Rasionalitas vs. Irasionalitas

Tuesday, October 2, 2007
By nias

Berbagai kalangan memahami rasionalitas dari sudut pandang atau pemahaman yang berbeda-beda. Rasionalitas tidak jarang dipertentangkan dengan kepercayaan kepada Allah – seakan-akan orang yang tergolong rasional serta merta dianggap jauh dari hal-hal rohani atau religiusitas. Rasionalitas tidak jarang dikaitkan dengan ‘kesombongan’ manusia, bukti dari ‘ketidak-tahudiri-an’ manusia akan kodratnya. Sebaliknya, istilah irasionalitas semakin ditafsirkan sebagai sesuatu yang dekat dengan spiritualitas atau religiositas.

Memang agama “kental” dengan unsur-unsur yang mengatasi rasionalitas manusia. Allah misalnya tak dapat diterangkan dan tidak akan pernah dapat diserap oleh pengertian rasional manusia. Demikian juga berbagai mukjizat yang terjadi dalam berbagai agama mungkin tidak akan pernah dapat diterangkan dengan rasio manusia. Tetapi ada satu hal yang perlu diingat – ialah: bahwa agama juga sangat menghargai unsur akal budi dan kesadaran manusia, yang terkait erat dengan rasionalitas. Pertimbangan buruk baiknya sesuatu hal juga selalu didasarkan pada (dan mendapat penilaian) akal budi manusia yang bekerja secara sehat.

Dengan demikian, sebenarnya tiada pertentangan antara rasionalitas dengan agama dan spiritualitas. Artinya, rasionalitas manusia memang menyadari keterbatasan manusia itu. Akal budi yang sehat itu memutuskan tanpa ragu-ragu bahwa daerah kerjanya terbatas, ia tak dapat menjangkau dan menerangkan segala hal, ada banyak hal yang luput dari daerah ‘frekuensi pemahamannya’. Jadi, akal budi yang sehat itu mengakui adanya ‘hal yang di luar jangkauan rasionalitas manusia’. Hal yang di luar jangkauan rasionalitas itu mengatasi hal-hal ‘rasional’ tetapi tidak bertentangan dengannya. Contohnya adalah mukjizat atau kekuatan sebuah doa.

Ada juga hal lain yang berada di luar “jangkauan rasionalitas” manusia dan “bertentangan dengan akal budi” manusia yang sehat. Kasus orang yang secara tiba-tiba kaya mendadak melalui minyak penglaris dari dukun termasuk dalam kategori ini. Mengapa bertentangan dengan akal ? Simak saja contoh ilustratif berikut.

Seseorang membuka sebuah toko kecil di tengah-tengah deretan toko-toko lain yang telah memiliki langganan pembeli yang tetap. Dengan bermodalkan kenekatan belaka tanpa pengalaman bisnis yang berarti dan perhitungan ekonomi yang matang, dapat diduga dalam waktu yang tidak terlalu lama toko baru itu akan tutup. Akan tet api tunggu dulu. Ternyata ada “modal” lain yang digunakan oleh si pemilik toko untuk menglariskan tokonya: minyak penglaris. Setelah membaca iklan di sebuah majalah “supranatrural” ia memutuskan untuk mendatangi sang paranormal untuk mendapatkan “minyak gaib” itu.

Dan benar saja, setelah memiliki sebotol kecil minyak ajaib itu, dan menempatkannya dalam kotak tertentu sebagaimana diamanatkan sang dukun kepadanya (biasanya disertai dengan sejumlah pantangan), tiba-tiba saja pembeli menjadi ramai. Singkat kata, dalam waktu singkat sebagian besar langganan toko-toko lain di sekitar beralih menjadi langganannya. Dan peralihan itu disertai dengan “tanda-tanda yang luar biasa”. Begitu melewati jarak tertentu dari toko itu para calon pembeli seakan “terisap” untuk mendekati toko itu dan begitu sampai di sana selalu muncul keinginan untuk membeli, entah barang itu dibutuhkan atau tidak, entah barang itu telah dimiliki atau tidak, walau barang itu lebih mahal dari toko lain di sebelah. Maka tidak heran bahwa dalam waktu singkat, keuntungan luar biasa diraih oleh si pemilik toko.

Sayangnya “keajaiban” semacam ini tidak berlangsung lama – setelah pantangan tertentu dilanggar atau setelah minyak penglaris itu habis menguap, maka toko itu akan sepi kembali, bahkan biasanya lebih sepi dari semula. Sisi irasionalitas dari kasus ilustratif* ini adalah – bahwa meningkatnya secara tajam omzet penjualan toko itu bukan merupakan akibat dari penguasaan manajemen penjualan yang baik, melainkan disebabkan oleh ditawannya kesadaran para pengunjung toko itu oleh daya irasional yang berada di balik minyak penglaris itu. (Ini dibuktikan dari: keinginan berbelanja yang berlebihan dan tanpa pertimbangan soal harga dan mutu barang).

Kasus ilustratif berikut juga sering kita dengar terjadi.** Seorang gadis yang mengendarai sepeda motor melewati sebuah kompleks perumahan. Di depan sebuah rumah berkumpul sejumlah pemuda, salah seorang dari mereka memanggil-manggil nama gadis yang lewat itu. Merasa dipermainkan, sang gadis memandang ke arah pemuda itu dan meludah ke arahnya. Sang pemuda merasa dihina. Sakit hati yang luar biasa “mengilhami”-nya untuk mendatangi sang dukun untuk memelet sang gadis. Beberapa hari kemudian, sang gadis betemu dengan sang pemuda dalam suasana yang “sangat bersahabat” – sang gadis jatuh hati pada pemuda yang sempat diludahinya. Sisi irasionalitas kasus ini jelas – “cinta” yang tumbuh bukanlah cinta alamiah yang biasanya membutuhkan proses yang panjang dan berliku, melainkan “cinta pelet” yang biasanya muncul seketika, membara sesaat dan berakibat buruk jangka panjang. Gara-gara “cinta pelet” ada yang pindah agama, berseteru dengan orang tua, meninggalkan sang kekasih sejati, meninggalkan kuliah atau pekerjaan dan sebagainya.

Dan tentu saja kita sering menyaksikan melejitnya karir politik seseorang secara tiba-tiba, di luar perhitungan akal sehat. Hanya berbekalkan “petuah-petuah” dan “doa-doa” tertentu sang dukun disertai dengan kunjungan ke tempat-tempat “keramat” tertentu, tiba-tiba saja sang pejabat berada dalam lingkungan suasana politik yang sangat “kondusif” dan serba mendukung. Lawan-lawan politik yang sebenarnya lebih layak tampil, tanpa penjelasan rasional tiba-tiba saja tertinggal dalam kompetisi yang penuh dengan kepungan daya-daya irasional itu. Untunglah, seiring dengan makin kritisnya masyarakat, keampuhan daya-daya irasional yang suka mengatrol para langganan setianya itu tidak berlangsung lama. Kepungan kritis dan rasionalitas masyarakat pada akhirnya akan “menurunkan” sang pejabat.

Irasionalitas
Mangapa manusia seringkali tidak mampu atau tidak mau menggunakan nalar (baca: bersikap dan bertindak irasional) merupakan misteri besar. Seandainya kehidupan umat manusia bebas total dari irasionalitas barangkali kita tidak pernah mengalami atau mengenal apa yang dinamakan perang, dendam, kebencian, egoisme, ingin menang sendiri, sikap tak mau menerima kekalahan atau mengakui kelemahan, kehancuran, keputusasaan, terorisme, pemaksaan kehendak, dan sebagainya.

Mengapa hal-hal yang baru saja disebutkan dianggap sebagai buah-buah irasionalitas ? Alasannya singkat dan tegas: karena semua hal di atas (perang, dendam, kebencian, dsb) hanya bisa muncul ketika manusia “lupa” menggunakan akal sehat. Perang misalnya hanya mungkin terjadi karena pihak-pihak yang bertindak tidak menemukan jalan lain untuk meyakinkan bahwa pihaknyalah yang benar dalam hal yang dipertikaikan. Irasionalitasnya menjadi jelas: kalau masing-masing pihak merasa benar tetapi pada saat yang sama pihak lain salah, maka hal itu merupakan sebuah kontradiksi. Itulah sebabnya perang baru berhenti ketika kesadaran muncul kembali setelah berbagai akibat perang demikian mengusik akal sehat yang selama ini dikepung oleh irasionalitas.

Akan tetapi kita tidak perlu menyerah kepada misteri yang disebutkan di depan apabila kita menerima pembagian dunia manusia dalam artikel Tiga Dunia Manusia. Di sana dikatakan bahwa sumber irasionalitas adalah Dunia III, Dunia Anatural atau Dunia Irasional. Mengetahui sumber dari irasionalitas sangat penting dalam membantu kita bergumul dengan irasionalitas.

Setelah mengetahui sumbernya, kita masih dihadapkan pada satu masalah serius lain: bagaimana mencirikan Dunia III itu ? Dengan kata lain bagaimana kita membedakan antara Dunia III dan Dunia I. Di depan telah dikatakan bahwa gejala-gejala Dunia III sering menyamar sebagai gejala-gejala Dunia I sehingga tidak jarang manusia terperangkap ke dalamnya tanpa menyadarinya.

Sebagian jawaban atas pertanyaan itu dapat dibaca dalam artikel berjudul: Ciri-ciri Pemilik Daya Irasional.

“Roh-roh” atau “daya-daya” dari luar itu dapat menjelma dalam cara dan sikap, tindakan dan gaya para pemimpin, penguasa, tokoh masyarakat, pejabat yang memanfaatkan kekuasaannya untuk membuat orang-orang di bawahnya menjadi ‘tidak utuh’ sebagai manusia. Rasa diresapi oleh daya-daya luar itu di sini termanifetasi dalam bentuk: takut bertatap muka dengan pemimpin (bahkan untuk membuka pintu kamar seorang pemimpin pun, seseorang harus mengarahkan segala keberaniannya), tidak berani mengkritik pemimpin atau tokoh idola meskipun mengetahui ada sesuatu yang tak beres di dalam diri sang idola. Dan dalam bentuk ekstrim, munculnya kultus individu, di mana tokoh panutan dianggap tak dapat berbuat salah, dan kalau terjadi sesuatu, hal itu selalu ditimpakan kepada bawahan. Dalam situasi seperi itu, kelompok besar di bawah pengaruh ‘daya luar’ itu mudah terpukau, menjadi fanatis sehingga berakhir dengan pelemahan rasionalitas secara substansial.

Rasionalitas
Lawan dari irasionalitas adalah rasionalitas, yaitu kemampuan dan kemauan bersikap dan bertindak dengan menggunakan akal sehat. Mengapa kita harus memelihara dan mengembangkan rasionalitas dan menjauhi irasionalitas ? Rasionalitas dan akal budi yang sehat akan membimbing pertimbangan, sikap dan tindakan seseorang, terutama dalam menghadapi pilihan-pilihan sulit. Dengan demikian, rasionalitas bak mercu suar yang menjadi pedoman ke mana kapal harus mengarah di saat badai dahsyat menyerang di kegelapan malam.

Doping dan Daya-daya Irasional
Dalam olah raga dikenal isitilah “doping”, yaitu pemacuan atau peningkatan prestasi melalui penggunaan obat perangsang prestasi. Dalam dunia olah raga, doping adalah musuh sportivitas. Selain bisa menguras energi yang pemakainya dan berefek negatif dalam jangka panjang, “doping” juga mengkhianati olah raga karena ia melahirkan sikap “cari jalan pintas”, “menghalalkan segala cara”.

Daya-daya irasional, seperti halnya doping, adalah juga musuh sportivitas. Ia bekerja tanpa proses, memberi hasil “spektakulaer” melalui pengerahan “energi yang luar biasa” sehingga pada akhirnya dalam jangka panjang terjadi pengurasan energi orang yang terpapar. Karena daya-daya itu bekerja tanpa melalui proses alamiah, ia tidak mendidik, ia menyuburkan mentalitas “instan”, ia melumpuhkan daya juang dalam diri manusia, dan karenanya ia memperlemah rasionalitas. Pelemahan terhadap rasionalitas tidak boleh dianggap sepele. Lemahnya rasionalitas berarti lumpuhnya atau hilangnya kemampuan manusia untuk berpikir secara sehat, jernih, kritis, dan logis, dan juga berakibat pada lemahnya kesadaran. Manusia yang kehilangan segala atribut itu tak ada bedanya dengan robot. Selain itu ia menciptakan ketergantungan atau kecanduan yang sangat merusak pribadi orang yang terpapar.

E. Halawa*

Tulisan ini muncul di Blog Yaahowu Agustus 2004.

Tags:

3 Responses to “Rasionalitas vs. Irasionalitas”

  1. wildan

    salam kenal…
    saya wildan saya pekerja sosial di PSPP Galih Pakuan Bogor, saya tertarik dan ingin sharing berbagi pengalaman dengan bapak/ibu. kalau bisa mau dong dikirim artikel-artikel tentang masalah rasionalitas..yang berkaitan dengan psikologi maupun yang lainnya.
    terima kasih…

    #3365
  2. […] yang pada kehidupan modern ini adalah menganut faham positivisme dimana tolok ukur kebenaran yang rasional, empiris, eksperimental, dan terukur lebih ditekankan. Dengan kata lain sesuatu dikatakan benar […]

    #49151
  3. […] yang pada kehidupan modern ini adalah menganut faham positivisme dimana tolok ukur kebenaran yang rasional, empiris, eksperimental, dan terukur lebih ditekankan. Dengan kata lain sesuatu dikatakan benar […]

    #160322

Leave a Reply

Kalender Berita

October 2007
M T W T F S S
1234567
891011121314
15161718192021
22232425262728
293031