Irasional: Dentuman Kesalahkaprahan

Monday, April 30, 2007
By nias

*Tanggapan atas Tulisan Pak E. Halawa: “Irasionalitas yang Selalu Mengikuti Gerak Kita”

Oleh: Ollyanus Yarman Zb

Pengantar
Saya merasa begitu senang saat Pak E. Halawa menguraikan lebih banyak lagi tentang irasionalitas dalam tulisan terakhirnya ”Irasionalitas yang selalu mengikuti gerak kita”. Tulisan saya berikut ini juga merupakan sejumlah keraguan atas banyak hal tentang irasionalitas terlebih merujuk pada jawaban Pak E. Halawa atas tulisan saya ”Ir[r] sionalitas dan Kemampuan Berpikir”. Sekaligus mencoba menjelaskan irasionalitas dengan pemahaman-pemahaman yang baru.

Tulisan ini pertama-tama bukan untuk menyudutkan atau menyalahkan siapapun namun untuk memahami lebih baik lagi kebenaran tentang irasionalitas. Dengan melandaskan pada pertanyaan, ”betulkah semuanya itu dapat kita rangkum [masukkan] dalam kata ”irasionalitas?”

Irasionalitas dalam Irasionalitas yang Selalu Mengikuti Gerak Kita

  1. Tulisan Ini mengangkat difinisi irasionalitas berdasarkan www.http://dictionary.reference.com dan juga dari The Cambridge Dictionary of Philosiphy – CDP yang bisa dibaca kembali dalam artikel Pak E. Halawa.
  2. Irasionalitas berkaitan dengan kealpaan penalaran yang sehat atau ketidakmampuan atau ketidakmauan menggunakan nalar dalam berpikir, bertindak, bersikap, memandang, dst.
  3. Iroasionalitas Bung Ollyanus terletak pada ”keinginan untuk segera menggempur, keinginan untuk segera masuk dalam ”medan perang”… kelengahan semacam ini termasuk irasionalitas. Dalam pragraf sebelumnya tertulis saya mensinyalir kata ”terburu-buru” pun masuk dalam nominasi irasionalitas.
  4. Irasionalitas terjadi saat seseorang ”gagal” berusaha secara maksimal untuk mencapai tujuannya.
  5. Irasionalitas: tak mau berpikir lagi secara logis dan bertanya:”bukankah uang nilam ini pada akhirnya habis juga?” Kalau saja yang bersangkutan mau atau mampu berpikir secara jernih….”
  6. Irasionalitas: saat kehilangan keseimbangan kesadaran, dan tidak lagi berpikir secara logis… keputusan yang ”dimasukkan: ke dalam pikirannya oleh si pembujuk.
  7. Bung Ollyanus terjebak dalam irasionalitas yang disebut di depan karena merasa ada peluang [berupa ajakan] dan tantangan.
  8. Orang yang memiliki kadar irasionalitas yang tinggi mudah tunduk pada persuasi dan provokasi.
  9. Irasionalitas [nyata] terjadi saat dalam kenyataannya ”bualan” salesman tadi tidak menjadi kenyataan: si pembeli HP tetap saja kuper….
  10. Irasionalitas terjadi saat siapapun tidak ”menyaring” informasi [read between the lines]. Orang yang irasional terpesona dengan bualan salesman tentang enaknya memiliki HP.

Pemahaman tentang irasionalitas dalam tulisan ini [tulisan Pak E. Halawa] dengan beberapa poin yang sudah saya tulis di atas sepertinya telah memberi gambaran yang jelas bahwa semua itu irasional. Namun, rasanya ada sesuatu yang seakan-akan termanipulasi dan menjadi irasional. Secara singkat semua poin terjadinya irasionalitas didasarkan pada [setidak-tidaknya]:

  1. Pertimbangan nalar yang kurang, tidak matang dan tidak jernih.
  2. Terburu-buru [disinyalir tanpa kemampuan bernalar] tidak ada maksimalisasi kemampuan
  3. Unsur eksternal yang dimasukkan

Kerangka Pemahaman Irasionalitas
1. Cara berpikir.
a. Tatkala seseorang menggunakan sebuah frame untuk melihat sesuatu yang terjadi pastinya sebuah pemilahan yang jelas antara A dan yang bukan A. Memang, kita tidak akan pernah bisa membuat sesuatu tanpa sebuah frame. Tetapi sebaiknya kita menyadari bahwa frame ini, cara pandang ini, kerap menutup segala kemungkinan yang ada. Bahkan dalam menanggapi sesuatu kita mempunyai kecenderungan masuk dalam frame ini. Misalkan saja secara sederhana, tulisan “Irasinalitas yang selalu mengikuti gerak kita” didasarkan pada frame “kamus dan kata kamus”. Sehingga secara tidak sadar [mungkin ini yang dimaksud irasional berdasarkan tulisan itu] penulis terperangkap, dipengaruhi oleh kata kamus. Bukankah ada yang hilang di sana? kemampuan secara maksimal […knowingly fail to do your best…] untuk berpikir sesuatu selain definisi kamus. Lihat, kita menyerahkan semuanya pada kata kamus dan seluruhnya dijabarkan berdasarkan pada definisi kamus. Adakah sesuatu yang kita dapatkan selain itu? Saya bukan berkata bahwa kata kamus ini salah. Tapi pada cara kita berpikir untuk melahirkan sesuatu yang baru.

b. Dalam cara berpikir selalu saya akan membedakan ada dua kerangka berpikir yang berbeda. Pertama, orang yang mengatakan sesuatu sebagai irasional. Orang ini pastinya masuk dalam kerangka berpikir yang lain dari orang yang dianggapnya bertindak irasional. Ia beranggapan bahwa ia sudah mengetahui semuanya dan akhirnya membedakan tindakan dan sikap sebagai irasional. Yang pada awal dari semua itu, ia telah masuk dalam frame yang ia percayai, ntah itu benar ntah salah, sehingga ia mampu menguraikan semua itu. Dalam contoh salesman dan konsumen, kitalah yang mengatakan tindakan yang terjadi di sana, sebagai irasional. Jadi, orang yang pertama ini telah memakai kacamatanya sendiri [berdasarkan pengetahuannya] untuk mengatakan sesuatu sebagai irasional. Kedua, orang yang melakukan aksi itu sendiri – dalam hal ini kita sebut salesman dan pembeli. Saya meragukan dan mempertanyakan, benarkah pada saat mereka melakukan “aksi” mereka masing-masing masuk dalam kategori irasional? Saya berpendapat, dalam konteks mereka pada saat itu tidak ada tindakan, sikap, berpikir, memandang yang layak disebut irasional. Mengapa? Karena mereka menggunakan daya nalar mereka untuk melakukan sesuatu. Dan di saat itu, istilah ketidakmampuan atau ketidakmauan bersikap dan bertindak dengan nalar, sama sekali tidak ada dalam konteks mereka. Pada akhirnya, yang menyimpulkan bahwa tindakan mereka masuk dalam irasionalitas,sekali lagi, adalah orang yang pertama. Mengapa? Karena ia telah memiliki frame tentang irasionalitas. Tetapi, lagi-lagi, irasionalitas itu sendiri tidak ada dalam kejadian [konteks] orang di pihak kedua [pada saat itu]. Bayangkanlah kita sebagai orang dalam konteks kedua. Pernahkah kita akan berkata bahwa apa yang kita lakukan masuk dalam irasionalitas. Atau jangan-jangan, kita tidak pernah mengenal kata itu?

irasional

Lihatlah, di sini terjadi sebuah proses ketertutupan pada cara berpikir kita sendiri. Mendasarkan semuanya pada pengetahuan yang kita miliki, apalagi jika berdasarkan kamus. Padahal ada banyak kemungkinan yang [mungkin] menyatakan bahwa sesuatu itu tidak ada [dalam konteks mereka].

2. Distansi
a. Distansi merupakan sebuah jarak [interval] dua hal, subyek-obyek, atau lebih. Dalam pemahaman yang lebih jauh lagi, distansi kerap masuk dalam sebuah penyimpulan. Misalkan dalam konteks salesman dan pembeli, yang menyatakan bahwa di sana [mungkin] ada irasionalitas adalah orang yang mengamati kejadian itu. Jadi, lihatlah terdapat jarak [minimal atau maksimal] dari konteks kedua dan pengamat. Saat terjadi jarak yang seperti ini, ada kemungkinan kesalahkaprahan kita tentang sesuatu. Husserl – seorang fenomenologi – pernah menuliskan ”saat kita melihat rumput dan mengatakan bahwa warnanya hijau, sebenarnya apa yang kita katakan itu tidak sama persis dengan aslinya”. Ada sesuatu yang tidak sama. Alasannya adalah kita sendiri telah mempunyai pengetahuan tentang hijau, atau sesuatu yang lain itu.

b. Dalam tulisan ”Irasional yang selalu mengikuti gerak kita”, tertulis bahwa irasional adalah kata sifat, bukan sesuatu melainkan sifat dari sesuatu. Di sini pun terjadi distansi itu. Benar, bahwa semua itu kata kamus, irasional adalah adjective. Sepertinya penulis menyerah hanya sampai pada titik itu. Lihat, yang terjadi mungkin distansi yang sangat minimal sehingga kita tidak berpikir sesuatu yang lain lagi selain kata kamus. Hal ini terjadi dalam wilayah yang sangat umum karena dianggap irasional telah bersatu erat dengan keseharian manusia atau bahkan telah menjadi sifat dari manusia. Maka, irasional menjadi sifat memang. Bandingkan dengan pengertian ini, irasional berarti ”sesuatu” yang tidak diketahui karena kegelapan sesuatu yang tidak dapat dimasuki akalbudi….” [Loren bagus, Kamus Filsafat, Gramedia Pustaka Utama, jakarta, 1996, hlm 370]. Saya sengaja memberi tanda kutip pada ”sesuatu” untuk menyatakan irasional bukan hanya kata sifat tapi juga merupakan sesuatu dari sesuatu. Dalam tulisan Pak E.Halawa tertulis, ”orang yang irasional mengambil keputusan juga, tetapi bukan keputusan yang rasional, melainkan keputusan yang DIMASUKKAN ke dalam pikirannya oleh si pembujuk. Saya sengaja menuliskannya dengan huruf kapital untuk membandingkannya dengan tulisan yang saya garis bawahi di atas.

c. Dalam tulisan Pak E. Halawa ada sebuah pertanyaan yang ia lontarkan kepada saya : ”Bagaimana mungkin anda memikirkan sesuatu tetapi pada saat yang sama sesuatu itu tidak terpikirkan?” Pernahkah anda melihat seseorang yang sepertinya pernah anda temui sebelumnya? Tapi pada saat itu anda tidak bisa mengingat lagi, kapan, di mana itu terjadi? Jika anda pernah mengalami hal ini atau ada orang lain yang mengalami hal ini, itulah jawabannya.

Saya begitu terkejut sekali, saat penulis ”Irasionalitas yang selalu mengikuti gerak kita”, langsung mengaitkan irasionalitas dengan kesadaran. Pada hal ini adalah dua hal yang sangat berbeda.

  1. Kesadaran merupakan kompleksitas [keutuhan] manusia. Namun, kesadaran bukanlah sebuah keadaan. Saya mensinyalir kesadaran diartikan penulis sebagai sebuah keadaan yang selalu digempur oleh irasionalitas. Padahal kesadaran adalah sebuah fungsi yang menangkap keadaan-keadaan yang ada di sekitarnya atau yang mendahuluinya. Dan kalaupun kesadaran dihubungkan dengan irasionalitas, menurut saya, irasionalitas hanyalah salah satu bagian terkecil dari kesadaran. Yang menangkap sesuatu yang pada saat itu mungkin tidak disadari oleh orang lain. Tetapi kita mengatakannya irasional. Saya mengambil contoh tentang teori heliosentris yang dicuatkan oleh Galileo Galilei dari pendahulunya Copernicus. Sebelumnya semua percaya pada geosentris. Dan ketika muncul teori heliosentris banyak orang berkata [mungkin] ”irasional”, gila, tidak mungkin. Maka, GalileoGalilei akhirnya dihukum. Maka, dalam hal ini, irasional bukanlah yang dimasukkan tapi yang dimasuki oleh Galilei.
  2. Saya mempunyai kesan bahwa sikap buru-buru, bahkan juga bualan yang tidak menjadi kenyataan, masuk dalam irasionalitas. Tentunya, mungkin penulis mengaitkannya dengan kesadaran juga [menurut saya]. Saya akhirnya mendapat kesan bahwa irasionalitas – bahkan dalam tulisan Pak E.Halawa – dianggap sebagai ”proses” negatif dalam hidup manusia. Sehingga, ia menuliskan ”menyadari keberadaan kondisi-kondisi itu sangat menolong kita untuk menekan gempuran irasionalitas”. Saya menyebutnya sebagai proses karena pastinya tidak langsung ada begitu saja. Kelihatannya, ini adalah pemahaman dan fungsi kesadaran yang ditempatkan di posisi yang salah. Kesadaran itu tidak pernah menekan, tetapi ada untuk memahami setiap keadaan, agar orang mengetahui ini yang sedang terjadi. Irasionalitas tidak selamanya bernilai negatif dan harus ditekan. Irasionalitas pun bukan hanya dalam konteks ketidakmampuan atau ketidakmauan bertindak, bersikap dengan nalar. Tetapi juga merupakan loncatan-loncatan, pemikiran-pemikiran, yang ”dahsyat” yang tidak dimengerti orang. Karena orang-orang yang biasa itu pastinya akan berkata irasional, karena mereka memang tidak memikirkan apa yang dipikirkan oleh orang lain. Dan jangan-jangan, saat kita mengatakan sesuatu itu irasional, mungkin kita sendiri yang tidak mampu berpikir sejauh yang orang lain mampu.

Penutup
Irasionalitas bukan hanya kelemahan namun juga kekuatan yang seharusnya kita pahami lagi. Dalam untaian tulisan di atas saya hendak melihatnya dalam konteks dialogal, mengangkat setiap kemungkinan yang bisa terjadi dan bukan hanya berdasarkan kata kamus. Sekali lagi, bukan berarti kata kamus itu salah, hanya menurut saya kamus selalu berada pada wilayah umum. Selain itu jangan pula lupa bahwa apa yang dibukukan hanya pernyataan bahwa sesuatu dipahami pada saat itu dan ada kemungkinan akan berkembang. Kemungkinan inilah yang hendak saya usung. Karena kerap, apalagi dalam dunia sains yang terjadi adalah menilik suatu hal dari satu bidang ilmu saja, yangboleh saya sebut sebagai monolog observation. Mungkin segalanya benar, tetapi itu tidak mutlak.

Note:
Terimakasih kepada Pak E. Halawa yang telah membantu saya memahami lebih baik lagi. Memberi kritik yang membangun bahkan secara tidak langsung mengajari saya bagaimana menggali,mengerti, memperbaiki sesuatu.

Tags:

34 Responses to “Irasional: Dentuman Kesalahkaprahan”

Pages: « 1 2 3 [4] Show All

  1. 31
    ZAI Says:

    Bwt Erlinda H (#30): Dengan membaca komentarmu di atas, saya turut tersenyum juga. Usulku, bila Erlinda (juga saya) mau tau “aslinya hijau”, lebih baik ke lapangan hijau saja. Di sana kita bisa langsung melihat/mengamati “hijau” yang dimaksud, daripada mengikuti uraian diskusi yang sudah ada di sini. Di sini “hijau” menjadi oksigen, seksualitas Freud, Helium, dsb.

  2. 32
    Dnar Says:

    Gak usah jauh-jauh pergi ke “lapangan hijau”, Bang Frans Zai… Dengan mengajak maen pingpong itu, sebenarnya Erlinda udah menarik perhatian Bang Signor dan Bang Jenglot [dan kita juga] menemukan “hijau” koq.

    Meja pingpong itu kan warnanya hijau, gak ada yang putih atau merah. Entah “hijau”-nya asli apa palsu, warna meja pingpong itu sama saja tetap hijau… [hehehee].

    Salam kenal beta juga nih, buat Erlinda dan Frans…

    Salam dari Manado,
    Dinar Turangan

  3. 33
    Deivine Signor Says:

    Menarik dan sangat menarik tulisan yang baru diangkat oleh Pak MJ. Daeli “Dilema Usaha Manusia rasional”. Husserl sebagaimana telah kita bahas dari awal menyasar hijau itu pada dirinya sendiri [inheren] . Sedari awal kalau tidak nyasar kemana-mana, hal ini sudah bisa kita tangkap. Yang hendak kita sadari adalah “hati-hati jangan sampai kita terlalu terbelenggu dan nyinyir oleh views kita sendiri”. Karena bagaimanapun semua hal, layaknya hijau, yang aslinya hanya ada dalam dirinya sendiri. Yang dapat kita ketahui hanyalah sebagian dari sesuatu itu. Seperti saat anda berkata hijau dari sesuatu yang hijau, yang anda kattakan itu hanyalah bagian dari yang hijau itu. Bukan seluruhnya. Sehingga yang asli itu tetap terletak di sana, di dalam sesuatu itu.

  4. 34
    Erlinda H Says:

    Makasih atas respon Bang Zai (#31) dan Kak Dinar (#32). Semoga senyum kita membawa “bahagia”. Meski, aku tahu, apa yang kita katakan [tentang bahagia] itu tidak sama persis dengan aslinya… Nahh lho, “bahagia” yang asli ada di mana? (hehehe). 🙂

    Ikut Husserl kayaknya membatasi argumentasi kita deh… Tanya kenapa? Karena, dari mana argumentasi itu kita deduksikan? Walhasil kita hanya bisa membuat pernyataan sesuai dengan intuisi masing-masing. Nahh… dalam pernyataan-pernyataan ini lah kita harus jeli. Kata guruku, harus dibedakan antara pernyataan yang bersifat deklaratif, normatif, dan optatif. Jangan dicampur-aduk kayak gado-gado Jakarta ajah (hehehe).

    Salam hangat buat semuanya. Ya’ahowu! 🙂

Pages: « 1 2 3 [4] Show All

Leave a Reply

Comment spam protected by SpamBam

Kalender Berita

April 2007
M T W T F S S
 1
2345678
9101112131415
16171819202122
23242526272829
30