Membangun Kesejatian Hidup
Oleh Pastor Paulus Tri Prasetijo, pr
Dengan demikian semua orang akan tahu bahwa kamu adalah murid-murid-Ku, yaitu jikalau kamu saling mengasihi. (Yohanes 13 : 35)
PADA tanggal 21 Februari 2007 yang lalu, yaitu Hari Rabu Abu, dimulailah masa pertobatan bagi umat Gereja Katolik sebelum merayakan Paskah. Seluruh umat dan para imam menerima guratan abu yang membentuk tanda salib di dahi masing-masing, disertai perkataan: “Bertobatlah dan percayalah kepada Injil”. Abu dari daun palem kering yang sudah dibakar itu hendak mengingatkan bahwa manusia berasal dari tanah dan akan kembali menjadi tanah. Adapun yang abadi adalah roh yang dapat menghidupkan jasad, yang berasal dari tanah itu. Ke mana perginya roh sesudah kematian? Ke surga atau ke neraka, amat ditentukan oleh kualitas kehidupan kita masing-masing di dunia ini.
Sudah sejak tahun 1970 pertobatan itu digiatkan tak hanya sebagai tindakan pribadi dan ritual, tetapi dikembangkan menjadi kegiatan yang berdampak sosial dalam lingkungan yang lebih luas. Maka disusunlah program yang bertajuk Aksi Puasa Pembangunan (APP) oleh Komisi Pengembangan Sosial Ekonomi (KPSE) Konferensi Waligereja Indonesia (KWI). Dalam lima tahunan program itu digunakan tema umum, sedang pada setiap tahunnya digunakan tema yang berbeda.
Tema umum tahun 2007 – 2011 adalah `Pemberdayaan Kesejatian Hidup’ yang dijabarkan dengan tema-tema tahunan : `Pemberdayaan Kesejatian Hidup dalam Hubungan Sosial'(2007); `Kesejatian Hidup dalam Pemberdayaan Lingkungan'(2008); `Kesejatian Hidup dalam Hubungan antar Umat Beriman’ (2009); `Kesejatian Hidup dalam Keluarga’ (2010) dan `Kesejatian Hidup dalam Perwujudan Diri’ (2011).
Apa yang dimaksudkan dengan `Pemberdayaan Kesejatian Hidup’? Kesejatian hidup adalah hidup yang sejahtera, bukan saja dalam arti material, melainkan juga dalam arti mampu mengungkapkan dirinya sebagai citra Allah dalam membangun relasi dengan Allah, sesama manusia, ciptaan lain dan seluruh alam semesta. Hidup yang semacam itulah yang hendak dicapai dan pada masa kini masih diperjuangkan dengan susah payah, mengingat masih banyak warga masyarakat yang hidup di bawah garis kemiskinan. Juga masih banyak orang yang terhalang untuk menyejahterakan hidup mereka. Itulah makna pemberdayaan.
Medan pemberdayaan yang dipergumulkan pada tahun ini, adalah hubungan sosial atau relasi antar warga masyarakat. Mengingat ada beberapa tempat di Indonesia yang masih dilanda konflik antarkelompok, kejahatan menghilangkan nyawa orang makin menjadi-jadi, perilaku orang berkendaraan di jalan raya lebih menonjolkan egoisme mereka dengan semboyan `aku duluan dan orang lain minggir’, dan lain-lain, mendorong usaha ke arah perbaikan perilaku tersebut.
Sementara, Alkitab memuat banyak ajaran mengenai relasi sosial, sebagaimana dianjurkan oleh Tuhan Yesus bahwa perintah baru diberikan-Nya, agar warga Kristiani saling mengasihi, seperti Dia mengasihi para murid. Dengan demikian, semua orang akan tahu bahwa mereka adalah para murid-Nya. Juga Tuhan Yesus lebih mendahulukan berdamai dengan sesama ketimbang mempersembahkan kurban. Berikutnya, berkaitan dengan kelemahan manusia, tak terhindarkan sering terjadi tindakan kita menyakiti hati sesama, sehingga perlu ada roh pengampunan. Dengan mencontoh kepada kemurahan hati Allah, kita diminta untuk juga dapat mengampuni sesama yang bersalah kepada kita.
Agar kita dapat menjalin relasi sosial yang harmonis, dibutuhkan individu-individu yang matang secara psikologis. Orang perlu mengenal dirinya masing-masing dengan baik dan sadar bahwa ia mempunyai kemampuan, sekaligus juga kelemahan. Kelemahan yang tak teratasi diakui sebagai sarana untuk bersikap rendah hati. Sedang segenap kemampuan yang dimiliki dikerahkan untuk kesejahteraan hidup pribadi, keluarga, maupun sesamanya. Kematangan itu juga ditunjukkan dalam pandangan bahwa orang lain adalah sesamanya yang patut memperoleh hidup yang layak, sebagaimana dibutuhkan oleh manusia pada umumnya.
Pada hakikatnya tak ada orang yang dapat hidup sendirian tanpa orang lain. Kita berhubungan satu sama lain dimulai dari tengah keluarga, dengan para sahabat, juga dengan rekan kerja, bahkan dengan orang-orang yang sepintas lalu saja. Karenanya, kesejahteraan pun tak dapat kita capai sendirian tanpa keikut-sertaan orang lain, sehingga kita perlu bekerja sama dengan orang-orang lain dalam banyak perkara. Kerja sama itu dapat kita jalin, jika kita dasari dengan komunikasi timbal balik. Lewat dialog yang di dalamnya setiap orang mempunyai hak untuk berbicara dan didengar, juga kewajiban untuk memberi kesempatan kepada orang lain dalam mengungkapkan isi hatinya, kita dapat saling berkomunikasi. Dialog memungkinkan kita semua dapat mengusahakan kesejahteraan bersama.
Maka usaha itu harus diwujudkan dalam tindakan konkret yang dilakukan bersama-sama dan bukan sebatas kata-kata saja. Dengan kemampuan masing-masing yang sekali pun berbeda, namun dapat terlibat aktif dalam usaha bersama, berapa pun besarnya keterlibatan itu merupakan sumbangan yang pasti mempunyai arti.
Kiranya wajar jika kita memberikan perhatian yang lebih besar kepada warga masyarakat yang sudah lanjut usia dan hidup di bawah kelayakan selaku orang yang telah uzur. Juga kepada warga masyarakat yang sakit dan tak mampu menolong dirinya sendiri, dan kepada mereka yang terpuruk karena situasi ekonomi keluarga yang amat minim. Selanjutnya kepada mereka yang menjadi korban bencana alam di pelbagai macam tempat. Mereka semua perlu mendapat prioritas perhatian kita, agar mereka dapat merasakan kehadiran saudara-saudaranya sebangsa dan setanah air.
Semoga seluruh umat Kristiani bersedia membagikan kasih kepada sesama yang menderita, karena dengan demikian kita dikenal sebagai para murid Kristus. Kiranya pertobatan kita meruntuhkan benteng pementingan diri, yang selama ini membuat jarak antara kita dengan warga masyarakat pada umumnya. Amin. ***
Penulis, pastor Gereja Katolik, tinggal di Bandung.
Sumber: Pikiran Rakyat, 10 Maret 2007