Mari Memahami Hoho “Fomböi Tanö Awö Mbanuaâ€
Catatan Penulis: Dalam tulisan ini diberikan suatu pemahaman bait demi bait Hoho “Fomböi Tanö Awö Mbanua†dari halaman 18 – 24 buku “Fondrakö Ono Niha – Agama Purba – Hukum Adat Mitologi – Hikayat Masyarakat Nias†karangan S.W. Mendröfa (A. Rozaman). Penulis menggunakan sebagian terjemahan S.W. Mendröfa dalam teks hoho. Pembaca disarankan membaca teks lengkap hoho tersebut yang ditayangkan dalam Situs ini.
Pengantar:
Dalam Hoho ini, ada 10 dunia yang diciptakan: 9 dunia atas plus dunia (bumi) kita ini. Dunia pertama adalah dunia teratas (tanö fondrege yawa) yang disebut juga dunia lapis ke sembilan; dunia ke dua berada di bawah dunia teratas (fanete danö yawa) dan disebut dunia lapis ke delapan. Demikian seterusnya hingga dunia ke sembilan atau dunia lapis pertama, yang disebut Teteholi Ana’a. Jadi, Teteholi Ana’a disebut dunia lapisan pertama di atas kita (da’ö danö sagötö yawada).
Bagian I:
“Dewa†yang berperan dalam hoho penciptaan ini adalah Sihai Uwu Nangi, Sihai Uwu Mbara (Sihai Sumber Angin, Sihai Sumber Taufan). Sihai melaga angin, melaga bayu. Angin inilah bahan yang digunakan Sihai untuk menciptakan “yang sembilan jenis, yang sembilan ragam†– (segala ciptaan ?)
Da’ö mböröta zi siwa ngawalö
Da’ö mböröta zi siwa göla
Ditekankan di sini: Sihai-lah yang melaga bayu itu. Lalu bayu itu berlaga, berlaga bagai rusa, beradu bagai babi hutan. (Ini barangkali yang ditafsirkan P. Johannes sebagai lambang persetubuhan – me fagia nangi – me fawude nangi, baca hal. 108 buku “Asal Usul … “. Kata-kata yang sama juga muncul dalam Hoho “Fomböi Böröta Niha” hal. 35 – 39 buku “Fondrakö …”).
Bagian II: Sitahu, belahan diri Sihai, diciptakan
Bayu yang beradu berlaga itu menghasilkan “ampas punggung angin†(da’i hulu nangi) yang berinti. Sihai menciptakan belahan dirinya, Sitahu, dari ampas punggung angin yang berinti itu. Sitahu inilah perpanjangan tangan Sihai dan pelaksana kehendaknya dalam proses penciptaan. Kalau sebelumnya (lihat Bagian I) Sihai berbicara kepada dirinya sendiri, kini dia berbicara kepada Sitahu, belahan dirinya.
Sihai memerintahkan Sitahu: “Ambil ampas punggung bayu, ambil inti ampas taufan. Peras-peras (pulas-pulas) di ujung jari, bolak-balik di telapak tangan.â€
Hasil “kerajinan tangan†Sitahu ini merupakan bahan asal mula bumi, asal mula dunia.
II-a: Penciptaan Dunia Pertama (Paling Atas)
Sitahu mengambil sebagian dari ampas punggung angin yang telah terbentuk tadi untuk menciptakan dunia paling atas: dunia yang tak pernah teramati, dunia yang tak pernah kita lihat, dunia yang bagai permata akik, bagai kristal gemerlap. Inilah dunia di mana matahari dan bulan tidak terbenam. Inilah “bumi nan tiada bergantung, bumi nan tak bertopang”. Inilah dunia yang dibuai-buai bayu, dunia yang dibuai-buai taufan. (Catatan: Hammerle menafsikan penggalan kalimat dalam tanda kutip di atas sebagai “tubuh wanita berbadan dua” [“Asal Usul …” hal. 108].
II-b – II-h: Penciptaan Dunia Kedua – Dunia Ke Delapan
Proses penciptaan dunia kedua (dunia lapis kedelapan) hingga dunia ke delapan (dunia lapis ke dua) hampir sama. Untuk menciptakan dunia kedua, Sitahu mengambil bahannya dari dunia paling atas. Untuk menciptakan dunia ketiga, Sitahu mengambil bahannya dari dunia kedua. Demikian seterusnya hingga dunia ke delapan.
Yang berbeda dalam proses ini adalah: kuantitas bahan yang digunakan Sitahu untuk menciptakan setiap lapisan itu. Misalnya untuk menciptakan dunia kedua, Sitahu mengambil bahan dari dunia pertama (teratas) sebesar biji sawi, sebesar biji bayam. Untuk dunia kedua, bahan yang digunakannya adalah sebungkal; untuk dunia ketiga: dua bungkal, untuk dunia ke empat: sepau, dst.
Perbedaan lain adalah: tingkat perkembangan atau ukuran bibit-bibit lapisan tanah itu sesudah keluar dari tangan Sitahu.
II-i: Penciptaan Dunia Ke Sembilan
Uraian tentang penciptaan dunia ke sembilan ini sengaja diberi perhatian khusus, karena Hammerle memberikan penafsiran khusus terhadapnya. Proses penciptaan dunia ke sembilan pada dasarnya sama dengan proses penciptaan dunia sebelumnya: “ifagaölögaölö bauwu duru, ibalibaliö ba lalu’aâ€. Bahannya: lima fondruyu, lima fanimba (lima pau di timbangan).
Dunia ke sembilan itu berkembang:
Dörö tobali me to’ese – tanah itu mengganda berkembang
Dörö itugu ebua – tanah itu membesar
Tola tumaro ngafulu fosali – bisa jadi tapak puluhan balai
Monaha ösa mbolo mbenua – sebagian bisa jadi tapak perladangan
Dunia ke sembilan ini adalah dunia yang langsung berada di atas kita. Dunia inilah yang disebut Teteholi Balaki, Teteholi Ana’a. Bori Balaki (Bori Ana’a) termasuk dalam dunia ke sembilan itu (Teteholi Ana’a). Bori Balaki, Bori Ana’a itu seasal dengan tanah di daerah Hili Maruge dan daerah Hilidora’a.
Da’ö ia Deteholi Balaki
Ya’ia Deteholi Ana’a
Farahu ba da’ö Mbori Balaki
Farahu Mbori Ana’a
Föfö danö ba Hili Maruge
Föfö danö Hilidora’a.
Tidak ada penjelasan lebih lanjut dalam Hoho ini tentang Bori Balaki, Hili Maruge dan Hilidora’a.
Teteholi Ana’a mempunyai sebuah sungai: Zea, yang merupakan pertemuan 9 sungai kecil, dan yang memiliki 9 cabang. Sungai Zea inilah yang suka menggemuruh, yang suka membahana.
Idanönia Zea siwa fabörö
Idanönia Zea siwa faekha
Da’ö ia Zea sigetegete
Idanö Zea sirararara.
Sekitar dua minggu yang lalu, penulis berbicara dengan seorang Ibu yang kini tinggal di Bandung. Saya tanya: “Apakah Ibu pernah mendengar tentang Sungai Zea ?†Ibu itu mengatakan: sungai Zea itu sungai yang berada di langit.
“Siyawa ba mbanua so nidanö Zea. Me föna, asese lawa’öwa’ö: Mu’ugu-ugu molö Zea. Na mu’ugu molö Zea ba molökhö.†(Sungai Zea ada di langit. Dahulu orang sering bilang: banjir Sungai Zea bergemuruh; itu tandanya akan musim kemarau).
Dari cerita ibu tersebut dapat kita simpulkan bahwa konsep “dunia atas†yang hanya kita dengar dalam hoho atau mite itu ternyata juga terdapat dalam keseharian orang-orang Nias zaman dulu. Bisa juga kita balik, pengalaman harian orang Nias itu (seperti gemuruh langit yang menjadi pertanda musim kemarau itu) diangkat dalam hoho dan mite. Dengan demikian sungai Zea yang disebut dalam “Hoho Fomböi Tanö Awö Mbanua†ini sungguh-sungguh berhubungan dengan konsep orang Nias zaman dahulu tentang keberadaan dunia atas itu. (Catatan: ada juga sungai Zea di P. Nias, lihat “Asal Usul …” hal. 11).
Bunyi gemuruh yang berasal dari langit itu diyakini sebagai gemuruh sungai yang berada di langit (dunia atas): sungai Zea. Penjelasan para ahli cuaca kiranya dapat membantu menjelaskan bunyi gemuruh apa yang berasal dari langit yang menandai datangnya musim kemarau.
Dari membaca teks hoho dan penjelasannya di atas, terlalu sulit bagi kita mengaitkannya dengan “kesakitan wanita yang mengawali kelahiran†sebagaimana diuraikan Hammerle dalam buku “Asal Usul …†hal. 108.
II-j: Ba Mifurinia Me So Niha …
Judul bagian ini sengaja diambil langsung dari kalimat baris pertama bait (j) dari Hoho “Fomböi Tanö Awö Mbanuaâ€. Alasannya, kalimat inilah yang digunakan Hammerle untuk memperkuat tafisrannya akan makna Teteholi Ana’a sebagai “rahimâ€. Ada dua kekeliruan fatal Hammerle dalam hal ini.
Pertama, Hammerle lupa atau khilaf, bahwa kalimat di atas merupakan kalimat pembuka dari bait (j) dari teks hoho itu, dan bukan kelanjutan langsung dari bait sebelumnya. (lihat juga komentar Toni Hia tgl 1 Februari 2007 atas artikel: “Pengertian “nidadaâ€, “nifailo†dalam Buku Asal-usul Masyarakat Nias – Suatu Interrpetasi”
(j)
Ba mifurinia me so niha
me no mo’ösi danö ölia
Me niha oi manaro’o
niha no oi mowanua
…….. dst (lihat di bawah)
Dengan kata lain, kalimat “Ba mifurinia me so niha ..” sebagai kalimat pembuka bait hoho itu tidak bisa dikaitkan langsung dengan kalimat terakhir dari bait (i) sebelumnya. Untuk memahami bait ini, kita perlu juga membaca teks hoho “Fomböi Böröta Nia” dalam buku Fondrakö … hal. 35 – 39. Bait (j) ini sama sekali tidak menceritakan penciptaan manusia, melainkan ia menceritakan penciptaan bumi ke sepuluh, bumi yang kita diami ini. Lihat lanjutan teks bait (j) di bawah:
dörö yawa Sirao Uwu Zihönö
dörö yawa Sirao Uwu Zoya
ba ihalö danö Deteholi Balaki
ba ihalö danö Deteholi Ana’a
me ihalö ezai gokhö Zila’o
me ihalö sambua mbayambaya
da’ö i’ohe khö zamago tanö
ibe khö Zila’o Sila’uma
Da’ö ia danöda si sagörö
tanöda sowanua niha soya
Tanöda si fahöna noro dödö
si fahöna amatela niha
Jelas sekali bahwa kalimat “Ba me furinia me so niha” merupakan kalimat pembuka bait (j) hoho itu, yang mengantarkan narasi tentang penciptaan bumi ke sepuluh, bumi kita ini.
Perhatikan bahwa yang berperan dalam penciptaan bumi yang kita diami ini adalah Sirao dan Sila’o Sila’uma. Sirao, yang tinggal di Teteholi Ana’a, mengambil segenggam tanah dari Teteholi Ana’a dan menyerahkannya kepada ahli bumi yang bernama: Sila’o Sila’uma. Hasil pekerjaan Sila’o Sila’uma, si ahli bumi inilah, bumi ke sepuluh, bumi tempat kita hidup ini. Itulah bumi yang penuh dengan kesusahan atau beban hidup (noro dödö), itulah bumi yang penuh dengan bangkai manusia (amatela niha).
Kita bisa menyimpulkan dari bait (j) ini bahwa penciptaan bumi ke sepuluh (bumi yang kita diami ini) dilakukan belakangan setelah manusia berkembang dulu di Teteholi Ana’a (Baca juga Hoho “Fomböi Böröta Niha”, hal. 35-39 dalam Buku “Fondrakö …”)
Kedua, terjemahan kalimat “Ba mifurinia me so niha” oleh Hammerle sebagai: â€Dan sesudahnya menyusul manusia†jelas-jelas keliru. Ada dua kata kunci dalam kalimat tersebut: “Mifurinia” dan “me“. Mifurinia berasal dari kata “furi”.
Furi dapat berarti: di belakang. Contoh: furi nomo (di belakang rumah). Furigu agö (berdiri/duduk di belakangku).
Furi juga bisa berarti “yang terakhir”, “yang belakangan”. “Ba mbanua furi” adalah istilah dunia atau kerajaan yang ada setelah dunia fana ini: surga. “Na furi” berarti di hari belakangan, jangka waktunya masih jauh dari saat ini. “Ubu’a khöu na furi” artinya: “Aku bayar (kukembalikan) kepadamu nanti … sesudah jangka waktu yang lama sekali”.
“Mifurinia” dalam kalimat “Ba mifurinia me so niha” berarti di belakang hari, merujuk pada suatu waktu atau periode setelah “sesuatu” telah berlangsung. Apa “sesuatu” itu dalam hal ini ? “Sesuatu” dalam hal ini adalah proses penciptaan dunia lapis ke delapan yang dinarasikan dalam bait (i) Hoho ini.
Kata “me” adalah kata penunjuk ke masa lalu.
“Me föna, me ide’idedo, ilu’ido inagu” – Dulu, sewaktu kecil, ibu menggendongku.
“Me tohare zaradadu Nifo ba Danö Niha” – Ketika tentara Jepang tiba di Pulau Nias”
“Me” sama sekali tidak menunjuk pada akibat dari sesuatu seperti muncul dalam terjemahan Hammerle: “Dan sesudahnya menyusul manusia”. Dalam Li Niha, terjemahan “Dan sesudahnya menyusul manusia” adalah “Ba aefa da’ö (ö) ba tohare niha.”
Ada pengertian “me” sebagai “karena”, misalnya dalam kalimat berikut:
“Me lö möi’ö ba lö göi möido” – Karena engkau tidak pergi, aku juga tidak pergi.
“Manuköudo sa’e me no alawa mbongi” – Saya mengantuk karena hari sudah larut
Akan tetapi “me” dalam kedua contoh di atas tidak searti dengan “me” dalam kalimat: “Ba mifurinia me so niha”.
Marilah kita melihat terjemahan S.W. Mendröfa terhadap sejumlah baris bait (j) hoho tersebut:
Ba mifurinia me so niha – setelah adanya insan di belakang hari
me no mo’ösi danö ölia – setelah terhuni buana
Me niha oi manaro’o – dan manusia telah tetap bermukim
niha no oi mowanua – mendirikan negeri dan kota
dörö yawa Sirao Uwu Zihönö – maka tersebut Sirao Moyang Legiun
dörö yawa Sirao Uwu Zoya – tersebut Sirao moyang jutaan
ba ihalö danö Deteholi Balaki – mengambil tanah Teteholi Balaki
ba ihalö danö Deteholi Ana’a – mengambil tanah Teteholi Ana’a
me ihalö ezai gokhö Zila’o – diambil sebesar genggam Sila’o
me ihalö sambua mbayambaya – diambil segenggam tangan
da’ö i’ohe khö zamago tanö – diserahkannya kepada ahli bumi
ibe khö Zila’o Sila’uma – diserahkan pada Sila’uma
Da’ö ia danöda si sagörö – itulah bumi kita nan selapis
tanöda sowanua niha soya – yang dihuni oleh manusia
Tanöda si fahöna noro dödö – bumi tempat merana makan hati
si fahöna amatela niha – bumi tempat mati (dan bersenang)
Atas dasar uraian di atas, Hammerle perlu memberikan tanggapan terhadap Toni Hia yang menulis komentar berikut atas artikel: Pengertian “nidadaâ€, “nifailo†dalam Buku Asal-usul Masyarakat Nias – Suatu Interrpetasi:
“Ada tiga kemungkinan yang terjadi dalam diri Pastor Johannes:
- Beliau tidak membaca dengan cermat seluruh isi buku Ama Rozaman, atau
- Beliau membaca dengan cermat seluruh isi buku Ama Rozaman, tapi tidak memahaminya dengan baik, atau
- Beliau memanipulasi alur cerita hoho Ama Rozaman demi teori rahim.”
Perlu ditekankan bahwa tafsiran Teteholi Ana’a sebagai rahim sangat terkait dengan terjemahan keliru Hammerle atas kalimat: “Ba mifurinia me so niha“. Barangkali Hammerle masih memiliki sejumlah argumen lain yang lebih meyakinkan. Kita tunggu. (E. Halawa)
Pastor Johannes telah MEMANIPULASI terjemahan sebaris syair hoho Ama Rozaman â€Ba mifurinia me so nihaâ€, untuk kepentingan pribadinya merumuskan teori rahim.
Lihat juga komentar # 5 Laso, 1 Februari 2007, di artikel Pengertian “nidadaâ€, “nifailo†dalam Buku Asal-usul Masyarakat Nias – Suatu Interrpetasi.
Terima kasih Pak Halawa, atas artikel ini. Saya senang bahwa memang banyak dari kita memberi tanggapan kritis perihal penafsiran Hoho. Kalau bukan dari kita, siapa lagi yang kita harapkan. Ini menambah wawasan dan pengetahuan sebagai generasi Ono Niha.
Saya tidak dalam posisi mendukung atau menolak tafsiran atau pendapat dari salah satu kubu. Saya melihat keduanya ada hal positif yang dapat kita petik langsung.
1. Dengan adannya Buku Johannes Hämmerle, kita sebagai Putra/i Nias tergugah untuk mencari tahu pengertian yang sebenarnya. Tanpa Tulisan itu tentu kita melupakan saja apa yang terjadi dengan Hoho Nenek moyang itu? Jadi terima kasih kepada Pastor Johannes Hämmerle.
2. Terima kasih kepada P. Viktor Zebua, dengan demikian memberi kita pemahaman baru. Meluruskan apa yang di yakini benar, tetapi itu belum cukup, masih kita menunggu dukungan lapangan yang hidup di daerah kita Nias.
3. Terima kasih kepada Situs Yaahowu dan para saudara yang ikut menyumbang pikiran di dalamnya, dengan itu budaya kita dipublikasikan secara seimbang.
Pengamatan saya Pribadi:
Biasanya, penafsiran itu tidak mutlak dianggap sebagai kebenaran tetap. Karena itu penfasiran bisa menghasilkan perbedaan, pendapat, argumentasi. Kiranya pembaca yang menentukan pilihan yang lebih melihat mana pendapat yang lebih masuk akal dan berdasar. Pendapat yang tidak berdasar, tentulah cepat disingkirkan pembaca, sebagai pendapat yang tak berdasar dan jelas tidak lama bertahan.
Penelitian dan Publikasi, sudah menjadi hukum alami, setiap ada publikasi yang lebih baru dan masuk akal yang didukung oleh dasar yang lekap, secepat itu pula publikasi lama menjadi usang. Atau hanya sebagai pembanding dan pelengkap pengetahuan wawasan.
Sama halnya dengan buku-buku Pastor Johannes Hämmerle, buku yang lebih baru seperti: “Nias, eine eigene Welt. Sagen, Mythen, Ãœberlieferungen.“ tentu sudah jauh lebih baik dibandingkan buku lama Asal Usul… yang sedang kita perdebatkan di dalam buku Ho, Jendela Nias Kuno tersebut. Penafsiran itu berkembang seturut penemuan-penemuan baru. Sayangnya buku Johannes Hämmerle tsb. dalam bahasa Jerman.
Karena itu, memang penelitian itu terus-menerus berkembang, seolah tak mengenal batas Finish, yang menjawab semua kejadian masa lalu.
Jadi akan tetap menarik, melanjutkan diskusi kita ini. Untuk mencari keseimbangan sekaligus meluruskan pemahaman kita.
Ndrege da’a ua, Ya’ahowu.
Yustinus Waruwu.
Selain teliti membaca, memahami, dan menafsirkan syair hoho, kita juga perlu teliti melihat sebuah buku, khususnya tahun terbit buku.
Yustinus Waruwu: Sama halnya dengan buku-buku Pastor Johannes Hämmerle, buku yang lebih baru seperti: “Nias, eine eigene Welt. Sagen, Mythen, Überlieferungen.“ tentu sudah jauh lebih baik dibandingkan buku lama Asal Usul… yang sedang kita perdebatkan di dalam buku Ho, Jendela Nias Kuno tersebut. Penafsiran itu berkembang seturut penemuan-penemuan baru. Sayangnya buku Johannes Hämmerle tsb. dalam bahasa Jerman.
Pastor Johannes (ketika menanggapi kritik buku Ho Jendela Nias Kuno): Hal ini dapat dibaca secara panjang lebar dalam buku saya yang berjudul “Nias, eine eigene Welt. Sagen, Mythen, Überlieferungen.“ (Sankt Augustin: Academia Verlag, 1999. ISBN 3-89665-147-1).
Buku “Asal Usul Masyarakat Nias – Suatu Interpretasi” punya saya cetakan pertamanya tahun 2001. Pastor Johannes sendiri merujuk buku Jerman itu di beberapa bagian buku “Asal Usul…” (mis: hal. 12, 110).
JADI: mana buku yang lebih lama? mana buku yang lebih baru?
Buku bahasa Jerman itu (1999)jelas lebih tua mas Yustinus Waruwu dibanding buku “Asal Usul Masyarakat Nias” (2001).
Ah… mas Waruwu lagi becanda atau silaf sedikit nih…
Kalau ada niat dusta, publik sekarang udah enggak bisa dibo-ongin lagi lho…
Yaahowu fefu.
Ya’ahowu Pak Otomend!
Pak Otomend benar.
Pastor Johannes perlu bicara dalam diskusi interpretasi syair hoho Ama Rozaman ini, karena beliau telah membuat pernyataan internasional (di Vienna), arti Teteholi Ana’a adalah rahim, padahal interpretasinya keliru.
Pastor Johannes: “The mysterious and original village of Teteholi Ana’a is nothing else than the womb of the women.” (Paper presented at the Conference at the Museum for Ethnology, Vienna, October 30th & 31st 2006 – Traditional Architecture And Art On Nias – Session: Ethnology and Society).
Menanggapi komentar Uchi Bate’e dan harapan pengunjung umumnya, Redaksi Situs Yaahowu berencana mengirim semua artikel dan komentar terkait tentang interpretasi “Teteholi Ana’a” kepada P. Johannes Hammerle, OFMCap.
Barangkali Hammerle masih memiliki sejumlah argumen lain yang lebih meyakinkan. Kita tunggu. (E. Halawa)
Bagaimana kelanjutannya nih, koq “adem-ayem” (tenang-tenang) aja?
Senang bisa membaca tulisan Pak E. Halawa di atas serta beberapa komentar para saudara. Salut dan kagum bahwa sesama Ono Niha sudah mulai banyak yang BERMINAT mencari asal-usulnya, kendatipun pencarian itu masih penafsiran terhadap tulisan orang lain dan bukan penelitian langsung. Tentu saja ada nilai positif dari cara seperti itu, namun tak tertutup juga kemungkinan bahwa kesimpulan yang diambil darinya akan keliru juga. Suatu ketika bila tulisan tersebut (hoho versi S.W Mendröfa) ditemukan keliru, tentu juga apa yang dipahami sekarang berdasarkan tulisan itu akan turut keliru juga.
Walau demikian, usaha Pak E. Halawa untuk menyajikan paham atas hoho karya S.W Mendröfa pantas diancungi jempol. Saya sendiri senang membacanya kendatipun hoho tersebut bukan yang pertama kali saya baca.
Dari beberapa komentar yang ada atas uraian Pak Halawa, sangat disayangkan bahwa tekanan utama justeru diletakkan pada kemungkinan ketiga dari asumsi Toni Hia atas kekeliruan P. Hammerle (P. Hammerle telah MEMANIPULASI…).
Perbedaan dalam hal tafsiran atas suatu materi bisa saja terjadi, tetapi tidak lantas yang lain mesti dicap sebagai “memanipulasi”. Mungkin perlu diamati mengapa bisa terjadi hal seperti itu: seperti latar belakang bahasa dari masing-masing penafsir, dsb.
Untuk saya pribadi, sangat menarik mengikuti uraian Pak E. Halawa yang menjelaskan kata kunci yang ada dalam hoho (j) di atas. Pada salah satu bagian dari uraiannya, Pak Halawa menulis:
“Mifurinia†dalam kalimat “Ba mifurinia me so niha†berarti di belakang hari, merujuk pada suatu waktu atau periode setelah “sesuatu†telah berlangsung. Apa “sesuatu†itu dalam hal ini ? “Sesuatu†dalam hal ini adalah proses penciptaan dunia lapis ke delapan yang dinarasikan dalam bait (i) Hoho ini.
Harus diakui tidaklah gampang memahami bahasa Nias terlebih bila dirangkai dalam bentuk syair. Kalimat “Ba mifurinia me so niha”, diartikan oleh Pak Halawa sebagai “periode setelah ‘sesuatu’ berlangsung. Dari situ Pak Halawa mendasarkan argumennya bahwa P. Hammerle keliru dalam menafsirkan kalimat tsb. Sebab, Hammerle menerjemahkannya: â€Dan sesudahnya menyusul manusiaâ€. Selanjutnya, Pak Halawa menegaskan bahwa kalimat “Ba mifurinia me so niha” tidak menunjuk pada akibat dari sesuatu. Saya sendiri setuju dengan pernyataan itu.
Persoalannya ialah apakah terjemahan Hammerle itu (â€Dan sesudahnya menyusul manusiaâ€) menyatakan akibat? Saya sendiri tidak melihat kata yang menunjuk “akibat” dalam terjemahan itu. Yang ada ialah “dan sesudahnya”. Kata “sesudahnya” sejauh saya pahami menunjuk pada sesuatu yang terjadi setelah sesuatu terjadi. Berikut ialah kata “menyusul”. Menyusul selalu mengandaikan ada sesuatu yang disusul. Dalam kalimat Hammerle tersebut, yang disusul itu mesti ditempatkan dalam hubungannya dengan kata sebelumnya (sesudah”nya”). Dengan demikian, terjemaha Hammerle di atas bisa juga dimengerti: sesudah sesuatu (peristiwa, periode,dsb) terjadi….
Di sini saya tidak bermaksud membela pendapat siapapun. Saya hanya mau menegaskan bahwa tafsiran selalu juga tergantung pada pemahaman penafsir atas suatu materi. Pemahaman itu tidak hanya sebatas pemahaman kata melainkan juga pemahaman akan makna dari bahasa mite.
Karena itulah saya tidak berani mengatakan bahwa Hammerle telah MEMANIPULASI terjemahan hoho S.W Mendröfa. Barangkali pernyataan yang mengatakan bahwa Hammerle telah memanipulasi terjemahan kalimat tersebut merupakan kesimpulan yang tergesa-gesa.
Pada kesempatan ini saya juga ingin mengungkapkan rasa kekaguman saya pada pernyataan Sdr. Otomend yang menulis: “Selain teliti membaca, memahami, dan menafsirkan syair hoho, kita juga perlu teliti melihat sebuah buku, khususnya tahun terbit buku”.
Secara implisit Pak Otomend mengungkapkan bahwa beliau teliti melihat buku. Catatan kecil untuk itu ialah bila upaya kita memahami asal-usul leluhur Nias hanya didasarkan pada buku-buku yang telah dihasilkan oleh orang lain, sebenarnya kita masih belum bisa dikategorikan tahu tentang budaya sendiri. Sebab yang kita pahami hanyalah buku yang kita baca itu. Memadukan satu buku dengan buku yang lain dan kemudian mengambil kesimpulan serta membuat kritik atasnya.
Hingga kini, saya masih hormat kepada mereka yang berjuang untuk memelihara dan mendalami kebudayaan Nias (kendatipun mereka bukan orang Nias) dengan bercucuran keringat, daripada orang Nias sendiri yang hanya tahu melontarkan kritik tanpa menghasilkan apa-apa bagi penelusuran kebudayaan sendiri. Memang kritik jjuga suatu sumbangan yang bisa dilihat secara positif, tapi sumbangan seperti itu masih berbeda dengan mereka yang meluangkan waktu, energi, materi (uang) untuk memelihara dan menggali unsur-unsur kebudayaan Ono Niha.
Untuk Sdri Uchi Bate’e. Saya setuju dengan pernyataan Sdri agar P. Hammerle ikut berbicara dalam diskusi ini. Tapi sebenarnya saya sendiri menyadari bahwa bisa juga Hammerle tidak ikut dalam diskusi ini. Mengapa? Sudah menjadi kebiasaan bahwa bila kita tidak setuju terhadap suatu teori orang lain, kita bisa membuat suatu karya lain yang berbeda dengan teori tersebut. Sidang pembacalah yang akan mengambil kesimpulan sendiri. Bila teori orang lain itu berskala internasional, ya….bila kita keberatan, mengapa kita juga tidak membuat teori lain yang berskala internasional? Bukankah seseorang bebas mengungkapkan teorinya? Bahwa orang lain tidak setuju dengan teori itu, sah-sah saja. Dan itu soal kedua, bukan?
Akhirnya, saya mohon maaf bila ada ungkapan-ungkapan yang kurang berkenan dalam tulisan saya di atas.
Ya’ahowu.
Respon dari L. Ndraha tentang tulisan E. Halawa dalam forum ini cukup simpatik. Kembali kita rasakan bahwa di relung hati orang Nias selalu ada gairah dan kerinduan untuk berdialog hal-hal yang menyangkut Nias. Apalagi, saat ini banyak buku dan situs tentang Nias yang memicu minat perbincangan kita tentang Nias. Termasuk di forum ini, yang mencoba membuka berbincangan kita dengan seorang penulis buku sekaliber Pastor Hammerle (meski sejauh ini belum kesampaian).
Contohnya, Toni Hia ingin jawaban (klarifikasi?) tiga butir persepsinya (yang dikutip E. Halawa di belahan akhir artikelnya ini). Ada baiknya kita ikuti “jalan pikir” Toni Hia, bagaimana beliau sampai pada tiga butir kemungkinan itu. Lihat respon # 6 Toni Hia dalam artikel Pengertian “nidada”, “nifailo” dalam Buku Asal-usul Masyarakat Nias – Suatu Interrpetasi (di situs yaahowu ini).
Di situ Toni Hia menanggapi kalimat “Dan tanpa keterangan lebih lanjut katanya:…” (Asal Usul Masyarakat Nias – Suatu Interpretasi, hal. 108). Toni Hia melihat bait (j) yang dimulai dengan syair “Ba mifurinia me so niha” (Fondrakö Ono Niha Agama Purba – Hukum Adat Mitologi – Hikayat Nias, hal. 23) berkaitan dengan “narasi” pada (buku yang sama) hal. 47-48 dan hal. 120-124.
Jadi, syair bait (j) itu tidak berdiri sendiri dengan “tanpa keterangan” (seperti yang ditulis dalam buku Asal Usul Masyarakat Nias – Suatu Interpretasi). Syair itu ada konteksnya di bagian lain buku tulisan Bapak S.W. Mendröfa yang menerangkan bait (j). Buku Bapak S.W. Mendröfa tersebut memang terdiri dari hoho dan narasi (teks prosa). Maka Toni Hia mempertanyakan interpretasi Pastor Hammerle yang terfokus hanya pada bait (j).
Menurut saya, jalan pikir Toni Hia cukup logis. Dan saya (barangkali kita semua juga) pun ingin tahu proses pemahaman Pastor Hammerle atas buku Bapak S.W. Mendröfa, yang dituangkan beliau dalam bukunya. Ini tentu turut memperkaya pemahaman kita atas kedua buku tersebut khususnya, dan umumnya atas mulai melimpahnya bahan-bahan tentang Nias baik di buku maupun situs internet.
Hemat saya, ini merupakan dialog dalam merespon gairah dan kerinduan kita untuk mengetahui seluk-beluk sebuah komunitas etnis yang telah ditulis dalam sebuah buku, yang kebetulan mengacu pada sebuah buku lainnya. Ataukah dialog itu memang sudah tertutup?
Tulisan Sdr. Otomend di atas sangat menarik dan diungkapkan dengan baik penuh persaudaraan. Tak dapat dipungkiri bahwa dalam hati Ono Niha, khususnya generasi mudanya, ada kerinduan untuk mengenal, memahami dan mendalami komunitas etnisnya sendiri. Kerinduan itu semakin tinggi tatkala disadari bahwa orang-orang yang sungguh mengenal segala tradisi leluhur masyarakat Nias mulai (telah) langka ditemukan. Sementara itu, generasi muda hampir (untuk tidak mengatakan “tidak”) mengenal tradisinya sendiri, bahkan asal-usul nenek moyangnya sendiri. Karena itu saya juga termasuk dalam barisan ono niha yang mendukung segala upaya pengenalan, pemahaman dan pendalaman berbagai hal yang berkaitan dengan tradisi Nias. Karena perasaan itu juga saya sangat senang dengan dialog ini.
Apa yang diuraikan oleh Sdr. Otomend di atas, khususnya tentang pendapat Toni Hia, dapat saya terima. Pada paragraf 2 dalam tulisan di atas, Sdr. Otomend menulis: “…Ada baiknya kita ikuti “jalan pikir†Toni Hia, bagaimana beliau sampai pada tiga butir kemungkinan itu…”
Satu hal yang menarik dalam kalimat itu ialah: “…tiga butir KEMUNGKINAN…”. Kata “kemungkinan” sejauh saya pahami belumlah bisa disebut sebagai KEPASTIAN, melainkan menuntut suatu upaya agar sampai pada suatu kepastian. Inilah poin pertama yang membuat saya senang dengan uraian Pak Otomend di atas.
Hal kedua ialah penekanan Pak Otomend pada upaya dialog (hal ini diungkapkan pada paragraf pertama dan terakhir). Kerinduan dan harapan untuk berdialog itu mungkin ada kaitannya juga dengan kalimat “…tiga butir kemungkinan…” di atas.
Karena kedua poin tersebutlah saya tidak berani mengatakan Hammerle telah MEMANIPULASI terjemahan sayair hoho Pak S.W Mendröfa (bdk. komentar #1 Laso di atas). Pernyataan sejenis itu selain bersifat provokatif juga merubah muatan kata KEMUNGKINAN menjadi sesuatu yang sudah PASTI. Kadang-kadang pernyataan seperti itu tidak akan menghantar kita pada dialog yang sehat, dan tujuan tidak akan tercapai. Boleh saja Hammerle keliru atau bahkan salah, tetapi itu tidak berarti bahwa dia MEMANIPULASI. Manipulasi itu sejauh saya pahami, sudah mengandung penilaian moral. Padahal Toni Hia baru sampai pada KEMUNGKINAN. Suatu tindakan yang bisa dikenai penilaian moral bila saya tidak salah ialah suatu tindakan yang sudah PASTI (berkaitan dengan alasan tindakan, motivasi, dsb). Dalam hal ini, mungkin apa yang dikatakan oleh nenek moyang kita dahulu (Mana-mana zalawa, mana-mana gere, fakaole lela sa’atö na mohede) ada betulnya.
Apa yang diungkapkan oleh Pak Otomend di atas serta cara penyampaiannya merupakan upaya untuk membangun dialog familiar. Dan inilah yang kita harapkan dalam upaya mengenal, memahami dan mendalami komunitas etnis Nias.
Saya sebenarnya tidak begitu mengerti tentang ilmu tafsir. Akan tetapi saya hanya teringat pada pendapat para tokoh hermeneutik yang mengatakan bahwa dalam penafsiran tidak bisa dipisahkan antara subyek dan teks. Subyek ialah interpretator (termasuk latar belakangnya,dll) sedangkan teks ialah tulisan literer itu sendiri serta segala yang berkaitan dengannya (ante teks, teks dan post teks serta penulis dalam arti luas [termasuk informasi]). Dengan demikian bisa dimaklumi bila seorang interpretator akan menghasilkan interpretasi yang berbeda dari orang lain. Dalam dunia hermeneutik misalnya interpretasi yang dihasilkan oleh Jacques Derrida akan berbeda dengan yang dihasilkan oleh Georg Gadamer. Mengapa? karena latar belakang serta metode yang digunakan oleh kedua interpretator berbeda. Derrida dikenal dengan metode dekonstruksinya sedangkan Gadamer menggunakan metode rekonstruksi yang diadopsi dari Schleiermacher.
Dengan itu saya hanya sekedar mengungkapkan bahwa apa yang dikemukakan baik oleh Toni Hia maupun Hammerle, adalah informasi yang perlu didalami/dikaji ulang tanpa harus memberikan penilaian moral atau sejenisnya terhadap mereka. Salah satu cara pendalaman dan pengkajian ulang itu ialah apa yang sudah di mulai di forum ini. Dan usaha itu tentu kita dukung bersama.
Demikian saja, Ya’ahowu