Korban Flu Burung-Peti Mati Saja Kok Tak Ada
Kompas, Selasa, 15 Mei 2007
Hari Senin (14/5), FS Rota Halawa (29) masih merasa lemas dan pusing. Istrinya, NS (26), yang meninggal akibat flu burung, sudah dimakamkan, tetapi ia kini dipusingkan oleh utangnya sebesar Rp 1 juta untuk membeli peti jenazah dan biaya penguburan istrinya.
Sehari-hari, Rota bekerja di koperasi simpan pinjam. Karena harus mengurus istrinya, sudah dua minggu ia tidak bekerja sehingga sama sekali tidak berpenghasilan.
Ditemui di rumahnya, di Jalan Peratun Ujung, Medan Estate, Percut Sei Tuan, Deli Serdang, Sumatera Utara, Rota mengaku belum tahu bagaimana membayar utangnya itu. Ia juga mengaku belum menerima surat kematian istrinya dari rumah sakit.
Seperti diberitakan, NS yang positif terpapar virus flu burung meninggal pada hari Sabtu tengah malam. Jenazahnya dibawa pulang malam itu juga. Yang membuat Rota sedih, jenazah istrinya yang hanya dibungkus plastik itu tidak boleh diturunkan dari ambulans oleh warga sebelum dimasukkan ke dalam peti mati. Mereka khawatir “tertular” virus yang mematikan itu.
Untuk itu, Rota terpaksa membeli peti mati Rp 600.000. Padahal, ia sebelumnya menolak membayar Rp 500.000 untuk peti mati yang disediakan rumah sakit karena memang tidak punya uang.
Jenazah NS memang bisa diturunkan sampai akhirnya dimakamkan dalam upacara sederhana. Tidak banyak pelayat yang datang.
Saat pemakaman, Riama S (32), kakak NS, menangis meraung-raung. Ia tak bisa mengerti kenapa pihak rumah sakit tidak mengurus jenazah adiknya secara layak.
“Kalau melihat berita di Jawa, penanganan flu burung di sana sangat tuntas. Ini kok aneh, peti saja tidak disediakan,” kata Pendeta Gereja Pentakosta Internasional Indonesia S Lumbanraja yang ikut menangani jenazah NS di rumah duka.
Wakil Direktur RS Adam Malik, Medan, Nur Rasyid Lubis mengatakan, Surat Keputusan Menteri Kesehatan sudah mengatur soal penanganan pasien flu burung yang meninggal. Hal itu, katanya, sepenuhnya diurus rumah sakit. Korban dikafani, dibungkus plastik, dimasukkan ke dalam peti, dan dimakamkan. Seluruh biaya korban flu burung juga ditanggung Departemen Kesehatan hingga ke pemakaman. “Kami sudah klarifikasi kepada petugas, keluarga pasien mendesak untuk cepat membawa pulang korban malam itu,” kata Nur.
Karena korban meninggal tengah malam, kata Nur, peti mati harus dipesan dulu. “Harganya memang Rp 500.000,” katanya.
Pihak keluarga juga terus mendesak agar jenazah dibawa pulang malam itu juga sehingga pihak rumah sakit kewalahan.
Ayam mati
NS dan Rota Halawa tinggal persis di belakang kawasan Universitas Negeri Medan di pinggir Jalan Tol Medan. Tanggal 2 Mei lalu, NS mengeluh demam dan sakit kepala. Oleh Rota, NS diperiksakan ke bidan setempat karena dikira berkait dengan kondisi kandungannya.
Rota tidak menduga bahwa istrinya terinfeksi virus flu burung. Padahal, seminggu sebelum NS sakit, lima ayam tetangganya mati. Ayam yang tersisa hidup kemudian mereka sembelih dan mereka santap bersama. Keluarga kecil itu bahkan mengundang anggota gereja untuk makan bersama.
Karena sakitnya makin menjadi, NS dirawat di rumah oleh bidan setempat. Korban sempat diberi infus karena tidak doyan makan.
Tanggal 7 Mei malam, NS sesak napas dan demam sehingga dibawa ke RS Haji Medan dan sempat didiagnosa TB. Karena kondisinya terus memburuk dan hasil foto rontgennya menunjukkan paru-paru berkabut, NS kemudian direkomendasikan ke RS Adam Malik sebagai pasien terduga flu burung pada 10 Mei dini hari. Ia akhirnya meninggal tanggal 12 Mei pukul 23.30.
“Sudah terlampau lama sakitnya. Kami ketahui sudah terlambat sehingga sangat kecil kemungkinan selamat,” kata Prof dr Luhur Soeroso, Ketua Tim Penanganan Flu Burung RS Adam Malik. Hasil tes rantai polimerase atau PCR yang menyatakan pasien positif terkena flu burung pun baru diterima beberapa jam sebelum pasien meninggal.
Ini jauh lebih cepat dibandingkan dengan hasil PCR pada korban flu burung sebelumnya, yakni Ny A yang meninggal 3 Mei lalu. Warga Pekanbaru yang meninggal di Medan itu baru dinyatakan positif menderita flu burung dua hari setelah korban meninggal.
Jika Ny A tidak punya riwayat kontak dengan unggas mati, Ny NS berhubungan dengan unggas yang mati. Di kawasan tempat tinggal Ny NS unggas dibiarkan berkeliaran, sementara sanitasi lingkungan kurang terjaga.
Melihat kasus Ny NS, Luhur mengkhawatirkan kasus kematian dalam keluarga seperti yang terjadi di Karo, Mei tahun lalu, terjadi lagi. Saat itu tujuh dari delapan anggota keluarga meninggal karena flu burung. Perilaku korban sama.
Korban makan ayam yang diduga mengidap H5N1 bersama keluarga. Dua korban flu burung sudah meninggal di Medan dan Pekanbaru akibat flu burung. “Petugas harus bekerja sama untuk mengatasi ini. Ini sudah gawat,” kata Prof dr Luhur Soeroso khawatir.
http://www.kompas.co.id/kompas-cetak/0705/15/UTAMA/3532416.htm