Berpuasa Sebagai Latihan Kerohanian
Oleh PASTOR PAULUS TRI PRASETIJO, pr
BERPUASA yang Kukehendaki ialah supaya engkau membuka belenggu-belenggu kelaliman dan melepaskan tali-tali kuk, supaya engkau memerdekakan orang yang teraniaya dan mematahkan setiap kuk, supaya engkau memecah-mecahkan rotimu bagi orang yang lapar dan membawa ke rumahmu orang miskin yang tak punya rumah, dan apabila engkau melihat orang telanjang, supaya engkau memberi dia pakaian dan tidak menyembunyikan diri terhadap saudaramu sendiri! (Yesaya 58 : 6B-7)
Pada Rabu, tanggal 12 September 2007, umat Muslim di seluruh dunia memulai ibadah puasa sebagaimana diatur dalam rukun Islam. Dengan hormat, penulis menyampaikan ucapan selamat menunaikan ibadah puasa kepada segenap umat Muslim. Semoga puasa pada bulan Ramadan 1428 Hijriah ini akan dapat mendatangkan berkat yang melimpah untuk kita semua. Berpuasa sebagai latihan kerohanian dapat kita jumpai pada hampir semua agama di dunia, khususnya agama-agama samawi yakni Yahudi – Kristen – Islam. Kitab Suci Alquran mengatakan demikian:”Hai orang yang beriman! Berpuasa diwajibkan atas kamu, sebagaimana telah diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu, supaya kamu bertakwa” (QS 2 : 183).
Sebagai latihan kerohanian, sungguh jelas bahwa berpuasa bukanlah sekadar tidak makan dan tidak minum pada saat yang ditentukan. Berpuasa bukanlah melakukan diet untuk menurunkan berat badan, kendati jika terjadi turunnya berat badan tetap disyukuri, karena memang akan berpengaruh positif terhadap kesehatan badan dan kesehatan jiwa seseorang. Tentu jiwa akan terpelihara dengan baik jika mendapat “makanan” berupa firman Allah dan doa-doa yang dipanjatkan, khususnya doa-doa yang mengantarkan orang kepada refleksi diri demi perbaikan sifat dan tingkah laku. Sampai pada taraf ini, berpuasa merupakan latihan kerohanian dalam tataran kesalehan personal/individual. Jika kita tidak berhati-hati, orang dapat terperangkap dalam egoisme religius sehingga ibadah-ibadah yang pada hakikatnya suci dan penting itu akhirnya hanya menjadi formalisme atau ritualisme belaka. Kita perlu menghindarkan diri dari sikap hidup semacam itu karena di samping mengecewakan Allah, juga tidak membangun kehidupan keagamaan yang semestinya.
Perkara itu telah dikaji dalam kitab-kitab suci para keturunan Abraham ini, misalnya Allah mengkritik puasa yang dilakukan oleh orang-orang Yahudi pada zaman Nabi Yesaya. Kitab Nabi Yesaya memuat berita demikian :”Memang setiap hari mereka mencari Aku dan suka untuk mengenal segala jalan-Ku. Seperti bangsa yang melakukan yang benar dan yang tidak meninggalkan hukum Allahnya, mereka menanyakan Aku tentang hukum-hukum yang benar, mereka suka mendekat menghadap Allah, tanyanya ‘Mengapa kami berpuasa dan Engkau tidak memerhatikannya juga? Mengapa kami merendahkan diri dan Engkau tidak mengindahkannya juga?’. Sesungguhnya, pada hari puasamu engkau masih tetap mengurus urusanmu, dan kamu mendesak-desak semua buruhmu. Sesungguhnya, kamu berpuasa sambil berbantah dan berkelahi, serta memukul dengan tinju dengan tidak semena-mena. Dengan caramu berpuasa seperti sekarang ini suaramu tidak didengar di tempat tinggi” (Yesaya 58 : 2-4). Dengan demikian, kualitas berpuasa orang Yahudi yang buruk pada zaman Nabi Yesaya benar-benar mendapat sorotan yang amat tajam.
Lalu berpuasa seperti apa yang Allah kehendaki? Jawabannya ada dalam kutipan ayat di atas yakni Yesaya 58 : 6B-7. Allah menghendaki agar orang yang berpuasa membuka belenggu-belenggu kelaliman dan melepaskan tali-tali kuk. Tujuannya adalah agar orang lain memperoleh kebebasan, baik dari pengekangan dan kelaparan, maupun dari kemiskinan dan penderitaan. Nyata, bahwa Allah menghendaki agar puasa yang dijalankan secara pribadi demi kesalehan personal dan kesalehan sosial, berdampak pula kepada relasi yang baik berupa perbuatan baik kepada sesama, terutama mereka yang tersisih. Prinsipnya, demi kesalehan sosial, kesalehan personal kita laksanakan terlebih dahulu.
Kesalehan personal dan kesalehan sosial sering berjalan bersamaan. Pada saat orang menjalankan puasa secara personal, ternyata warga masyarakat merasakan adanya perubahan ke arah yang lebih baik pada diri orang itu. Itu berarti, bahwa ada proses kerohanian yang terjadi pada diri orang yang bersangkutan dan berpengaruh kepada sekelilingnya di mana orang itu berada. Meskipun demikian, orang tetap harus waspada dan hati-hati, sebab dapat saja terjadi tindakan berpuasa itu ditunggangi oleh pamrih yakni keinginan untuk dilihat dan dipuji orang. Itulah sebabnya Tuhan Yesus menasihati : “Dan apabila kamu berpuasa, janganlah muram mukamu seperti orang munafik. Mereka mengubah air mukanya, supaya orang melihat bahwa mereka sedang berpuasa” (Matius 6 : 16). Caranya? Untuk kehidupan zaman sekarang, orang dapat saja menggunakan minyak rambut, gel atau sampo dan conditioner. Lugasnya, Tuhan Yesus ingin agar manusia tidak pamer kepada orang-orang lain melalui tindakan berpuasanya itu.
Seiring dengan kehidupan manusia yang makin kompleks, maka kehidupan keagamaan pun makin kompleks pula. Tak jarang perbuatan-perbuatan baik yang sesungguhnya amat terpuji dimuati dengan perkara-perkara yang tidak suci. Padahal pelbagai atribut keagamaan itu diharapkan sesuai dengan isi hati orang yang melakukan kegiatan keagamaan itu. Dalam praktik, atribut keagamaan ternyata sering merupakan sarana orang dalam menggapai kekuasaan. Bersyukur, bahwa sekarang warga masyarakat pada umumnya telah mampu bersikap kritis terhadap langkah semacam itu.
Oleh sebab itu, adalah penting untuk diupayakan, agar dalam berpuasa oleh penganut agama apa pun, orang melakukan pertobatan dengan meninggalkan tindak kejahatan. Sebaliknya berusaha dengan keras untuk mewujudkan kebajikan terhadap setiap orang yang kita jumpai. Mudah-mudahan dengan cara ini, kita dapat melakukan perbaikan-perbaikan bagi bangsa dan negara Indonesia sehingga bangsa kita mampu bangkit dari keterpurukan yang telah berlangsung sejak lebih dari sepuluh tahun yang lalu. Sebuah harapan yang amat wajar, mengingat bangsa apa pun di dunia ini pasti tidak menghendaki kehidupannya terus-menerus terpuruk dan tidak mengalami kemajuan. Amin.***
Penulis, pastor dari Gereja Katolik, tinggal di Bandung.
Sumber: Pikiran Rakyat, 22 September 2007