Mari Memahami Hoho “Fomböi Tanö Awö Mbanuaâ€
Catatan Penulis: Dalam tulisan ini diberikan suatu pemahaman bait demi bait Hoho “Fomböi Tanö Awö Mbanua†dari halaman 18 – 24 buku “Fondrakö Ono Niha – Agama Purba – Hukum Adat Mitologi – Hikayat Masyarakat Nias†karangan S.W. Mendröfa (A. Rozaman). Penulis menggunakan sebagian terjemahan S.W. Mendröfa dalam teks hoho. Pembaca disarankan membaca teks lengkap hoho tersebut yang ditayangkan dalam Situs ini.
Pengantar:
Dalam Hoho ini, ada 10 dunia yang diciptakan: 9 dunia atas plus dunia (bumi) kita ini. Dunia pertama adalah dunia teratas (tanö fondrege yawa) yang disebut juga dunia lapis ke sembilan; dunia ke dua berada di bawah dunia teratas (fanete danö yawa) dan disebut dunia lapis ke delapan. Demikian seterusnya hingga dunia ke sembilan atau dunia lapis pertama, yang disebut Teteholi Ana’a. Jadi, Teteholi Ana’a disebut dunia lapisan pertama di atas kita (da’ö danö sagötö yawada).
Bagian I:
“Dewa†yang berperan dalam hoho penciptaan ini adalah Sihai Uwu Nangi, Sihai Uwu Mbara (Sihai Sumber Angin, Sihai Sumber Taufan). Sihai melaga angin, melaga bayu. Angin inilah bahan yang digunakan Sihai untuk menciptakan “yang sembilan jenis, yang sembilan ragam†– (segala ciptaan ?)
Da’ö mböröta zi siwa ngawalö
Da’ö mböröta zi siwa göla
Ditekankan di sini: Sihai-lah yang melaga bayu itu. Lalu bayu itu berlaga, berlaga bagai rusa, beradu bagai babi hutan. (Ini barangkali yang ditafsirkan P. Johannes sebagai lambang persetubuhan – me fagia nangi – me fawude nangi, baca hal. 108 buku “Asal Usul … “. Kata-kata yang sama juga muncul dalam Hoho “Fomböi Böröta Niha” hal. 35 – 39 buku “Fondrakö …”).
Bagian II: Sitahu, belahan diri Sihai, diciptakan
Bayu yang beradu berlaga itu menghasilkan “ampas punggung angin†(da’i hulu nangi) yang berinti. Sihai menciptakan belahan dirinya, Sitahu, dari ampas punggung angin yang berinti itu. Sitahu inilah perpanjangan tangan Sihai dan pelaksana kehendaknya dalam proses penciptaan. Kalau sebelumnya (lihat Bagian I) Sihai berbicara kepada dirinya sendiri, kini dia berbicara kepada Sitahu, belahan dirinya.
Sihai memerintahkan Sitahu: “Ambil ampas punggung bayu, ambil inti ampas taufan. Peras-peras (pulas-pulas) di ujung jari, bolak-balik di telapak tangan.â€
Hasil “kerajinan tangan†Sitahu ini merupakan bahan asal mula bumi, asal mula dunia.
II-a: Penciptaan Dunia Pertama (Paling Atas)
Sitahu mengambil sebagian dari ampas punggung angin yang telah terbentuk tadi untuk menciptakan dunia paling atas: dunia yang tak pernah teramati, dunia yang tak pernah kita lihat, dunia yang bagai permata akik, bagai kristal gemerlap. Inilah dunia di mana matahari dan bulan tidak terbenam. Inilah “bumi nan tiada bergantung, bumi nan tak bertopang”. Inilah dunia yang dibuai-buai bayu, dunia yang dibuai-buai taufan. (Catatan: Hammerle menafsikan penggalan kalimat dalam tanda kutip di atas sebagai “tubuh wanita berbadan dua” [“Asal Usul …” hal. 108].
II-b – II-h: Penciptaan Dunia Kedua – Dunia Ke Delapan
Proses penciptaan dunia kedua (dunia lapis kedelapan) hingga dunia ke delapan (dunia lapis ke dua) hampir sama. Untuk menciptakan dunia kedua, Sitahu mengambil bahannya dari dunia paling atas. Untuk menciptakan dunia ketiga, Sitahu mengambil bahannya dari dunia kedua. Demikian seterusnya hingga dunia ke delapan.
Yang berbeda dalam proses ini adalah: kuantitas bahan yang digunakan Sitahu untuk menciptakan setiap lapisan itu. Misalnya untuk menciptakan dunia kedua, Sitahu mengambil bahan dari dunia pertama (teratas) sebesar biji sawi, sebesar biji bayam. Untuk dunia kedua, bahan yang digunakannya adalah sebungkal; untuk dunia ketiga: dua bungkal, untuk dunia ke empat: sepau, dst.
Perbedaan lain adalah: tingkat perkembangan atau ukuran bibit-bibit lapisan tanah itu sesudah keluar dari tangan Sitahu.
II-i: Penciptaan Dunia Ke Sembilan
Uraian tentang penciptaan dunia ke sembilan ini sengaja diberi perhatian khusus, karena Hammerle memberikan penafsiran khusus terhadapnya. Proses penciptaan dunia ke sembilan pada dasarnya sama dengan proses penciptaan dunia sebelumnya: “ifagaölögaölö bauwu duru, ibalibaliö ba lalu’aâ€. Bahannya: lima fondruyu, lima fanimba (lima pau di timbangan).
Dunia ke sembilan itu berkembang:
Dörö tobali me to’ese – tanah itu mengganda berkembang
Dörö itugu ebua – tanah itu membesar
Tola tumaro ngafulu fosali – bisa jadi tapak puluhan balai
Monaha ösa mbolo mbenua – sebagian bisa jadi tapak perladangan
Dunia ke sembilan ini adalah dunia yang langsung berada di atas kita. Dunia inilah yang disebut Teteholi Balaki, Teteholi Ana’a. Bori Balaki (Bori Ana’a) termasuk dalam dunia ke sembilan itu (Teteholi Ana’a). Bori Balaki, Bori Ana’a itu seasal dengan tanah di daerah Hili Maruge dan daerah Hilidora’a.
Da’ö ia Deteholi Balaki
Ya’ia Deteholi Ana’a
Farahu ba da’ö Mbori Balaki
Farahu Mbori Ana’a
Föfö danö ba Hili Maruge
Föfö danö Hilidora’a.
Tidak ada penjelasan lebih lanjut dalam Hoho ini tentang Bori Balaki, Hili Maruge dan Hilidora’a.
Teteholi Ana’a mempunyai sebuah sungai: Zea, yang merupakan pertemuan 9 sungai kecil, dan yang memiliki 9 cabang. Sungai Zea inilah yang suka menggemuruh, yang suka membahana.
Idanönia Zea siwa fabörö
Idanönia Zea siwa faekha
Da’ö ia Zea sigetegete
Idanö Zea sirararara.
Sekitar dua minggu yang lalu, penulis berbicara dengan seorang Ibu yang kini tinggal di Bandung. Saya tanya: “Apakah Ibu pernah mendengar tentang Sungai Zea ?†Ibu itu mengatakan: sungai Zea itu sungai yang berada di langit.
“Siyawa ba mbanua so nidanö Zea. Me föna, asese lawa’öwa’ö: Mu’ugu-ugu molö Zea. Na mu’ugu molö Zea ba molökhö.†(Sungai Zea ada di langit. Dahulu orang sering bilang: banjir Sungai Zea bergemuruh; itu tandanya akan musim kemarau).
Dari cerita ibu tersebut dapat kita simpulkan bahwa konsep “dunia atas†yang hanya kita dengar dalam hoho atau mite itu ternyata juga terdapat dalam keseharian orang-orang Nias zaman dulu. Bisa juga kita balik, pengalaman harian orang Nias itu (seperti gemuruh langit yang menjadi pertanda musim kemarau itu) diangkat dalam hoho dan mite. Dengan demikian sungai Zea yang disebut dalam “Hoho Fomböi Tanö Awö Mbanua†ini sungguh-sungguh berhubungan dengan konsep orang Nias zaman dahulu tentang keberadaan dunia atas itu. (Catatan: ada juga sungai Zea di P. Nias, lihat “Asal Usul …” hal. 11).
Bunyi gemuruh yang berasal dari langit itu diyakini sebagai gemuruh sungai yang berada di langit (dunia atas): sungai Zea. Penjelasan para ahli cuaca kiranya dapat membantu menjelaskan bunyi gemuruh apa yang berasal dari langit yang menandai datangnya musim kemarau.
Dari membaca teks hoho dan penjelasannya di atas, terlalu sulit bagi kita mengaitkannya dengan “kesakitan wanita yang mengawali kelahiran†sebagaimana diuraikan Hammerle dalam buku “Asal Usul …†hal. 108.
II-j: Ba Mifurinia Me So Niha …
Judul bagian ini sengaja diambil langsung dari kalimat baris pertama bait (j) dari Hoho “Fomböi Tanö Awö Mbanuaâ€. Alasannya, kalimat inilah yang digunakan Hammerle untuk memperkuat tafisrannya akan makna Teteholi Ana’a sebagai “rahimâ€. Ada dua kekeliruan fatal Hammerle dalam hal ini.
Pertama, Hammerle lupa atau khilaf, bahwa kalimat di atas merupakan kalimat pembuka dari bait (j) dari teks hoho itu, dan bukan kelanjutan langsung dari bait sebelumnya. (lihat juga komentar Toni Hia tgl 1 Februari 2007 atas artikel: “Pengertian “nidadaâ€, “nifailo†dalam Buku Asal-usul Masyarakat Nias – Suatu Interrpetasi”
(j)
Ba mifurinia me so niha
me no mo’ösi danö ölia
Me niha oi manaro’o
niha no oi mowanua
…….. dst (lihat di bawah)
Dengan kata lain, kalimat “Ba mifurinia me so niha ..” sebagai kalimat pembuka bait hoho itu tidak bisa dikaitkan langsung dengan kalimat terakhir dari bait (i) sebelumnya. Untuk memahami bait ini, kita perlu juga membaca teks hoho “Fomböi Böröta Nia” dalam buku Fondrakö … hal. 35 – 39. Bait (j) ini sama sekali tidak menceritakan penciptaan manusia, melainkan ia menceritakan penciptaan bumi ke sepuluh, bumi yang kita diami ini. Lihat lanjutan teks bait (j) di bawah:
dörö yawa Sirao Uwu Zihönö
dörö yawa Sirao Uwu Zoya
ba ihalö danö Deteholi Balaki
ba ihalö danö Deteholi Ana’a
me ihalö ezai gokhö Zila’o
me ihalö sambua mbayambaya
da’ö i’ohe khö zamago tanö
ibe khö Zila’o Sila’uma
Da’ö ia danöda si sagörö
tanöda sowanua niha soya
Tanöda si fahöna noro dödö
si fahöna amatela niha
Jelas sekali bahwa kalimat “Ba me furinia me so niha” merupakan kalimat pembuka bait (j) hoho itu, yang mengantarkan narasi tentang penciptaan bumi ke sepuluh, bumi kita ini.
Perhatikan bahwa yang berperan dalam penciptaan bumi yang kita diami ini adalah Sirao dan Sila’o Sila’uma. Sirao, yang tinggal di Teteholi Ana’a, mengambil segenggam tanah dari Teteholi Ana’a dan menyerahkannya kepada ahli bumi yang bernama: Sila’o Sila’uma. Hasil pekerjaan Sila’o Sila’uma, si ahli bumi inilah, bumi ke sepuluh, bumi tempat kita hidup ini. Itulah bumi yang penuh dengan kesusahan atau beban hidup (noro dödö), itulah bumi yang penuh dengan bangkai manusia (amatela niha).
Kita bisa menyimpulkan dari bait (j) ini bahwa penciptaan bumi ke sepuluh (bumi yang kita diami ini) dilakukan belakangan setelah manusia berkembang dulu di Teteholi Ana’a (Baca juga Hoho “Fomböi Böröta Niha”, hal. 35-39 dalam Buku “Fondrakö …”)
Kedua, terjemahan kalimat “Ba mifurinia me so niha” oleh Hammerle sebagai: â€Dan sesudahnya menyusul manusia†jelas-jelas keliru. Ada dua kata kunci dalam kalimat tersebut: “Mifurinia” dan “me“. Mifurinia berasal dari kata “furi”.
Furi dapat berarti: di belakang. Contoh: furi nomo (di belakang rumah). Furigu agö (berdiri/duduk di belakangku).
Furi juga bisa berarti “yang terakhir”, “yang belakangan”. “Ba mbanua furi” adalah istilah dunia atau kerajaan yang ada setelah dunia fana ini: surga. “Na furi” berarti di hari belakangan, jangka waktunya masih jauh dari saat ini. “Ubu’a khöu na furi” artinya: “Aku bayar (kukembalikan) kepadamu nanti … sesudah jangka waktu yang lama sekali”.
“Mifurinia” dalam kalimat “Ba mifurinia me so niha” berarti di belakang hari, merujuk pada suatu waktu atau periode setelah “sesuatu” telah berlangsung. Apa “sesuatu” itu dalam hal ini ? “Sesuatu” dalam hal ini adalah proses penciptaan dunia lapis ke delapan yang dinarasikan dalam bait (i) Hoho ini.
Kata “me” adalah kata penunjuk ke masa lalu.
“Me föna, me ide’idedo, ilu’ido inagu” – Dulu, sewaktu kecil, ibu menggendongku.
“Me tohare zaradadu Nifo ba Danö Niha” – Ketika tentara Jepang tiba di Pulau Nias”
“Me” sama sekali tidak menunjuk pada akibat dari sesuatu seperti muncul dalam terjemahan Hammerle: “Dan sesudahnya menyusul manusia”. Dalam Li Niha, terjemahan “Dan sesudahnya menyusul manusia” adalah “Ba aefa da’ö (ö) ba tohare niha.”
Ada pengertian “me” sebagai “karena”, misalnya dalam kalimat berikut:
“Me lö möi’ö ba lö göi möido” – Karena engkau tidak pergi, aku juga tidak pergi.
“Manuköudo sa’e me no alawa mbongi” – Saya mengantuk karena hari sudah larut
Akan tetapi “me” dalam kedua contoh di atas tidak searti dengan “me” dalam kalimat: “Ba mifurinia me so niha”.
Marilah kita melihat terjemahan S.W. Mendröfa terhadap sejumlah baris bait (j) hoho tersebut:
Ba mifurinia me so niha – setelah adanya insan di belakang hari
me no mo’ösi danö ölia – setelah terhuni buana
Me niha oi manaro’o – dan manusia telah tetap bermukim
niha no oi mowanua – mendirikan negeri dan kota
dörö yawa Sirao Uwu Zihönö – maka tersebut Sirao Moyang Legiun
dörö yawa Sirao Uwu Zoya – tersebut Sirao moyang jutaan
ba ihalö danö Deteholi Balaki – mengambil tanah Teteholi Balaki
ba ihalö danö Deteholi Ana’a – mengambil tanah Teteholi Ana’a
me ihalö ezai gokhö Zila’o – diambil sebesar genggam Sila’o
me ihalö sambua mbayambaya – diambil segenggam tangan
da’ö i’ohe khö zamago tanö – diserahkannya kepada ahli bumi
ibe khö Zila’o Sila’uma – diserahkan pada Sila’uma
Da’ö ia danöda si sagörö – itulah bumi kita nan selapis
tanöda sowanua niha soya – yang dihuni oleh manusia
Tanöda si fahöna noro dödö – bumi tempat merana makan hati
si fahöna amatela niha – bumi tempat mati (dan bersenang)
Atas dasar uraian di atas, Hammerle perlu memberikan tanggapan terhadap Toni Hia yang menulis komentar berikut atas artikel: Pengertian “nidadaâ€, “nifailo†dalam Buku Asal-usul Masyarakat Nias – Suatu Interrpetasi:
“Ada tiga kemungkinan yang terjadi dalam diri Pastor Johannes:
- Beliau tidak membaca dengan cermat seluruh isi buku Ama Rozaman, atau
- Beliau membaca dengan cermat seluruh isi buku Ama Rozaman, tapi tidak memahaminya dengan baik, atau
- Beliau memanipulasi alur cerita hoho Ama Rozaman demi teori rahim.”
Perlu ditekankan bahwa tafsiran Teteholi Ana’a sebagai rahim sangat terkait dengan terjemahan keliru Hammerle atas kalimat: “Ba mifurinia me so niha“. Barangkali Hammerle masih memiliki sejumlah argumen lain yang lebih meyakinkan. Kita tunggu. (E. Halawa)
Tesis (teori?) rahim dari Pastor Hammerle sampai di forum internasional (Oktober 2006) bertumpu pada “validitas konsensusâ€, yaitu validitas seorang yang dianggap ahli tentang Nias (penulis buku “Nias, eine eigene Welt. Sagen, Mythen, Ãœberlieferungen“, 1999). Wajar bila tesis tersebut mendapatkan â€validitas muka†di forum internasional itu. Namun perlu kita ingat, esensi tesis rahim itu belum banyak dikaji di tingkat lokal, regional, atau nasional, baik dalam forum akademis maupun forum masyarakat pendukung (pemilik) budaya Nias itu sendiri. Sehingga wajar pula bila tesis rahim Pastor Hammerle tetap relevan kita diskusikan, khususnya menyangkut konstruk (kerangka konsep) dan isi (semua elemen di dalamnya).
Saat ini di situs ini, tesis rahim tersebut didiskusikan paling tidak di dua artikel (Pengertian â€nidadaâ€, â€nifailo†dalam Buku Asal-usul Masyarakat Nias – Suatu Interrpetasi, dan Mari Memahami Hoho â€Fomböi Tanö Awö Mbanuaâ€) oleh masyarakat Ono Niha. Ranah diskusi bukan lah soal â€validitas konsensus†dan â€validitas mukaâ€, melainkan â€validitas konstruk†dan â€validitas isi†dari tesis rahim itu. Ini lah menurut saya, arti penting dari â€Pastor Hammerle perlu bicara dalam diskusi kitaâ€, agar beliau berkesempatan mempertahankan validitas (konstruk dan isi) dari tafsirnya terhadap Teteholi Ana’a sebagai Rahim Sang Ibu. Dan hal ini pun telah diupayakan oleh redaksi Yaahowu (lihat resp. # 6).
Bahan diskusi kita adalah buku karya Pastor Hammerle berjudul â€Asal Usul Masyarakat Nias – Suatu Interpretasi†(2001, hal. 105-110), dan acuannya buku karya S.W. Mendröfa berjudul â€Fondrakö Ono Niha Agama Purba – Hukum Adat Mitologi – Hikayat Masyarakat Nias (1981). Di dalam bukunya (Asal Usul…) Pastor Hammerle membangun konstruk dan isi tesis rahim yang mengacu pada buku S.W. Mendröfa (Fondrakö Ono Niha…).
Dari diskusi yang telah berkembang, kalau boleh saya sarikan bahan yang perlu kita dialogkan dengan Pastor Hammerle, adalah:
1. Syair â€Ba mifurinia me so niha†(Fondrako Ono Niha… hal. 23) diterjemahkan oleh penulis buku (S.W. Mendröfa): â€Setelah adanya insan di belakang hariâ€. Syair ini diterjemahkan oleh penafsir (Pastor Hammerle) menjadi: â€Dan sesudahnya menyusul manusia†(Asal Usul… hal. 108-109). Makna kedua terjemahan itu terasa berbeda, sehingga agaknya kita memang perlu mendengar pendapat Pastor Hammerle tentang terjemahannya terhadap syair hoho Nias yang ternyata sudah diterjemahkan pula oleh S.W. Mendröfa.
2. Syair â€Ba mifurinia me so niha†berada dalam bagian (konteks) cerita â€Fomböi Tanö Awö Mbanua†(Fondrakö Ono Niha… hal. 18-24), yaitu cerita tentang â€Penciptaan Bumi Dengan Langitâ€. Syair ini ditafsirkan oleh Pastor Hammerle dalam konteks â€proses penciptaan manusiaâ€, sehingga oleh sementara kalangan mungkin dianggap â€salah tempat†atau â€konteksnya kurang pasâ€. Karena, S.W. Mendröfa sendiri menceritakan â€penciptaan manusia†di bagian lain dari bukunya, yaitu â€Fomböi Böröta Niha†(Fondrakö Ono Niha… hal. 35-39). Untuk butir kedua ini pun kita tetap ingin mendengar pendapat Pastor Hammerle, mengapa konteksnya dalam membaca buku S.W. Mendröfa menjadi kurang pas?
3. Bait (j) yang dimulai dengan syair â€Ba mifurinia me so niha†berkaitan dengan konteks cerita dalam bagian lain buku Fondrakö Ono Niha…, yaitu: hal. 47-48 dan hal. 120-124, yang menjadi keterangan dari bait (j). Namun bait (j) ini ditafsirkan Pastor Hammerle sebagai “Dan tanpa keterangan lebih lanjut katanya:…” (Asal Usul… hal. 108). Hal ini tentu menimbulkan rasa ingin tahu kita, mengapa Pastor Hammerle sampai pada frase “Dan tanpa keterangan lebih lanjut katanya:…†itu?
Dari tiga butir sari di atas, saya rasa belum ada perbedaan pendapat yang menutup pintu dialog. Satu sisi menjadi komunikator, dan sisi yang lain menjadi komunikan. Sang komunikator sekarang menunggu feedback dari komunikan, sehingga komunikasi menjadi efektif dan harmonis. Efektifnya sebuah komunikasi terpulang pada nilai kejujuran dan sportivitas para pihak yang terlibat dalam berkomunikasi itu. Bravo Tanö Niha, Yaahowu!
Waktu membaca buku â€Asal Usul Masyarakat Nias – Suatu Interpretasiâ€, saya menemukan terjemahan â€Ba mifurinia me so niha†adalah â€Dan sesudahnya menyusul manusiaâ€. Tapi kemudian saya terkecoh, ketika membaca buku acuannya (â€Fondrakö Ono Niha Agama Purba – Hukum Adat Mitologi – Hikayat Masyarakat Niasâ€), ternyata terjemahan Ama Rozaman adalah â€Setelah adanya insan di belakang hariâ€.
Pastor Johannes tidak memberi catatan bahwa terjemahan beliau berbeda dengan terjemahan penulis yang dirujuknya (Ama Rozaman), sehingga pembaca tidak dapat membandingkan antara terjemahan â€yang asli†dan â€yang tafsirâ€. Saya merasakan ada nuansa ketidakterbukaan atau ketidakjujuran dalam proses intelektual pengutipan syair itu.
Sekarang, dengan hormat saya ingin tanya kepada Bang L. Ndraha, penilaian bagaimana yang dapat kita berikan atas penyebab keterkecohan saya sebagai pembaca ini? Selain kata â€manipulasiâ€, mohon dengan hormat kata apa yang enak didengar dan pantas dirasakan menurut Bang L. Ndraha atas sebuah ketidakjujuran intelektual?
Mohon maaf pula, bila ternyata pilihan kata saya â€ketidakjujuran intelektual†ini, adalah juga sebuah penilaian moral yang tabu menurut Bang L. Ndraha.
Terima kasih buat sdr laso yang telah memberikan pernyataan yang baik di atas. Minat anda terhadap buku, yang tampak melalui upaya anda membandingkan kedua buku ttg Nias tsb (hammerle dan S.W. Mendröfa) menunjukkan bahwa sdr Laso adalah seorang intelektual yang pantas dibanggakan oleh Tanö Niha. Hal itu merupakan hal positif yang patut dijadikan contoh dalam mendalami budaya sendiri.
Serentak dengan kekaguman atas intelektualitas sdr Laso itu, terbersit juga suatu rasa keprihatinan atas pernyataan-pernyataan sdr Laso yang seolah-olah bertentangan dengan kesan pertama itu. Mengapa? Sebagaimana telah saya kemukakan pada tulisan sebelumnya: suatu penilaian moral hanya bisa dikenakan bila sudah jelas motivasi, latar belakang, tujuan dari suatu tindakan. Maka pertanyaan berkaitan dengan ini ialah apakah sdr. Laso telah memastikan (dari Hammerle sendiri) bahwa itu suatu tindakan manipulasi atau hanya kesilafan Hammerle (lupa memberikan catatan dlm buku tsb bhw terjemahannya berbeda). Bila sudah pasti bahwa Hammerle dengan SENGAJA tidak mencantumkannya, maka sayapun setuju dengan pendapat serta penilaian Sdr. Laso. Akan tetapi bila penilaian dan pernyataan Sdr. Laso itu tidak didahului dengan pemverifikasian spt tsb di atas, maka sangat disayangkan bahwa pernyataan seperti itu keluar dari Sdr Laso yang mempunyai ciriciri intelektual. Pertanyaan berikut berkaitan dengan pernyataan-pernyataan Sdr. Laso selama ini ialah bila sdr. Laso yakin bahwa Hammerle telah melakukan manipulasi, apa yang akan Sdr. Laso lakukan? Apakah hanya sampai pada pernyataan seperti di atas? Bila hanya sampai disitu, maka saya teringat pada ungkapan Nias yang berbunyi: “ mogau nasu lö fara’u”
Buat Sdri. Uchi Bate’e; upaya seperti yang sdri kemukakan itu, tentu saja kita dukung dan kita harapkan bersama. Mudah-mudahan Hammerle mau meluangkan waktu untuk menanggapi kerinduan kita bersama tentang perbedaan interpretasi tsb. Tentu kita hanya berada pada tahap “mudah-mudahan” (harapan), tanpa harus sampai pada tuntutan mewajibkan Hammerle. Sejauh saya ingat, tesis Peter Suzuki hingga kini, masih belum dia pertanggungjawabkan kepada mereka yang menyebut diri sebagai Ono Niha. Dan tak seorangpun yang mewajibkan dia untuk mendiskusikannya.
Cogito ergo sum adalah ungkapan yang terkenal pada masa pencerahan, yang dikemukakan oleh Rene Descartes. Ungkapan itu mengingatkan orang bahwa sesungguhnya tak ada kebenaran mutlak. Dengan demikian, kebenaran bukanlah monopoli segelintir orang. Dialog dan diskusi dibutuhkan untuk sampai pada pemahaman persepsi dari masing-masing yang terlibat di dalamnya.
Demikian saja dan Ya’ahowu.
Sebagian besar dari kita menganggap bahwa manipulasi adalah suatu kata yang mengandung konotasi yang tercela. Tetapi di dalam banyak situasi, kata tersebut bermanfaat dan menurut ukuran umum sesuai dengan moral.
Hampir semua “profesi yang bersifat membantu†(misalnya: guru, konselor, terapis, pendeta, dokter, perawat) pada tingkat tertentu usaha-usaha mereka bisa disebut sebagai manipulasi. Bukankah seorang dokter lebih baik menyembunyikan sebagian dari informasi sampai ia dapat membina kepercayaan sang pasien kepadanya? Bukankah bagi seorang konselor seringkali dianggap lebih bijaksana apabila ia membiarkan sang klien melihat sendiri kebenaran, ketimbang sang konselor hanya menjual nasehat-nasehatnya? Di sini, manipulasi adalah suatu metode. Manipulasi yang digambarkan ini tidaklah mementingkan diri sendiri.
Salah satu pertimbangan yang penting yang terkandung di dalam pemilihan suatu metode adalah nilai-nilai yang dianut oleh si pemakai metode itu. Bila seseorang dianggap memakai “metode manipulasiâ€, sedangkan orang itu tidak mementingkan dirinya sendiri, tentu dia tidak melakukan perbuatan tercela atau amoral.
Sumber: Harold J. Leavitt, “Managerial Psychologiâ€, 1992.
Mari kita tengok satu alinea dalam buku â€Asal Usul Masyarakat Nias – Suatu Interpretasi†(hal. 108-109) yang menjadi bahan diskusi kita, yaitu:
Dan sesudahnya mite bicara tentang air sungai Sea (idanö zea), karena sekarang sudah tiba waktunya untuk melahirkan. Ketuban pecah dan air ketuban keluar. Zea yang menggemuruh melambangkan kesakitan wanita yang mengawali kelahiran. Dan tanpa keterangan lebih lanjut katanya: “Ba mifurinia me so niha.†– “Dan sesudahnya menyusul manusia.†74 Artinya sesudah ketuban pecah keluarlah air yang diiringi lahirnya bayi.
Dalam alinea di atas terlihat bahwa syair â€Ba mifurinia me so niha†adalah kutipan dari buku Ama Rozaman (â€Fondrakö Ono Niha Agama Purba – Hukum Adat Mitologi – Hikayat Masyarakat Niasâ€, hal. 23), indikatornya angka 74 sebagai catatan kaki. Namun terjemahan syair itu (yaitu: “Dan sesudahnya menyusul manusia.â€) adalah milik Pastor Johannes. Jadi, syair bahasa Nias dikutip, tapi terjemahannya tidak dikutip oleh Pastor Johannes. Hal ini sungguh aneh bagi saya. Seyogyanya terjemahan Ama Rozaman juga turut dikutip, sehingga frase kalimat itu akan berbunyi: “Ba mifurinia me so niha.†– “Setelah adanya insan di belakang hari†74.
Kalau Pastor Johannes konsisten dalam mengutip buku acuannya, maka alinea yang menjadi bahan diskusi kita akan berbunyi:
Dan sesudahnya mite bicara tentang air sungai Sea (idanö zea), karena sekarang sudah tiba waktunya untuk melahirkan. Ketuban pecah dan air ketuban keluar. Zea yang menggemuruh melambangkan kesakitan wanita yang mengawali kelahiran. Dan tanpa keterangan lebih lanjut katanya: “Ba mifurinia me so niha.†– “Setelah adanya insan di belakang hari†74 Artinya sesudah ketuban pecah keluarlah air yang diiringi lahirnya bayi.
Dengan kutipan secara konsisten dari buku acuannya (komplet, tidak hanya syair hoho bahasa Nias saja, juga bersama terjemahan bahasa Indonesia dari Ama Rozaman), akan membuat nuansa makna alinea itu terasa berbeda. Kutipan yang tanggung (cuma bahasa Nias) ini lah yang kemudian mengecoh saya.
Apakah kutipan syair hoho bahasa Nias saja, dan mengganti terjemahan aslinya, merupakan sebuah tindakan sadar, setengah sadar, atau silaf dari Pastor Johannes, saya tidak sadar hal itu. Saya kurang terampil mengukur motivasi seseorang dengan pertanyaan. Kalau saya pengen tahu apa motivasi Bang L. Ndraha menanggapi orang-orang yang bertanya pada Pastor Johannes, misalnya, tentu saya pun gagap menanyakannya pada Bang L. Ndraha. Maka lebih baik saya bersikap bagaikan “seekor anjing yang sedang menggonggong†saja, Bang L. Ndraha.
Bila pernyataan terakhir dalam paragraf penutup itu pilihan Pak Laso, ya…sayapun tak bisa bilang apa-apa, heheee…
Terima kasih. Dengan ini saya mengundurkan diri dari diskusi ini.
Ya’ahowu
Diskusi ini sangat kaya. Beta jadi banyak tau tentang seluk-beluk dan lika-liku budaya Nias, termasuk orang Nias sendiri. Dengan beberapa teman beta ngikutin diskusi ini, dan jadi bahan diskusi kecil-kecilan di kampus.
Buat Bang Laso, harapan beta jangan keras-keras gonggongannya ya… ntar tetangga boboknya pada keganggu. Hehehe…
Shalom dan Yaahowu,
Elnora Fernandez
Mrican – Yogya
artikel ‘n diskusi menarik.. tks yach pencerahan dr bapak/ibu semua!
Informasi di atas semakin menarik.
terima kasih