT, Arab, serta negara surplus devisa lain tidak akan membiarkan dolar terpuruk, kata Steve Hanke. BIS (Bank for International Settlements) menyatakan, sektor keuangan global termasuk transaksi derivatives telah menjadi monster dengan dana berkeliaran US$ 516 triliun atau hampir 12 kali total PDB dunia. yang hanya US$ 48 -50 triliun. PDB AS US$ 15 triliun dan uang beredar setara PDB dan anggaran hanya US$ 3 triliun. Penyelamatan Bear Stearns karena kredit macet US$ 900 miliar oleh The Fed melalui JP Morgan Chase dikritik sebagai intervensi negara terhadap mekanisme pasar liberal. Tapi, kalau tidak diselamatkan maka seluruh sistem perbankan AS dan dunia bisa runtuh. Polarisasi antara kutub elite dengan kutub miskin semakin menajam. Walaupun yang disebut miskin untuk ukuran AS masih berpendapatan US$ 14.700 per tahun, 5 persen kelas menengah di atasnya berpendapatan US$ 48.800. Namun, kelas elite 2 persen menguasai 80 persen aset global. Inilah yang oleh John Edwards disebut sebagai Amerika yang terbelah jadi dua, secara “terisolasi” satu sama lain.
Harga Minyak
Paralel dengan sektor finansial, harga minyak juga berubah menjadi predator. Biasanya, produsen akan mempertahankan US$ 50 untuk mencegah alternatif BBM dari sektor pertanian. Di atas US$ 50 maka etanol dari sektor biofuel bisa bersaing langsung dengan BBM fosil migas. Tapi, sekarang sudah dua kali lipat kenapa produsen masih bertahan. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono ingin menyurati Sekjen PBB untuk mencegah kegagalan Millennium Development Goals. Tentu saja memang ada kepentingan Indonesia, berita ibu yang tega membunuh anaknya sendiri karena kelaparan.
Dalam rangka mencalonkan Gubernur BI yang baru, Presiden juga telah menggelar temu wicara, menampung masukan dari pakar dan mantan gubernur, serta pelaku bisnis perbankan. Presiden Yudhoyono juga sempat harus mengoreksi Menhan ketika Ketua Kontras Usman Hamid, menghadap bahwa Menhan tidak punya wewenang untuk melarang orang, seperti, mantan Pangab Wiranto memenuhi panggilan Komnas HAM.
Jumat (28/3), sesepuh CSIS, Harry Tjan, menyatakan bahwa proses nation building tidak akan pernah selesai, ketika membedah buku Cokin yang memuat karangan aktivis dari Jaringan Tionghoa Muda. Malamnya Mulya Lubis meluncurkan dua buku Mengapa Saya Mencintai Indonesia dan Jalan Panjang HAM pada resepsi ultah ke-18 kantor advokat Lubis, Santosa, Maulani di Hotel Dharmawangsa dihadiri elite, seperti, Buyung Nasution dan Dubes AS Cameroon Hume. Selain klien bisnis, Mulya Lubis adalah pengacara kasus politik mulai dari Time sampai terakhir kasus judicial review DPD terhadap UU Pemilu kepada MK, karena DPD merasa UU Pemilu itu merupakan upaya DPR untuk mengebiri DPD.
Nama Dharmawangsa sekarang ini menjadi identik dengan lobi untuk menentukan arah dan agenda politik Indonesia karena Artalyta masih hadir pada suatu acara fund raising tingkat puncak dua hari sebelum ditangkap basah KPK. Sabtu siang Edwin Soeryadjaya, Chairman Saratoga Group, menguraikan tentang sukses perusahaannya sebagai Private Equity Group terbesar di Indonesia dengan dana sekitar US$ 450 juta. Berasal dari high net worth individual (HNWI) global, yang menurut Edwin, masih berminat untuk menanam modal melalui private equity di Indonesia. Sementara US$ 30 juta berasal dari HNWI lokal.
Dari Konferensi Regional asuransi deposito se-Asia ke-6 di Bali, Ketua Dewan Komisaris Lembaga Penjaminan Simpanan (LPS) Rudjito menyatakan bahwa di Indonesia terdapat 76,4 juta rekening nasabah di bawah Rp. 100 juta bernilai Rp 300 triliun yang dijamin oleh LPS. Sebanyak 1,6 juta rekening lain memiliki dana Rp 1.220 triliun yang tidak dijamin oleh LPS. Pertumbuhan ekonomi 6,4 persen, tapi inflasi juga 6,5 persen jadi in concreto tidak ada pertumbuhan. Pasti berdampak bagi kelas bawah.
Indonesia, India, dan Tiongkok masih tetap mengalami bahaya bangsa terpecah, seperti AS, versi John Edwards. Kelas elite dan kelompok miskin, dua-duanya seolah tidak peduli dan terkait satu sama lain. Itu juga yang diamati di India dan diingatkan oleh Rosihan Anwar.
Eropa Barat dan AS mungkin merasa arogan sudah melampaui masa nation building, karena itu merangsang dan menghormati proporsionalitas kelompok etnis. Minoritas harus dibela dan diberi hak menentukan nasib sendiri, kalau perlu boleh merdeka. Bagi kelompok liberal AS, Eropa Barat, kalau Tibet mau merdeka seperti Kosovo, ya silakan. Dinesh D’Souza dalam buku The Enemy at Home, mengingatkan aktor intelektual politik keblinger AS itu bahwa AS sedang melakukan bunuh diri politik yang jauh lebih gawat dari serangan WTC.
Pada 1981 sudah ada buku berjudul The Nine Nations of North America yang meramalkan pecahnya AS, Kanada dan Meksiko menjadi sembilan negara baru. Prof Huntington juga mewaspadai lahirnya Mexifornia, merger antara Meksiko dengan Kalifornia. Jika kelompok liberal memaksakan self determination berdasarkan tampilan dan proporsionalitas etnis, maka bukan mustahil AS akan terpecah menjadi empat negara dengan warna kulit sebagai kriteria. Akan ada Negara White Caucasian, Black Afro America, Yellow Asian American dan Brown Hispanic American. Kelompok ultra White yang secara terbuka mendirikan American Renaissance dan secara subtle memobilisasi sayap konservatif Partai Republik, tidak akan rela Obama menjadi Presiden dengan agenda proporsionalitas etnis.
Kalau Tibet boleh merdeka, kenapa Hispanic American tidak boleh memproklamasikan Hispanic American State. Kalau kulit hitam merasa tidak diselamatkan waktu Katrina, mereka bisa mendirikan Afroamerican Republic. Dalai Lama diorbitkan menjadi simbol kemerdekaan Tibet, Obama bisa jadi simbol kemerdekaan African American, tapi kemanusiaan yang utuh tidak bisa berbasis ras, etnis, dan agama. Jika meritokrasi diganti oleh pertimbangan ras dan etnis secara proporsional maka seluruh struktur nation state dunia, termasuk AS dan Eropa, akan terpuruk menjadi dunia ketiga yang didominasi oleh tribalisme dan sektarianisme. Dari krisis global ke Dalai Lama, ke Dharmawangsa, seluruh dunia bisa terpuruk ke Joyoboyo di mana yang menang justru yang edan dan bukan yang waras.
Penulis adalah pengamat masalah nasional dan internasional
Sumber: www.suarapembaruan.com, Last modified: 31/3/08