Serigala Berbulu Domba
Oleh Pdt. Em. HADA ANDRIATA
“Penguasaan mereka atas ayat-ayat dan kefasihan mereka menguraikannya memang menimbulkan kekaguman tersendiri bagi sejumlah orang. Tak heran, banyak orang yang tersugesti dan terjerat menjadi pengikut yang fanatik, tanpa disertai sikap kritis.“
“Waspadalah terhadap nabi-nabi palsu yang datang kepadamu dengan menyamar seperti domba, tetapi sesungguhnya mereka adalah serigala yang buas. Dari buahnyalah kamu akan mengenal mereka.” (Matius 7 : 15, 16 a)
BEBERAPA waktu terakhir ini, kita sering membaca dan mendengar berita, baik lewat media cetak maupun elektronik tentang praktik penipuan. Tidak tanggung-tanggung, para korbannya adalah tokoh-tokoh masyarakat, selebriti, pengusaha, juga para tokoh agama. Mereka diiming-imingi dengan pelbagai macam perkara yang menarik, entah hadiah rumah atau mobil, jabatan tinggi di sebuah departemen pemerintah, atau kaveling tanah yang luas, sehingga mereka bersedia mentransfer uang lewat ATM bank atau membayar secara tunai kepada para penipu tersebut.
Di kalangan warga masyarakat sederhana, penumpang yang naik bus umum diberi sekotak minuman yang mengandung obat tidur oleh seseorang berpenampilan ramah. Ternyata barang bawaan korbannya dicuri saat ia tertidur. Ada juga orang yang katanya sanggup menggandakan uang menjadi puluhan juta rupiah setelah disimpan beberapa hari, asal bersedia menyetor uangnya, ternyata uang setorannya ambles. Para gadis belia yang polos dijanjikan akan mendapat pekerjaan di luar daerah dengan gaji tinggi, padahal mereka akan dijual sebagai PSK (pekerja seks komersial).
Pada sisi lain, kita juga mendapat berita tentang pengusaha jual beli mobil yang lemari besinya dikuras oleh sahabat karibnya sendiri yang mantan dosen. Juga oknum polisi berpangkat cukup tinggi, yang harus mendekam di sel tahanan gara-gara terlibat kasus narkoba. Belum lagi para pejabat negara dari gubernur, bupati hingga camat, yang diseret ke meja hijau karena menggelapkan uang negara. Berikutnya, para wakil rakyat di daerah-daerah tertentu yaitu ketua, sekretaris, atau bendahara dewan, telah melakukan tindak korupsi dan diproses di pengadilan. Ada juga lurah yang tega mengangkangi berton-ton raskin (beras orang miskin), lalu dijual bebas untuk memperkaya dirinya.
Terhadap semua kasus tersebut di atas, kita boleh mengatakan, para pelaku adalah ibarat serigala berbulu domba yang merugikan pihak lain. Mereka yang seharusnya punya fungsi sebagai teman, pengayom/pelindung, atau pemberantas kejahatan, justru mereka sendirilah yang menjadi penjahatnya. Itulah bukti, bahwa kemerosotan moral telah melanda banyak orang di negeri kita, sehingga ada orang kendati berjabatan terhormat, tetapi melakukan tindakan yang tidak terhormat dengan merugikan pihak lain. Hal itu dapat terjadi karena orang mudah tertipu oleh penampilan keren, kelihaian berkata-kata dan sikap ramah mereka sehingga para korbannya terpengaruh dan menuruti saja apa yang menjadi kehendak mereka.
Semua penampilannya menjadi “pakaian” dan kedok yang menutupi niat sesungguhnya. Para korban penipuan yang telah begitu percaya akan menyerahkan uang, harta lainnya, juga dirinya kepada para penipu. Karenanya, mereka pun menjadi korban tipu muslihat yang merugikan, entah pribadi, keluarga, kelompok, maupun rakyat pada umumnya. Kenyataan itulah yang hendak diperlihatkan dalam gambaran serigala berbulu domba. Mmereka menyamar sebagai domba, padahal mereka adalah serigala yang buas. Pada dasarnya, domba adalah hewan yang tulus dan lemah, mudah sekali menjadi mangsa binatang buas, termasuk serigala. Sebaliknya, kita mengenal serigala sebagai hewan yang rakus, yang memangsa domba dengan mudah.
Tak hanya berupa materi para penipu dapat meraup keuntungan, di bidang keagamaan pun hal yang sama dapat terjadi. Ayat-ayat di atas hendak berbicara tentang para nabi pada zaman Tuhan Yesus. Sebenarnya jabatan nabi adalah jabatan yang terhormat. Para nabi adalah orang-orang yang diharapkan mengajarkan segala sesuatu yang baik bagi kehidupan umat manusia. Sayang, para nabi pada zaman Tuhan Yesus justru melakukan penipuan dengan pemberitaan mereka.
Bagi mereka, tindakan menipu bukan masalah, karena yang penting mereka dapat “menerkam” para korban dengan mudah, namun terhormat. Karena itu, Ia menyebut mereka sebagai nabi-nabi palsu dan memeringatkan, agar warga masyarakat pada zaman itu berhati-hati dan waspada. Penguasaan mereka atas ayat-ayat dan kefasihan mereka menguraikannya memang menimbulkan kekaguman tersendiri bagi sejumlah orang. Tak heran, banyak orang yang tersugesti dan terjerat menjadi pengikut yang fanatik, tanpa disertai sikap kritis.
Untuk kenyataan itu, Tuhan Yesus berpesan, supaya waspada. Kenalilah buahnya, agar orang mengenal pohonnya. Perhatikan kehidupan mereka, maka orang akan mengenal siapa mereka. Jika kehidupan mereka tidak sesuai dengan apa yang mereka beritakan, jelaslah bahwa mereka adalah nabi-nabi palsu belaka. Kita dapat memetik pelajaran dari pesan Tuhan Yesus itu sebagai berikut:
Pertama, kehidupan kita di dunia ini, di mana pun dan di lapangan apa pun kita berada, dikelilingi oleh banyak kepalsuan. Juga banyak serigala berbulu domba, entah sebagai kawan dekat, teman akrab, maupun mereka yang terpandang sekalipun.
Kedua, kita tak pernah mengetahui pasti, apakah mereka penolong, pelindung, atau justru orang-orang yang akan merugikan kita, baik harta kita, posisi kita, maupun nama baik kita. Mereka dapat saja tampil di hadapan kita dengan sikap dan ucapan yang simpatik, namun benar dan tuluskah mereka?
Ketiga, jika kita berhadapan dengan mereka bersikaplah waspada dengan mengenali buah-buah kehidupan mereka. Biasanya mereka yang telah lama bergaul dengan kita, tentu kita mengetahui riwayat hidup mereka. Juga relasi dan sepak terjangnya di tengah masyarakat dapat kita ketahui dari orang-orang lain. Silakan kita menilai, sejauh mana kita memercayai mereka.
Marilah kita semua, baik sendiri-sendiri, maupun bersama-sama mengupayakan kehidupan, bukan sebagai serigala-serigala yang hendak memangsa sesama kita, sebaliknya lakukanlah langkah-langkah yang benar dan terpuji. Hiduplah dalam kebenaran, bekerjalah dengan jujur, bergaullah dengan tulus hati, jauhilah sikap yang menipu dan merugikan orang lain. Kita hidup bersama dengan orang-orang lain dalam suasana senasib dan sepenanggungan, tolonglah orang yang hidupnya susah, agar ada suasana hidup yang akrab dan tidak disesali oleh orang lain. Amin.***
Penulis, pendeta emeritus Gereja Kristen Pasundan Jemaat Awiligar Bandung.
Sumber: Pikiran Rakyat, 12 Mei 2007
May 13th, 2007 at 3:54 PM
Tulisan ini sangat aktual. Dan, sangat relevan untuk bangsa kita, yang notabene “juara” kedua terkorup di Asia setelah Filipina. Ironinya, Filipina adalah mayoritas Kristen (Katolik) dan Indonesia mayoritas Islam. Jadi, di Asia ini: Kristen juara pertama sedangkan Islam juara kedua! (ini bukan seruan provokatif tetapi memang kenyataannya demikian).
Tulisan ini saya juga baca di Harian “Pikiran Rakyat” yang berbasis di Bandung, Jawa Barat. Jadi, tentu banyak yang membacanya. Semoga para pembaca tersentuh hatinya dan selalu menjauhi budaya manipulasi apalagi berwajah nabi demi mengerok harta orang lain, harta orang miskin. Semoga!
Postinus Gulo (Bandung)
May 13th, 2007 at 4:07 PM
Kata-kata Niccolò di Bernardo dei Machiavelli (1469-1527) ini mungkin terasa konyol tetapi jika direfleksikan di sana ada sejuta makna yang mengetok hati kita: penipuan terjadi di mana-mana karena ada orang yang mau ditipu, mudah tergiur oleh tawaran yang “wah”. Jadi, saudara-saudara jangan mau ditipu agar penipu tidak semakin leluasa. Terima kasih.