Kesakralan Dalam Kebaktian dan Dokumentasi
Dalam beberapa kunjungan ke kebaktian minggu gereja-gereja di Jerman, terdapat sebuah kode etik yang sangat penting yaitu setiap orang dilarang memotret, kecuali atas ijin resmi dari pihak pemimpin gereja karena pertimbangan tertentu. Selain itu, sedapat mungkin pemotretan tidak menggunakan lampu “blitz”.
Sebuah kebaktian penting awal Juni 2007 lalu, yang diadakan di sebuah gereja kecil pada salah satu negara di Eropa Barat sebagai aksi solidaritas melawan AIDS, dimana pada masa itu juga sedang berlangsung pertemuan penting lainnya di Jerman untuk membahas masa depan Afrika, yaitu pertemuan kelompok G8. Kebaktian yang ditujukan sebagai aksi solidaritas bagi Afrika, disponsori oleh beberapa pihak, termasuk para pejuang yang mengkritisi kelompok G8 ini. Kebaktian berlangsung sederhana namun sangat memberi penekanan nuansa tema AIDS. Dalam kebaktian tersebut ditampilkan juga sebuah video mengenai kegiatan dan program kerja melawan AIDS di sebuah negara di Afrika dan berikut kisah para penderita AIDS.
Ketika khotbah berlangsung, tim pers yang terdiri dari juru potret dan juru kamera mulai mengarahkan kameranya dari pengkhotbah hingga ke peserta kebaktian.
Tanpa diduga-duga banyak orang Eropa bereaksi marah karena merasa terganggu dan keluar dari kebaktian.
Mereka beberapa kali mengingatkan juru potret dan juru kamera untuk tidak mengarahkan kamera ke mereka dan tidak mengabadikan momen kebaktian.
Peristiwa ini menjadi renungan tersendiri bagi penulis dan melihat betapa orang Eropa sendiri sangat berhati-hati dan tidak suka bila foto mereka diambil dan dibuat tanpa seijin yang bersangkutan, termasuk dalam kebaktian gereja. Foto-foto yang dibuat sangat berpotensi untuk disalahgunakan, selain memang karena alasan dokumentasi gereja. Namun, dalam kebaktian di dalam gereja yang mungkin saja diboncengi oleh tujuan-tujuan tertentu memang sangat tidak disukai oleh banyak orang di Eropa Barat khususnya. Sehingga urusan potret-memotret di dalam gereja ini menjadi hal yang sangat sensitif. Selain itu, yang datang beribadah ke gereja umumnya, dari pengamatan penulis, tidaklah dalam jumlah besar seperti di Indonesia yang bisa mencapai ribuan orang per kebaktian. Mereka datang beribadah karena berdasarkan niat pribadi dan mengharapkan kesakralan serta jauh dari kegiatan pers. Ibadah tidak untuk dipertontonkan. Tentu saja ada banyak alasan lain, mengapa orang-orang di sana tidak suka dipotret oleh orang asing terlebih-lebih dalam ibadah.
Sebagai renungan bagi penganut kristiani di Indonesia, seberapa jauhkah nilai kesakralan dalam ibadah-ibadah minggu diutamakan? Apakah ada nilai kesakralan dalam ibadah atau sibuk dengan nilai publikasi? Mungkin juga sebagai perenungan, dimana masa-masa sekarang ada banyak sekali publikasi tentang Ono Niha termasuk ketika melakukan ibadah. Sangat penting juga dipahami apa makna dan tujuan sebuah publikasi setelah pemotretan sebuah ibadah dilakukan.
Kesakralan dalam ibadah mungkin bagi seseorang Ono Niha tidak dipengaruhi oleh acara-acara pemotretan ketika kebaktian sedang berlangsung. Namun, karena ini sebagai bagian perenungan, penulis mengajak pembaca, khususnya Ono Niha untuk sejenak melihat nilai kesakralan ibadah masing-masing. Nilai kesakralan dalam ritual mungkin bisa memperkuat iman seseorang dan membantu mengarahkan seseorang ke pencipta-Nya. Semoga. (katitira)