Perlu Budi Daya Alam di Nias

Tuesday, May 29, 2007
By Moyo

Yogyakarta (Yaahowu)
Alam Nias yang sebenarnya makmur perlu dibudidayakan, agar kemiskinan dan kebodohan dapat ditanggulangi di Nias. Demikian diungkapkan Rektor Universitas Kristen Duta Wacana (UKDW), Pdt. Dr. Budiyanto, M.Th., dalam semiloka ”Pengembangan Kualitas dan Kepemimpinan Ditinjau dari Aspek Agama, Budaya dan Pendidikan”, Sabtu, 26/5, di Auditorium UKDW Yogyakarta.

Setelah gempa bumi dahsyat tahun 2005, menurut Pdt. Dr. Budiyanto, M.Th. masyarakat Nias berada dalam keprihatinan dan penderitaan. Sehingga di Nias timbul ”pengharapan” yang luar biasa untuk dapat ke luar dari penderitaan itu, lanjut Rektor yang beberapa kali mengadakan kegiatan pengabdian masyarakat di Nias pasca bencana.

Pdt. Dr. Budiyanto, M.Th. mengamati, masyarakat Nias baru dalam taraf sedekar memenuhi kehidupan sehari-hari dalam mengupayakan alam. Orang di Nias belum melihat peluang-peluang yang ada. Misalnya, hasil bumi belum dibudidayakan sehingga menghasilkan tanaman produktif yang dapat dipasarkan. Atau, orang-orang di tepi pantai menangkap ikan hanya untuk dikonsumsi sendiri, belum dijadikan komoditas perikanan. Di sektor jasa juga, contoh kecil, orang di Nias belum melihat peluang menata sistem retribusi parkir di kota Gunungsitoli.

Selain Rektor UKDW, pembicara lain dalam semiloka yang digelar Ikatan Keluarga Nias (IKN) Yogyakarta itu adalah: Pdt. Dr. Samuel Tandiassa, MA, Yupiter Gulö, SE, MM, dan dr. Victor Zebua, M.Kes. Dr. Fonali Lahagu, M.Sc. menjadi pengarah materi.

Dalam kondisi Nias yang penuh pengharapan sekarang ini, pemimpin yang ideal menurut Pdt. Dr. Samuel Tandiassa, MA adalah pemimpin yang punya missi menyelamatkan manusia dalam pengertian menyeluruh, bukan pemimpin yang ingin memperkaya diri sendiri. Ciri-ciri pemimpin seperti itu adalah gembala, pelayanan, dan hamba. Ciri-ciri ini merupakan kepemimpinan yang diteladani dari Yesus Kristus.

Dari aspek budaya, dr. Victor Zebua, M.Kes. melihat bahwa orientasi kehidupan sosial orang Nias cenderung bertumpu pada kampung (banua). Ini potensial menimbulkan pergesekan di antara orang-orang yang berbeda kampung, sehingga potensial pula menjadi hambatan bagi proses penyamaan gerak langkah untuk mendorong kemajuan masyarakat Nias. Padahal di berbagai kampung itu, dengan pendekatan keturunan, kita dapat mempersatukannya dalam clan-family (mado). Dan, bila ditelusuri hingga kelompok induk puak leluhur orang Nias, mulai dari Hulu, Hia, Gözö, Daeli, Silögu, hingga Ho, dengan adanya kawin-mawin di antara para keturunan mereka sejak 50-40 generasi yang lalu, sesungguhnya kita ini semua bersaudara. Mite Nias menunjukkan bahwa orang Nias merupakan sebuah keluarga besar Ono Niha. Ini merupakan salah satu modal dasar kita dalam upaya mengangkat Nias dari lingkaran penderitaan, bukannya malah menambah penderitaan, lanjut Victor Zebua.

Dalam kesempatan yang sama, Ketua BRR Nias, Yupiter Gulö, menyampaikan bahwa untuk program tahun 2007 dan 2008 BRR Nias akan mengalokasikan dana yang relatif besar bagi program peningkatan sumber daya manusia (SDM). Juga diharapkan, para mahasiswa yang telah lulus dapat segera kembali ke Nias. Untuk itu BRR akan berupaya mengakomodasi hasil-hasil semiloka yang diselenggarakan IKN Yogyakarta.

Sebagai respons, para peserta seminar dan lokakarya (semiloka) merumuskan beberapa item program konkrit, beserta volume kegiatan dan anggaran, antara lain: kuliah kerja nyata (KKN) mahasiswa ke Nias (baik mahasiswa Nias maupun non-Nias, dari Yogya maupun dari luar Yogya), penelitian tentang Nias, pelatihan (mahasiswa, aparat desa hingga kabupaten, pelaku ekonomi pedesaan, kader desa, jemaat), pengadaan guru dan dosen tidak tetap, dan pengembangan pasar (harimbale) di Nias.

Selain kegiatan seminar dan lokakarya, acara dimeriahkan pertunjukkan tari maena dan tari moyo oleh para mahasiswa Nias yang relatif baru datang ke Yogyakarta. Semiloka dan pertunjukan seni ini juga dijadikan sebagai momentum kenangan, tepat 50 tahun lalu (tahun 1957) orang Nias pertama datang ke Yogyakarta. Saat itu, ada tiga orang pelajar asal Nias. Namun saat ini ada lebih dari 400 mahasiswa Nias tengah menimba ilmu di Yogyakarta. Demikian hasil peliputan Yaahowu dari kota pelajar Yogyakarta (wypj).

22 Responses to “Perlu Budi Daya Alam di Nias”

Pages: [1] 2 3 » Show All

  1. 1
    Ribkah Says:

    Terima kasih Redaksi, ternyata situs Yaahowu mengirim juga peliput ke Yogya… Saohagölö! Buat IKN Yogya selamat atas upaya intelektual teman-teman memikirkan penderitaan masyarakat di Nias… Dan buat BRR kiranya dapat mengakomodir hasil-hasil semiloka tersebut dengan optimal.

    Yaahowu fefu…!
    Banyak salam dari Palembang 🙂
    Ribkah Lase

  2. 2
    Atta Zebua Says:

    Terima kasih buat redaktur Yaahowu. Buat Ribkah di Palembang, apa yang dilakukan IKN Yogya bukan yang pertama kali. Sudah banyak seminar sejenis yang dilaksankan oleh perkumpulan masyarakat Nias di berbagai daerah di luar Nias. Tetapi, yang menarik dari semiloka tersebut adalah adanya hasil yang konkrit berupa usulan program kepada Pemda dan BRR. Kiranya hasil-hasil tersebut mendapat perhatian dan respon positif dari berbagai pihak khususnya bagi pengembangan SDM masyarakat kita yang masih tertinggal.

    Yaahowu…!

    Atta Zebua

  3. 3
    otomend Says:

    Buat Bang Atta yang Ketua OC di Jogja, profisiat atas semiloka dan hasilnya yang menjadi bahan program bagi BRR. Kalau separuh saja dari kekuatan mahasiswa Nias di Jogja saat ini, kembali (mengabdi) kelak ke Nias, itu artinya sekitar 200 intelektual godogan Jogja ikut membangun Nias. Dapat dibayangkan suasana “gudeng Jogja” di Tanö Niha. Kita bisa buat “lesehan Malioboro” di Gunungsitoli dan Telukdalam, Bang Atta… (hehehee…) 🙂

    Selamat berjuang kawan-kawan IKN!

  4. 4
    Laso Says:

    Bila Pemkab (Nias, Nisel) dan BRR hendak mengembangkan SDM di sektor perikanan dan kelautan, saya mengusulkan diprogram beasiswa S-1 bagi putra-putri Nias di sektor ini, seperti beasiswa yang telah dilaksanakan di Fakultas Kedokteran UGM.

    Cobalah eksplorasi kemungkinannya di Universitas Diponegoro (Undip) Semarang, karena di sana ada Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, dengan berbagai jurusan yaitu: Budidaya Perairan, Ilmu Kelautan, Manajemen Sumber Daya Perairan, Pemanfaatan Sumber Daya Perikanan, Oseanografi, dan Teknologi Hasil Perikanan.

    Kita membutuhkan sebuah sistem yang mampu menghantar SDM Nias untuk kembali ke Nias, sehingga mereka mampu dan mau membangun berbagai sektor yang potensial ada di Nias.

    Bravo Nias! Yaahowu!
    Laso Telaumbanua

  5. 5
    andraha Says:

    Usul saya kepada Bupati Nias, Bupati Nisel, dan BRR: tumbuh-kembangkan iklim budi daya pertanian di kepulauan Nias. Caranya, rekrut para sarjana S-1 Pertanian dan Teknologi Pertanian (terutama orang Nias, boleh juga non-Nias) untuk bekerja di Nias, minimal dengan sistem kontrak.

    Jika para sarjana (Pertanian dan Teknologi Pertanian) itu bahu-membahu dengan para mahasiswa KKN yang diusulkan IKN Jogja, agaknya perilaku masyarakat Nias yang subsisten (hanya mencukupi kebutuhan dirinya sendiri) dalam mengelola alam, seperti yang diamati oleh Rektor UKDW itu, dapat ditransformasikan menjadi perilaku pertanian yang produktif dan komoditif.

    Tuhan memberkati! Ya’ahowu!
    andraha – Pematangsiantar

  6. 6
    Redaksi Says:

    Selamat atas terselenggaranya dengan sukses Semiloka yang digelar IKN Jogja. Kepada teman-teman dari Jogja yang mau berkontribusi dalam bentuk pemikiran untuk kemajuan Nias, silahkan mengirim tulisan Anda kepada Redaksi Situs Yaahowu.

    Redaksi

  7. 7
    esther telaumbanua Says:

    Selamat dan bangga untuk IKN Yogya atas terselenggaranya semiloka ”Pengembangan Kualitas dan Kepemimpinan Ditinjau dari Aspek Agama, Budaya dan Pendidikan”, Sabtu, 26/5, di Auditorium UKDW Yogyakarta. Ruang dan forum seperti ini harus semakin digalakkan untuk menumbuhkan pemahaman yang lebih dalam dan luas tentang Nias. Sekaligus wadah yang efektif menggali potensi Nias, serta menumbuhkan kecintaan Ono Niha terhadap Tano Niha.

    Pemberdayaan seluruh komponen masyarakat Nias adalah kunci bagi pemulihan Nias, sehingga mereka berdaya dan mampu mengolah sumber daya alam Nias dan mengupayakannya bagi peningkatan kesejahteraan hidupnya. Sehingga, program-program pemberdayaan sdm dan sda harus mendapat porsi perhatian dan alokasi yang cukup.
    Setuju dengan dr. Victor, menggali kekayaan budaya Nias dan kearifannya, sangat mendukung pemberdayaan Nias. Budaya harus menjadi ‘roh’ dalam proses pemberdayaan. Oleh karena itu, kita harus mampu mengemas warisan budaya Nias menjadi kekuatan mendukung pemberdayaan dan pembangunan Nias. Kajian-kajian terhadap sistem kemasyarakatan Nias, nilai-nilai budaya yang relevan, dapat dilakukan untuk menemukan sisi-sisi negatif dan positifnya untuk ditemukan strategi penegmbangannya menjadi potensi budaya. Saya yakin dr. Victor akan dan dapat melakukannya. Komitmen dan kecintaannya terhadap budaya Nias sudah nyata dalam aktivitasnya.. ( iya kan ?).
    Melihat berbagai keterbatasan dalam berbagai dimensi, diperlukan pilot-pilot project untuk men-triger pengembangan potensi Nias yang belum tergali, untuk kelak dilanjutkan pengembangannya oleh masyarakat Nias sendiri. Dan pada akhirnya saya setuju dengan Pdt. Samuel, me-restorasi kehidupan Nias diperlukan pemimpin yang bervisi kemanusiaan dan berhati ‘hamba’ (bagiNya).. Keteladan, kasih dan loyalitas niscaya tercermin dalam pelayanannya sebagi pemimpin.

    Sekali lagi, salut dan bangga untuk IKN Yogya. Dan tidak lupa maju terus situs Yaahowu.

    Salam,

    Esther Telaumbanua
    Yayasan Tatuhini Nias Bangkit

  8. 8
    M. J. Daeli Says:

    Banyak pernik-pernik pemikiran yang baik dalam artikel ini. Tema
    “Perlu Budi Daya Alam Nias “(kata di – sengaja saya hilangkan),satu Kalimat yang sarat makna. Satu konsep yang abstrak yang membutuhkan tindakan untuk menjadi realitas.

    Tak ada seorang pun yang seorang diri, akan mencakupi seluruh permasalahan Tanõ Niha, dan memberi solusi yang tepat. Perlu diskusi untuk menguji, mengoreksi, dan memperkembangkan ide-ide yang timbul demi kristalisasi pemikiran yang nanti menjadi pangkal untuk langkah berikutnya. Pencarian jawaban-jawaban masalah-masalah terkait Ono Niha, mau tak mau harus merupakan suatu proses kolektif ”.

    Saya yakin bahwa “keberanian untuk merasa optiomis” dapat dimiliki oleh Ono Niha. Keyakinan yang didasarkan pada nilai luhur budaya masyarakat Ono Niha sendiri. Dalam budaya Ono Niha terdapat cita-cita atau tujuan rohani hidup bersama yang termakna dalam salam “Ya’ahowu” (dalam terjemahan bebas bahasa Indonesia “semoga diberkati”). Dari arti Ya’ahowu tersebut terkandung makna: memperhatikan kebahagiaan orang lain dan diharapkan diberkati oleh Yang Lebih Kuasa. Dengan kata lain Ya’ahowu menampilkan sikap-sikap: perhatian, tanggungjawab, rasa hormat, dan pengetahuan. Jika seseorang bersikap demikian, berarti orang tersebut memperhatikan perkembangan dan kebahagiaan orang lain, tidak hanya menonton, tanggap, dan bertanggungjawab akan kebutuhan orang lain (yang diucapkan : Selamat – Ya’ahowu), termasuk yang tidak terungkap, serta menghormatinya sebagai sesama manusia sebagaimana adanya. Mangandung makna “Saya mengenalnya dan mengontak diri saya dengannya dari dalam inti diri saya, bukan dari batas luar diri saya”.

    Jadi makna yang terkandung dalam “Ya’ahowu” tidak lain adalah persaudaraan (dalam damai) yang sungguh dibutuhkan sebagai wahana kebersamaan dalam pembangunan untuk pengembangan hidup bersama. Kalau kebersamaan ada maka “apa” yang tidak dapat dilakukan? Nenek moyang kita membangun rumah adat dari kayu dan batu yang besar tanpa dibelah karena tidak ada peralatan seperti sekarang. Mereka menggotong kayu besar-besar dari hutan melewati jalan tikus, lembah, sungai, dan gunung. Mereka hanya mengandalkan tenaga kebersamaan manusia (mereka) dan hasilnya monumental dalam sejarah peradaban umat manusia – “Omo Niha”.

    Orang tua kita di Kampung selalu mempertahankan nilai fabanuasa (persaudaraan di kampung) karena selain mereka meyakini keluhurannya, juga telah terbukti dalam pergumulan hidup sehari-hari. Orang tua di Tanö Niha selalu menasehatkan agar selalu menjaga persatuan sebab: “Me aoha noro nilului wahea, aoha noro nilului waoso. Alisi tafadayadaya, hulu tafawolowolo. He Awöni he eho, aoha nilului zato. He ha tugala silimo, abua sibai na ha yao”. Kalau makna “Ya’ahowu” yang sudah diyakini itu dilaksanakan maka “keberanian untuk merasa optiomis” bukanlah hal yang mustahil pada masyarakat dan diri Ono Niha.

    Namun di sisi lain, hendaklah pula kita berani untuk menyadari kelemahan-kelemahan dalam budaya kita yang dapat menghambat semangat pembangunan. Antara lain: tentang “penggunaan waktu” dalam musyawarah adat . Bukan prinsip adat (tia-tia hada) yang ditinggalkan melainkan pemanfaatan waktu (proses) harus diefisienkan.
    Contoh lain dari budaya masyarakat Ono Niha yang patut menjadi perhatian kita karena tidak sesuai dengan semangat pembangunan (menurut pengamatan saya), adalah: masyarakat kita lebih berhasyrat mengutamakan status dan prestise dan bukan fungsi dan prestasi. Akibat dari kecenderungan ini adalah otoriterisme paternalistis, kecenderungan menjadi pegawai negeri, ketaatan tanpa reserve kepada atasan. Dalam mencari solusi terhadap suatu permasalahan berfokus pada kehendak pimpinan dan bukannya dengan penyelesaian masalah secara praktis. Dari pandangan hidup ini terdapat kecenderungan memandang perkembangan dalam masyarakat berdiri sendiri, yang masing-masing mempunyai krakterristik. Orang dituntut harus menyesuaikan diri padanya dan peluang-peluang yang ada harus dimanfaatkan. Dengan cara pandang demikian “tujuan” bukanlah sesuatu yang harus dicapai dengan kerja keras dan perencanaan rasional melainkan sesuai perkembangan dari satu situasi yang tidak jarang dikaitkan dengan yang mistis.

    Sebagian besar masyarakat Ono Niha masih hidup dalam suasana lingkungan yang tertutup “Niha Mbanua”. Perlu perubahan mentalitas sehingga siap menghadapi globalisasi dan menciptakan lokalisasi-positif manusiawi. Perubahan berarti suatu perubahan yang pokok dalam cara memandang hidup dan mati. Hanya bila kita melihat kehidupan ini sebagai sesuatu yang pada dirinya sendiri sudah mempunyai makna dan arti, kita dapat melihat dan menerima hidup di dunia (Tanõ Niha – Indonesia) ini dengan kesungguhan yang mencukupi. Hanya dengan cara demikian kita membangkitkan daya spritual, emosional, dan intelektual yang diperlukan dengan segala sifat keperibadian kita sendiri. Tidak hanya untuk bertahan untuk tetap hidup, melainkan : bebas, merdeka, dan juga mengakui keinginan serta membangkitkan kekuatan untuk hidup dengan baik, dengan bermakna, dan dengan kegembiraan hati.

    Persoalannya, bagaimana kita harus menganggap dan menghargai hidup ini? Sebagai manusia merdeka, maka konsolidasi-hidup di dalam dunia ini berarti menyesuaikan diri secara kreatif kepada dunia. Menyesuaikan secara kreatif harus memenuhi pertama-tama satu syarat minimum, yang diharapkan kepada kita sebagai akibat kemerdekaan, yaitu : bagaimana kita mengembangkan pengetahuan dan pemahaman kita tentang dunia yang selalu berubah. Ini berarti mengembangkan dan meningkatkan mutu sumber daya manusia (SDM) melalui pendidikan, sarana penting dan strategis terjadinya mobilisasi mental, yang menjadi pangkal tolak pembangunan di bidang ekonomi dan di bidang lainnya. Jadi kesungguhan upaya kita di lapangan pendidikan dan ekonomi merupakan ujian kreativitas kita menghadapi perubahan termasuk modernisasi-globalisasi.

    Maka masalah Tano Niha (Nias) menurut saya, sedikitnya 10 tahun yang akan datang ini, adalah bagaimana kita menciptakan tenaga SDM yang terampil. Memiliki insiatif sendiri untuk mendapatkan manfaat dari setiap kesempatan di lingkungan berdasar moral yang hidup dalam masyarakat, bangsa, dan negara Indonesia. Pengembangan pendidikan dan kekuatan ekonomi, dan politik yang perlu untuk itu, menghendaki suatu perubahan mendalam dari kebulatan adat kebiasaan, oraganisasi sosial, serta pandangan hidup kita .

    Perubahan ini meliputi sikap baru terhadap dagang, uang, menabung, waktu, sikap lain terhadap hirarki sosial, terhadap pangkat dan derajat, terhadap pekerjaan tangan dan mesin. Perubahan itu memerlukan kemampuan untuk berpikir secara kuantitatif serta memerlukan cara berpikir dan bertindak dalam hubungan organisatoris yang lebih besar daripada dahulu, melampaui hubungan kekeluargaan, dan ditentukan secara pasti. Perubahan itu juga berarti suatu etika kerja yang berlainan. Bahwa bekerja adalah melibatkan diri dalam proses untuk mencapai tujuan dan bukan untuk semata-mata mencapai tujuan. Suatu tempo kehidupan yang berlainan, dan terutama nilai-nilai dan motif-motif di dalam kehidupan ini yang berlainan pula.

    Menjadi tantangan bagi intelektual, para pejabat pemerintah daerah di Tanõ Niha (Kabupaten Nias & Kabupaten Nias Selatan), dan semua pihak untuk mengangkat nilai-nilai luhur budaya Ono Niha yang bersemangat “membangun bersama”. Disosialisasikan dan diterapkan dalam upaya membangun Tanõ Niha. Kemauan dan tekad untuk melaksanakan sifat-sifat yang terpancar dari nilai-nilai itu adalah suatu kebaikan – demi tetap exist-nya Ono Niha dalam perjalanan waktu. Sibuk berbuat yang baik terhindar dari pikiran-pikiran negatif, seperti: tõdõ fayaŵasa, fatiusa, fa ya’o, fa dõni ahe, KKN, dan sebagainya.

    Pada akhir tulisan ini saya ingat untuk menyampaikan pesan Erich Fromm pada akhir bukunya “The Sane Society” yang diterjemahkan bebas seperti ini : “Suatu suku bangsa kecil ditantang – Aku memberi dihadapanmu dua pilihan, kehidupan atau kematian, berkah atau kutukan – dan engkau memilih kehidupan”. Ono Niha pasti memilih “kehidupan”. Atau …, bagaimana ?

    Semoga bermanfaat.-

    M. J. Daeli

  9. 9
    Dinar Says:

    Alinea terakhir tulisan Bapak M.J. Daeli amat menarik.

    Frase “berkah atau kutukan” yang dikutip (diterjemahkan bebas) dari Erich Fromm mengingatkan beta pada jiwa dari “fondrako” dalam budaya Nias. Beta pertama kali baca fondrako itu di buku “Ho Jendela Nias Kuno” tulisan Pak Victor Zebua, dan kemudian di beberapa esei lainnya.

    Yang jadi pertanyaan beta [khususnya pada Bapak M.J. Daeli], bisakah fondrako itu diaktualisasikan dalam kondisi masyarakat Nias seperti yang sekarang ini, ketika dorang (mereka) berupaya mengelola SDA dan SDM?

    Banyak salam dari Manado,
    Dinar Turangan

  10. 10
    B. Zebua Says:

    Tulisan Pak M.J. Daeli tentu sangat bermanfaat dan memperkaya diskusi kita. Sebagai mantan [kalau tidak salah] Ketua IKN Yogya, ternyata Pak Daeli masih apresiatif terhadap kegiatan generasi penerus kita di IKN Yogya.

    Saya ikut Semiloka Pembangunan Pariwisata Nias [1997] di Kaliurang, Yogya, di mana Pak Daeli menjadi salah satu narasumber. Waktunya sudah satu dekade, namun perhatian dan kecintaan Bapak pada IKN khususnya, dan Nias umumnya, tidak pernah luntur. Selamat, dan saohagölö Pak.

    Tidak lupa, profisiat buat keluarga besar IKN Yogya yang telah sukses menyelenggarakan semiloka di usianya yang telah setengah abad.

    Yaahowu!
    B. Zebua – Alumnus IKN

Pages: [1] 2 3 » Show All

Leave a Reply

Comment spam protected by SpamBam

Kalender Berita

May 2007
M T W T F S S
 123456
78910111213
14151617181920
21222324252627
28293031