Mö’ita Mondri, Bela
Ada permainan anak-anak Nias berupa sahut-sahutan (gema-gema) seperti berikut ini. Kita tak pernah lagi mendengarnya dari mulut anak-anak Nias sekarang. Ini benar-benar “permainan” kata-kata yang cukup menarik. Si A menanya dan mendesak B terus menerus, dan si B menjawab “sekenanya”.
A: Mö’ita mondri, bela.
B: Lö möido, bela
A: Hana, bela ?
B: So ndroi, bela
A: Ha doi, bela ?
B: Doi sasa, bela
A: Ha sasa, bela ?
B: Sasa hua, bela
A: Ha hua, bela ?
B: Hua la’imba, bela
A: Ha la’imba, bela ?
B: La’imba laeha, bela
A: Ha laeha, bela ?
B: Laeha sogömigömi, sangoloi tuhi-tuhi*, samoto luha gö mbawi.
* atau: “cuhi-cuhi”
(brk)
terlebih dahulu saya ucapkan terimakasih dan acungkan jempol atas adanya usaha untuk mendokumentasikan hasil budaya nias melalui media ini termasuk lagu-lagu atau syair nias yang sudah lama tidak didendangkan lagi. masih segar diingatan kita wacana lagu rasa sayang yang sedang diperebutkan hak ciptanya oleh dua negara rumpun melayu (Indonesia-Malaysia). Saya berharap kita anak nias terus belajar dari pengalaman dan mengantisipasi secara progresive supaya peristiwa serupa tidak terulang lagi.
tentang lagu moi ita mondri bela, benar bahwa lagu ini sudah jarang disenandungkan oleh anak-anak nias zaman sekarang dan tidak hanya di kota tapi juga di desa-desa. faktornya mungkin karena sekarang ini anak-anak lebih cenderung suka mendengarkan dan mendendangkan lagu-lagu band yang sedang hit. syndrom anak gaul begitu bergema dalam benak setiap anak muda nias. kalau tidak ingin dibilang kampungan atau ketinggalan zaman atau nggak gaul, ya mesti tahu dan hafal lagu-lagu band ngetop. faktor lain juga adalah begitu mudahnya sekarang ini untuk mengakses media komunikasi hingga kepolosok dusun (walaupun demikian, saya tidak bermaksud bersikap paranoid dengan teknologi sejauh itu memberikan kebaikan).
Ini sekedar masukan, gimana kalau lagu-lagu atau syair-syair atau apapun bentuk hasil budaya nias sebaiknya dicantumkan dari daerah mana, siapa pengarangnya, apa artinya dalam bahasa Indonesia. Kebetulan saya berasal dari teluk dalam dan lagu ini dulunya sering saya dengar dari teman-teman sepermainan. cuma saya ragu apakah ini secara khusus berasal dari teluk dalam atau nias secara keseluruhan.
akhir kata saya ucapkan terima kasih
Aktivitas Sarumaha
Dear Pak Sarumaha,
Terima kasih atas tanggapan simpatik Anda.
Sewaktu kecil, “Mö’ita mondri bela” saya dengar dari ayah saya. Namun seingat saya ini bukan sebuah lagu tetapi “gema-gema”, semacam permcainan kata bersahut-sahutan antara dua orang yang sedang bermain.
Menarik juga bahwa “Mö’ita mondri bela” dikenal di Teluk Dalam; itu berarti “Mö’ita mondri bela” dikenal baik di Nias Utara maupun di Nias Selatan. Apakah syairnya persis sama ?
Tentang maena, lagu, hoho dan sebagainya, terus terang kita mengalami kesulitan menelusuri pengarangnya. Maena, lagu, hoho dan sebagainya adalah karya Ono Niha yang dengan sendirinya menjadi “milik umum” karena para pengarangnya tidak peduli dengan hak cipta atas karya mereka. Hal ini barangkali terkait dengan kenyataan bahwa di zaman dulu menjadi pencipta maena, lagu, hoho dan sebagainya tidak memberikan keuntungan ekonomis.
“Kevakuman” inilah yag sering dimanfaatkan oleh fihak luar untuk menarik keuntungan daripadanya. Dengan bermodalkan alat perekam suara, kamera, buku catatan dan sebuah pena, mereka mencatat berbagai hal tentang Ono Niha lalu menghasilkan buku, CD, karya ilmiah dan sebagainya dari padanya.
Ono Niha yang menjadi “nara sumber” atau penyumbang bahan-bahan umumnya tidak mendapatkan apa-apa, kecuali “kemasyhuran yang menyakitkan”: foto-foto, cacat-cacat tubuh mereka dipajang dalam haaman-halaman buku atau “tulisan ilmiah” lalu disebarluaskan, seakan mereka tidak punya privasi yang harus dihargai. Suara mereka, kisah-kisah, bahkan darah mereka diambil begitu saja dari mereka tanpa mengerti secara penuh apa manfaatnya bagi mereka. Semua proses itu berlangsung secara otomatis saja, tanpa ada perjanjian hitam di atas putih yang menunjukkan hak-hak mereka dari “pemberian” mereka itu !
Semoga hal ini menjadi bahan permenungan kita bersama.
Redaksi
Orang Nias, sejak Sulayman tahun 851 memang telah menjadi obyek pengamatan, penelitian, bahkan eksploitasi. Nias memang menjadi terkenal, tapi siapa yang diuntungkan?
Hingga kini, riset darah orang Nias yang dibawa-bawa Profesor Ingo ke Jerman itu, siapa yang jadi subyek, siapa yang jadi obyek? Masya’allah, foto cacat tubuh Orang Nias pun dipamer-pamerkan. Nias memang lagi diberi angin surga “ketenaran”, tapi sejatinya dijajah luar-dalam!
ha………ha saya ketawa ingat masa kecil,rasanya ingin
seperti anak2 lagi……………..rasanya ingin pulang
kampung…………….trimakasih banyak idenya.