Kritik, Berpikir dan Bersikap Kritis

Wednesday, January 17, 2007
By nias

E. Halawa*

Pendahuluan
Dalam dunia seni istilah kritik merupakan kosa-kata sehari-hari. Suatu karya sastra atau karya seni lainnya, begitu ia ditampilkan kepada umum, cepat atau lambat mendapat sorotan dari para peminat atau pemerhati karya seni yang bersangkutan. Peminat karya seni yang tidak memiliki pemahaman yang mendalam tentang nilai suatu karya seni akan mendasarkan pilihannya pada kritik yang disampaikan oleh seniman yang mengkhususkan diri di bidang kritik. Ia akan mencari majalah atau surat kabar yang memuat kritik terhadap karya seni yang sedang diincarnya. Sebaliknya, si pencipta karya seni dengan hati berdebar-debar menunggu tanggapan pemerhati (kritik) terhadap karya seninya.

Apa sebenarnya kritik itu ? Kritik dapat diartikan sebagai penilaian yang mengungkapkan baik keistimewaan, kekhasan maupun kelemahan dari suatu karya cipta semata-mata dari kenyataan apa adanya yang ditunjukkan oleh karya cipta itu sendiri. Jadi melalui kritik seseorang meneropong aspek-aspek positif dan negatif dari suatu karya cipta, baik ciptaannya sendiri maupun ciptaan orang lain. Dengan kata lain, ia melakukan penilaian dan penimbangan seksama dan teliti terhadap karya tersebut.

Menurut Ballard & Clanchy (1984), penilaian atau pertimbangan yang seksama atau teliti itu dicapai melalui telaah atau analisis dan pertanyaan yang sistematik. Selanjutnya, menelaah (menganalisis) suatu masalah berarti mencoba memutuskan atau menetapkan: (1) unsur-unsur apa saja yang terkandung dalam masalah tersebut, (2) apa bukti-bukti keberadaannya atau sifat-sifatnya, (3) bagaimana unsur-unsur itu berhubungan satu dengan yang lain, dan (4) seberapa penting masing-masing unsur tersebut.

Keliru sebagai fitrah manusia
Kritik merupakan pengakuan bahwa manusia itu tidak sempurna, memiliki kelemahan dan mudah keliru. Tetapi keliru adalah fitrah manusia. Hal ini harus disadari sehingga keterbatasan atau kelemahan yang inheren dalam setiap manusia (dalam hal ini peneliti) seharusnya menjadi kekuatan. Kelemahan, keterbatasan atau kekeliruan bukanlah aib ! Namun, membiarkan kelemahan, keterbatasan dan kekeliruan menodai hasil karya penelitian kita sebagai peneliti adalah hal yang harus dihindari.

Keliru itu indah” adalah sebuah judul tulisan dalam kolom “inovasi“ sebuah mingguan ekonomi (Gede Prama, 1998). Dalam tulisan singkat itu, penulis mengungkapkan bahwa manusia-manusia besar sepanjang zaman yang punya peran dalam mengangkat peradaban manusia adalah “kumpulan manusia keliru” di zamannya masing-masing. Tetapi hal-hal yang dikemukakan di atas tidak boleh digunakan sebagai alasan untuk melakukan penelitian secara seadanya, serampangan, atau asal-asalan. Sebagai suatu kegiatan ilmiah, peneliti wajib mengusahakan ketelitian dalam metode, prosedur, atau pendekatan, relatif terhadap tujuan yang ingin dicapai. Di sini kata relatif dipakai untuk menunjukkan bahwa tingkat ketelitian atau keakuratan yang dituntut adalah sejauh ia mampu memberikan gambaran yang cukup spesifik terhadap gejala yang diamati.

Bentuk-Bentuk Kritik
Kritik terhadap sesuatu ide atau karya dapat muncul kapan saja dan dalam berbagai manifestasi. Misalnya, keluhan konsumen terhadap suatu barang atau alat produk teknologi tertentu yang kurang atau tidak memuaskan dapat dianggap sebagai sebuah kritik. Ketika seorang peneliti merujuk dan mengomentari hasil-hasil penelitian terdahulu dalam suatu karya ilmiah, dia telah melakukan kritik terhadap ide atau karya itu. Dalam pertemuan ilmiah (seminar, dsb) kritik dapat langsung disampaikan kepada penyaji makalah dalam question time, atau dalam perbincangan informal selama jeda, misalnya. Penilai (reviewer) akan mengajukan kritik terhadap makalah yang diperiksanya dalam lembaran yang disediakan untuk tujuan itu. Dalam jurnal-jurnal ilmiah biasanya ada ruang (kolom) bagi pembaca untuk menyampaikan pendapatnya terhadap tulisan yang muncul dalam jurnal itu.

Dalam kenyataannya, kritik pada umumnya menekankan hal-hal negatif berupa kelemahan-kelemahan dari objek kritik. Hal inilah yang membuat sebagian kalangan tidak menerima kritik sebagai sesuatu yang wajar saja – seseorang tidak mau mengkritik agar (pada gilirannya) iapun tidak dikritik.

Penelitian Sebagai Suatu Kritik
Suatu penelitian adalah bentuk kritik terhadap penelitian (karya) sebelumnya dalam bidang yang sama. Dalam suatu penelitian ingin ditemukan jawaban (solusi) terhadap pertanyaan atau masalah yang belum terjawab. Dalam suatu usulan penelitian, misalnya, ditinjau suatu pokok permasalahan dengan menggali informasi dari berbagai literatur yang membahas masalah yang sama. Dalam bagian pendahuluan atau latarbelakang dikemukakan berbagai capaian dan kelemahan dari karya (penelitian) terdahulu, lalu beberapa aspek yang berupa kelemahan atau keterbatasan disorot lebih tajam sebagai alasan untuk melakukan penelitian lanjutan. Hal ini tidak lain adalah sebentuk kritik. Hasil dari penelitian ini pun kelak menjadi bahan kritik, sebab kebenaran ilmiah selalu bersifat relatif dan sementara, tidak pernah mutlak dan final.

Oleh karena kritik bisa ‘menelanjangi‘ kelemahan-kelemahan suatu penelitian, maka peneliti harus berusaha dalam batas-batas kemampuannya untuk meminimumkan kelemahan-kelemahan itu, tetapi bukan menyembunyikan-nya ! Hal ini dapat dilakukan dengan mengumpulkan informasi yang cukup (dalam bentuk literatur, data, dsb.), menerapkan metode yang baik dan benar, melakukan kritik diri (self-criticism) terhadap karya itu sendiri sebelum dipublikasikan. Sebaliknya, seorang pengkritik harus pula memahami secara umum topik yang menjadi sasaran kritiknya. Makin rinci dan tajam kritiknya, seharusnya ini menunjukkan makin rinci pula dia memahami seluk-beluk topik yang sedang dikritiknya.

Berpikir dan bersikap kritis
Berpikir dan bersikap kritis berarti tidak lekas percaya, selalu menaruh ‘curiga‘ dan keraguan terhadap sesuatu yang dianggap ‘fakta‘ atau ‘gejala‘ sebelum diketahui secara pasti (atau mendekati pasti) bahwa memang demikianlah adanya. Dengan kata lain, berpikir dan bersikap kritis berarti tajam dalam meng-analisis sesuatu fakta atau gejala.

Seorang yang berpikir kritis tidak mudah dipukau oleh suatu ‘fakta‘ atau ‘gejala‘, tidak mengambil kesimpulan sebelum melakukan investigasi dan analisis yang memadai. Seorang yang kritis juga tidak mudah dipukau oleh paparan, pendapat atau analisis orang lain, meskipun paparan, pendapat atau analisis itu datang dari seorang pakar di bidangnya. Ia tidak menilai kadar kebenaran dari suatu pernyataan berdasarkan siapa yang menyampaikannya tetapi berdasarkan apa dan isi dari yang dinyatakan.

Sikap kritis juga berarti menjauhi sikap latah (ikut-ikutan). Dalam beberapa waktu belakangan, misalnya, banyak bermunculan istilah-istilah atau ungkapan yang dari sisi kebahasaan kacau seperti: “suatu masalah-masalah ..”*, “beberapa hal-hal …”, dan sebagainya. Ungkapan-ungkapan rancu itu biasanya menyebar dengan cepatnya, dan tidak jarang menjangkiti para peneliti yang barangkali mengikutinya karena tidak mau ketinggalan atau memang sedang mengikuti trend.

Kritik diri (Self-criticism)
Sikap kritis tidak hanya ditujukan pada karya peneliti lain, melainkan dan terutama terhadap diri dan karya sendiri. Hal ini memang tidak mudah karena ‘ego‘ seseorang sering lebih kuat dan senantiasa berjaga-jaga untuk menutupi kelemahan diri. Tetapi kritik diri (self-criticism) harus bisa ditumbuh-kembangkan, mengingat bahwa yang memerlukan perbaikan dan yang berkepentingan memperbaikinya adalah diri sendiri. Lagi pula, tidak jarang hal-hal yang dirasakan sebagai kelebihan diri justru kebalikannya; demikian sebaliknya, hal-hal yang kita anggap kelemahan merupakan kelebihan yang belum didayagunakan. Yang pertama-tama menyadari semua hal itu (mestinya) adalah diri sendiri.

Dengan berlatih kritis terhadap diri atau karya sendiri, seorang peneliti akan dengan mudah menerima kritik pihak lain sebagai hal yang positif dan konstruktif. Demikian juga apabila ia harus mengkritik karya orang lain, hal itu dilakukannya karena terpanggil untuk memberikan sumbangan yang positif dan konstruktif terhadap karya itu.

Pentingnya Budaya dan Sikap Kritis
Mengapa sikap kritis harus ditumbuh-kembangkan ? Dalam masyarakat yang lemah daya kritisnya merajalela pembodohan, berkembang berbagai macam kemunafikan yang menguntungkan pihak tertentu dan merugikan pihak lain. Dalam masyarakat yang budaya kritisnya telah berkembang, ruang dan kesempatan terhadap pembodohan semacam itu dipersempit dan sikap egaliter berkembang.

Sikap dan budaya kritis menjadi semacam penangkal dari kesewenang-wenangan sikap atau tindakan satu orang (kelompok) terhadap orang (kelompok) lain. Masing-masing (orang / kelompok) lebih berhati-hati dalam bertindak, bersikap atau mengeluarkan pernyataan karena lingkungannya selalu memasang ‘mata pengawasan’ terhadapnya. Setiap individu makin terasah daya nalarnya karena setiap saat pendapat atau gagasannya dihadapkan pada penilaian objektif dan terbuka sehingga kecil sekali peluang baginya untuk sekadar mengeluarkan pendapat, pernyataan atau membuat kebijakan yang berimplikasi luas tanpa memikirkannya dalam-dalam, tanpa pertimbangan matang. Apabila dilakukannya juga, dia akan dihadapkan pada kecaman yang sangat tidak bersahabat.

Dalam lingkungan penelitian sikap kritis harus ditumbuhkan, dipelihara dan dikembangkan. Dalam penelitian, kritik ibarat angin yang menggoyang-goyang pohon (dalam hal ini penelitian) dari kecil hingga menjadi pohon yang rimbun. Goncangan-goncangan angin itu bermanfaat untuk memperkuat akar-akar, dan cabang-cabang pohon hingga ia tumbuh dan berdiri kokoh.

Ilmu dan teknologi tanpa kritik menjadi mandul, sulit berkembang. Demikian juga penelitian sebagai suatu aktivitas ilmiah sangat memerlukan kritik. Kritik akan selalu mengingatkan, menuding, memelototi, sehingga kehadirannya hampir selalu dianggap sebagai ‘pembuat onar’. Akan tetapi justru hal-hal inilah yang merupakan manfaat dari kritik. Dengan hal-hal itu seorang peneliti diharapkan selalu berusaha menghasilkan karya ilmiah yang terbaik dalam batas-batas kemampuannya. Jadi tidaklah pada tempatnya seorang peneliti alergi terhadap kritik.

Sayangnya, lingkungan penelitian sering menjadi hambatan utama untuk mempertajam daya kritis. Peneliti sering dipaksa menerima ‘sesuatu‘ tanpa diberi kesempatan (bahkan dilarang – secara terang-terngan atau secara samar-samar) untuk mengungkapkan pendapat tentang ‘sesuatu‘ itu. Seringkali kalangan peneliti disodorkan ‘paket-paket‘ program atau kebijakan yang sudah dikemas dari atas, dan kalangan peneliti (diasumsikan) otomatis mampu ‘mengunyahnya‘. Seringkali sikap kritis diartikan sebagai pembangkangan yang harus cepat-cepat diredam agar ‘virus‘ itu tidak menyebar ke mana-mana.

Bagaimana sikap kritis ditumbuh-embangkan ? Dalam lingkungan yang sangat terbatas, kegiatan-kegiatan ilmiah yang bersifat intern seperti seminar dan sebagainya dapat menjadi ajang latihan untuk bersikap kritis. Adalah jauh lebih baik dan bermanfaat mendapat / mengajukan kecaman dari / kepada teman-teman di kalangan sendiri untuk mempoles suatu karya penelitian sehingga “layak publikasi” ketimbang mendapat ‘cercaan‘ dari kelompok peneliti lain.

Rujukan:

  1. Ballard, B. & Clanchy, J., 1984: Study Abroad – A manual for Asian students, Longman, Kuala Lumpur.
  2. Gede Prama, 1998: Keliru Itu Indah, Artikel dalam kolom Inovasi mingguan berita Warta Ekonomi No. 24/X/, 2 November.

* Seingat penulis, frase “suatu masalah-masalah ..” muncul dari salah seorang petinggi militer beberapa tahun sebelum tahun “reformasi” 1998. Sejak itu, frase ini dengan cepat menyebar. Dalam sebuah khotbah di sebuah gereja, penulis pernah mendengar variannya: “suatu permasalahan-permasalahan …” Petinggi militer itu tak pernah lagi memakainya, tapi justru tetap melekat dalam ucapan rekan-rekannya.

Tags:

30 Responses to “Kritik, Berpikir dan Bersikap Kritis”

  1. 1
    gerda Says:

    Sasaran Kritik:
    Orang yang memberanikan diri untuk melancarkan kritik, harus mengetahui kenyataan yang dihadapi. Kalau tidak, kritiknya akan seperti hantaman di udara. Dia tidak benar-benar berbicara tentang apa yang seharusnya dibicarakannya. Maka sasaran kritik adalah kenyataan yang kita hadapi.

    Macam pertanyaan dalam kritik adalah: apakah sesuatu tersebut sudah seperti yang seharusnya? Dengan demikian ada suatu persyaratan tertentu yang berada dalam daerah tanggung jawab.

    Segala sesuatu yang berada di luar daerah tanggung jawab, tidak termasuk daerah kritik. Kritik tidak dapat dilancarkan terhadap: hujan, tumbuhnya organisme, seekor kucing yang mencuri seekor ikan di atas meja makan redaksi situs yaahowu, bayi baru lahir yang belum dapat mempertanggungjawabkan perbuatannya.

    Benda dapat menjadi sasaran kritik, sepanjang dia tergantung dari manusia yang mempunyai tanggung jawab atas benda itu.
    Jadi, sasaran kritik adalah manusia yang bertanggung jawab, dan dunia yang tergantung dari manusia yang harus mempertanggungjawabkannya.

    Sumber: Kwant, Mens en Kritiek, 1975.

  2. 2
    Saro Z Says:

    Pernahkah anda melihat patung yang termasyhur dari Auguste Rodin (1840-1917)? Patung itu adalah seorang manusia yang sedang tekun berpikir. Dialah lambang kemanusiaan kita, yaitu homo sapiens (makhluk yang berpikir).

    Berpikir mencirikan hakekat manusia, dan karena berpikirlah dia menjadi manusia. Manusia berpikir kalau sedang menghadapi masalah. Masalah pada hakekatnya merupakan sebuah pertanyaan yang mengandung jawaban.

    Untuk bisa menjawab permasalahan secara kritis, kita harus mengetahui dengan jelas hubungan-hubungan logis antara faktor yang terlibat dalam masalah tersebut.

    Selamat berpikir Bang Halawa…

    Sumber: Jujun, Ilmu dalam Perspektif, 1981.

  3. 3
    ehalawa Says:

    Gerda: “Orang yang memberanikan diri untuk melancarkan kritik, harus mengetahui kenyataan yang dihadapi. Kalau tidak, kritiknya akan seperti hantaman di udara. Dia tidak benar-benar berbicara tentang apa yang seharusnya dibicarakannya. Maka sasaran kritik adalah kenyataan yang kita hadapi.”

    Gerda, pihak yang dikritik tidak jarang menyangka (mengasumsikan) para pengkritik tidak “mengetahui kenyataan yang dihadapi”. Gerda dan saya bisa mengajukan pertanyaan ini kepada mereka: bagaimana Anda mengklaim diri sebagai pihak yang “mengetahui kenyataan yang dihadapi” kalau Anda sendiri tidak mau menerima kenyataan bahwa “kritik adalah kenyataan yang harus dihadapi” ?

    Ini sebuah analogi, Gerda. Andaikan saya seorang pembuat kue, lalu menjual kue tersebut di warung milik Gerda. Lantas, kue saya tidak laku, atau langsung mendapat penilaian dari seorang atau sejumlah pembeli langganan Gerda: “Waduh, kue teman Gerda gak enak …”.

    Kalau saya tetap ingin menjadi seorang pembuat kue yang baik, tentulah saya tidak akan mengatakan kepada pembeli kue yang mengeluh tersebut: “Apakah kamu tidak tahu berapa waktu, tenaga, pikiran dan ramuan yang saya habiskan untuk membuat kue ini ? Apakah kamu tidak “mengetahui kenyataan yang saya hadapi ?” Saya tentu tidak akan menjawab seperti itu, Gerda.

    Saya akan menahan diri dan mengatakan (minimal kepada diri sendiri): “Ya, saya akan coba melihat kembali ramuan kue saya, mengapa sampai ada penilaian yang tidak kuharapkan.” Pernyataan ini “netral”, tidak langsung menampik atau membenarkan keluhan para pembeli kue saya. Sikap ini memberi waktu untuk berefleksi …

    Juga, para pembeli bebas melakukan penilaian, terlepas dari apakah mereka memahami “kenyataan yang saya hadapi” atau tidak.

    Selanjutnya, asumsi dasar saya (selaku pembuat kue) terhadap para pembeli kue saya adalah: lidah mereka masih bisa membedakan kue yang tergolong enak dan tergolong tak enak. Percuma saya memberikan rasa tertentu (lezat, asin, dsb) pada kue saya, kalau lidah para pembeli tak bisa merasakan apa-apa. Saya membuat kue untuk para calon pembeli yang berlidah “normal”.

    Gerda: “Segala sesuatu yang berada di luar daerah tanggung jawab, tidak termasuk daerah kritik.”

    Saya belum memahami secara tuntas pernyataan ini. Semoga pernyataan di atas tidak bermaksud membatasi “hak menilai, hak memelototi” hanya kepada para juri formal yang telah diberi mandat oleh institusi formal. Kerap kali para juri informal (baca: pengkritik tanpa mandat formal) menemukan keanehan-keanehan yang tak tertangkap oleh mata para juri formal tadi, karena berbagai alasan yang bisa menjadi sebuah topik khusus lagi.

    Gerda: “Kritik tidak dapat dilancarkan terhadap: hujan, tumbuhnya organisme, seekor kucing yang mencuri seekor ikan di atas meja makan redaksi situs yaahowu, bayi baru lahir yang belum dapat mempertanggungjawabkan perbuatannya.”

    Setuju. Malah sebaliknya: hujan, tumbuhan, seekor kucing di atas meja makan Redaksi Yaahowu, dan bayi yang baru lahir itu … dapat melancarkan kritik dengan cara mereka sendiri …

    Alam mengkritik manusia misalnya melalui bencana buatan manusia, kucing bisa mengkritik pemiliknya (yang sering lupa memberinya makan) dengan mencuri makanan tuannya; bayi menangis sejadi-jadinya kalau ibu atau pengasuhnya lupa atau sengaja membiarkan popoknnya yang basah melekat di badannya berjam-jam.

    Terima kasih, Gerda & Saro, atas masukan yang semakin memperkaya dan mencerahkan.

  4. 4
    Heru Zai Says:

    Dogmatisme membuat orang takut berpikir lain dari sistem pengetahuan yang berlaku. Orang menjadi tidak dewasa karena didikte dan menganut opini-opini tanpa penyelidikan rasional. Oleh karena itu, bersikap kritis berarti berpikir sendiri.
    Semboyan pencerahan adalah “Sapere Aude!”, beranilah berpikir sendiri.
    Berani berpikir sendiri berarti berani membebaskan diri dari dikte dari luar, yakni dari sistem metafisis yang ditanamkan ke dalam pikiran orang dari luar dirinya.

    Sumber: Habermas, “Dogmatisme, reason, dan decision”, 1974.

  5. 5
    Desi Zega Says:

    Wah… wah… diskusi di sini cukup rame n kaya ya…
    Pustakanya ada Kwant dari Holland, Jujun dari Bandung, dan Habermas dari Jerman.
    Klo Bang Halawa jurusnya kombinasi nih Bang, dari Indonesia dan manca… hehehe. Selamat diskusi!
    Semoga memberi pencerahan bagi kita semua!

  6. 6
    ortega Says:

    Deskripsi pertama tentang dunia dilembagakan dalam mitos dan agama. Kebenarannya sama sekali tak boleh dipertanyakan. Kebenaran itu diteruskan generasi demi generasi, dan terjaga ketat. Setiap pertanyaan atau ide baru dicap bidaah, dan pencetusnya dikucilkan.

    Ketika Galileo yang menelaah berdasarkan penemuan Copernicus, mengemukakan fakta bahwa bumi bukanlah pusat jagat raya, melainkan hanya satu planet yang mengelilingi matahari, dia lalu dipenjarakan, diancam dengan siksaan dan dituntut agar menarik pernyataan tersebut sambil berlutut.

    Kemudian muncul para filsuf yang meruntuhkan tembok tradisi dogmatisme. Mulailah tradisi rasional yang didasari pada diskusi kritis daripada spekulasi.

    Tradisi intelektual yang tadinya bersifat defensif dan sekedar memelihara doktrin-doktrin yang ada, kini didasari oleh sikap bertanya dan menjadi daya yang menggerakkan perubahan.

    Itulah kritisisme!

    Sumber: Popper, The Logic of Scientific Discovery, 1959.

  7. 7
    Laso Telaumbanua Says:

    Kritisisme yang disebut Karl Popper telah sangat berkembang luas dan intens di jaman sekarang.

    Jurgen Habermas mengkritik modernitas dengan teori kritis yang dituangkan dalam bukunya The Theory of Communication Action. Sedangkan Jacques Derrida mengkritik rasionalitas barat, sehingga dia masuk ke posmodern. Kritik Derrida terkenal dengan nama dekonstruksi.

    Sumber: Sapere Aude (berani berpikir sendiri), 2007.

  8. 8
    Jerry Fernandez Says:

    Pengetahuan merupakan hasil kerjasama dua unsur: pengalaman inderawi dan keaktifan akal budi.

    Pengalaman inderawi merupakan unsur a-posteriori (yang datang kemudian), sedangkan akal budi merupakan unsur a-priori (yang datang lebih dulu).

    Empirisme dan/atau rasionalisme hanya mementingkan satu dari dua unsur itu, sehingga hasilnya setiap kali berat sebelah.
    Pengetahuan selalu merupakan sebuah sintesis.

    Dialog antara Gerda dan Ehalawa, contoh sebuah sintesis.

    Gerda: Benda dapat menjadi sasaran kritik, sepanjang dia tergantung dari manusia yang mempunyai tanggung jawab atas benda itu.

    Ehalawa: Alam mengkritik manusia misalnya melalui bencana buatan manusia, kucing bisa mengkritik pemiliknya (yang sering lupa memberinya makan) dengan mencuri makanan tuannya; bayi menangis sejadi-jadinya kalau ibu atau pengasuhnya lupa atau sengaja membiarkan popoknnya yang basah melekat di badannya berjam-jam.

    Keduanya, baik Gerda maupun Ehalawa, memiliki pendapat yang sama: yang dikritik adalah tetap “manusia yang mempunyai tanggung jawab”.

    Sumber: Immanuel Kant, Kritik der reinen Vernunft, 1781

  9. 9
    Wiem Hoerst Says:

    Dialog Gerda dan Ehalawa rasa-rasanya bukan contoh sintesis murni; tidak ada kontradiksi pemikiran, yang merupakan alasan untuk merujukkan (baca: mensintesiskan) keduanya.

  10. 10
    Erman Naibaho Says:

    Ketika seseorang menyebut “rasa-rasanya” maka “pengalaman inderawi”-nya sedang berjalan. Dan ketika menelusuri “alasan untuk merujukkan” maka “keaktifan akal budi”-nya yang bekerja.

    Ini merupakan satu contoh lagi dari pengetahuan sintesis. Immanuel Kant mengatakannya sebagai “pengetahuan sintesis a-priori”, untuk membedakannya dari pengetahuan analitis, dan pengetahuan sintesis a-posteriori.

  11. 11
    Abadi Says:

    Ternyata pengetahuan a la Kant tidak serumit yang diduga banyak orang.

    Namun, mengapa acap kali orang menggali sesuatu pengetahuan yang lebih dalam, misalnya menjelaskan masalah Provinsi Tapanuli, memecahkan misteri Nias, menelurusi makna teteholi ana’a, maupun berdialog tentang masalah apapun lainnya, orang seringkali bingung dan terbentur pada tembok perbedaan pendapat yang seolah-olah sulit didamaikan?

    Itu karena proporsi inderawi lebih aktif dominan ketimbang akal budi. Orang cenderung tergoda mendekati masalah secara inderawi. Sikap manusiawi yang cenderung terbawa emosi memenjarakannya dalam penilaian subjektif, menjadi kabut yang menutupi hakekat objektivitas sesuatu hal yang tengah dikritisi.

    Dalam iklim yang emosional tidak tercipta dialog yang setara dan sehat yang dapat menghasilkan sesuatu pengetahuan yang bermakna bagi kehidupan umat manusia.

    Atau, memang barangkali ada orang yang “aneh” yang ingin memelihara sesuatu masalah tetap sebagai misteri, karena dia mendapat akses keuntungan yang lebih banyak bila masalah itu tidak pernah terpecahkan ketimbang bila masalah itu terpecahkan.

    Sumber: Sapere Aude (berani berpikir sendiri), 2007.

  12. 12
    otomend Says:

    Pikiran manusia (manusia individual, suku bangsa manusia, setiap kebudayaan, dan sejarah intelek manusia umumnya) melewati 3 tahap: teologis, metafisis, dan ilmiah.

    Tahap teologis (berdasarkan fantasi) dibedakan: animisme, politeisme, dan monoteisme. Dalam tahap animisme orang beranggapan benda merupakan sesuatu yang berjiwa. Banyak benda disebut suci atau sakti. Benda itu kemudian dianggap dewa-dewa. Ada dewa api, dewa laut, dewa angin, dewa panen, dll. Dewa-dewa diatur dalam suatu sistem sehingga menjadi politeisme. Politeisme yang muncul dapat dikembalikan kepada satu kekuatan saja, suatu keilahian, dan timbullah monoteisme.

    Tahap metafisis merupakan variasi dari cara berpikir teologis, karena para dewa diganti kekuatan-kekuatan abstrak. Terjemahan metafisis dari monoteisme misalnya terdapat dalam pendapat “semua kekuatan kosmis dapat disimpulkan dalam konsep alam, sebagai asal mula semua gejala”.

    Kalau manusia mengerti bahwa tidak berguna untuk mencari pengetahuan mutlak (baik teologis maupun metafisis), kalau dia tidak lagi mencari asal dan tujuan segala sesuatu, hakekat benda-benda, maka ia memasuki tahap positif. Dia mulai menemukan hukum-hukum alam hanya dengan mengamati alam dan hanya dengan menggunakan akal budi.

    Sumber: Auguste Comte, Cours de Philosophie Positive.

  13. 13
    Dedi Elfian Piliang Says:

    Ada 3 tahap dalam perkembangan kebudayaan: mitis, ontologis, dan fungsionil.
    Tahap mitis: sikap manusia yang merasakan dirinya terkepung oleh kekuatan-kekuatan gaib sekitarnya, yaitu kekuasaan dewa-dewa alam raya atau kekuasaan kesuburan, seperti dipentaskan dalam mitologi-mitologi yang dinamakan bangsa-bangsa primitif.

    Tahap ontologis: sikap manusia yang tidak hidup lagi dalam kepungan kekuasaan mitis, melainkan yang secara bebas ingin meneliti segala hal ikhwal. Manusia mengambil jarak terhadap segala sesuatu yang dulu dirasakan sebagai kepungan. Ia mulai menyusun suatu ajaran atau teori mengenai dasar hakekat segala sesuatu (ontologi) dan mengenai segala sesuatu menurut perinciannya (ilmu-ilmu).

    Tahap fungsionil: sikap dan alam pikiran yang makin nampak dalam manusia modern. Ia ingin mengadakan relasi-relasi baru, suatu kebertautan yang baru terhadap segala sesuatu dalam lingkungannya. Orang mulai penyelidikannya dengan kasus yang konkret, bukan lagi dengan bertitik tolak dari sebuah peraturan umum, seperti dalam pikiran ontologis.

    Sumber: Cornelis Anthonie van Peursen, The Strategy of Culture, 1974.

  14. 14
    Fatoni Z Says:

    Akal pertimbangan dan perasaan hati diibaratkan,
    Kemudi dan layar jiwa yang mengarungi laut kehidupan.
    Jikalau patah salah satu, layar atau kemudi itu,
    Kau masih mengambang, namun terombang-ambing gelombang.
    Atau terhenti lumpuh tanpa daya di tengah samudra.
    Sebab akal fikiran yang sendiri mengemudi,
    Laksana tenaga yang menjebak diri;
    Sedangkan perasaan yang tak terkendali,
    Bagai api membara yang menghanguskan diri.
    Karena itu, ajaklah perasaan menjunjung tinggi Akalbudi,
    Meraih puncak-puncak getaran kebenaran sejati,
    Keduanya mewujudkan sebuah simfoni.

    Sumber: Kahlil Gibran, The Prophet.

  15. 15
    Dinar Turangan Says:

    Bila segala (beings) di dunia ini telah terbentangkan dengan jelas dan transparan di hadapan kita – yaitu segala pengetahuan tentang yang ada itu telah disediakan di hadapan kita, sehingga tidak ada lagi yang tersisa untuk diketahui, dipertanyakan, diterjemahkan, ditafsirkan; tidak ada lagi yang perlu diimajinasikan, diilusikan, difantasikan, dan dihalusinasikan; tidak ada lagi daerah tak tersentuh, ruang tak terjangkau, dan objek tak tercapai – maka sesungguhnya tidak ada lagi yang disebut kehidupan di dunia.

    Dunia hanya dapat hidup bila masih ada yang tidak diketahui di baliknya, baik yang bersifat fisik atau metafisik. Dunia hanya bisa bertahan disebabkan ada semacam energi yang menggerakkan setiap orang untuk menembus Yang Tidak Diketahui tersebut, lewat kemampuan nalar, perasaan, hati, fantasi dan imajinasinya.

    Yang Tidak Diketahui itu memiliki berbagai nama: Misteri, Utopia, Metafisik, Enigma, Nomena, Oidos, Transendental, Spirit, Tuhan.

    Sumber: Yasraf Amir Piliang, Dunia Yang Dilipat, 2004.

  16. 16
    Gody Meyer Says:

    Dunia yang serba terungkap adalah dunia yang tak mungkin (impossible world). Tuhan tidak dapat dikenal kalau Dia tidak memperkenalkan Diri, karena dari-NYA memancar daya untuk mengenal. Daya itu dihadiahkan sebagian pada kita, karena kalau daya itu tidak kita miliki, walau hanya sedikit, dunia kita juga menjadi dunia yang tak mungkin.

  17. 17
    Uchi Bate'e Says:

    Jika manusia berpikir, dia tidak hanya berpikir. Dia berpikir dengan idea. Idea sudah melekat dalam otak seseorang, yang digunakannya untuk berpikir tanpa disadarinya. Idea serupa itu disebut prejudice (prasangka), karena idea itu meresap ke dalam otak begitu saja, bukan hasil dari judgement (berdasarkan pertimbangan masak). Manusia berpikir dengan atau melalui idea terhadap situasi tertentu atau pada serangkaian fakta.

    Ada 6 idea terkemuka yang menguasai pikiran ”kaum terpelajar” dewasa ini:

    1. Idea evolusi: bentuk yang tinggi berkembang dari bentuk yang lebih rendah, sebagai suatu proses alami.
    2. Idea persaingan: proses evolusi diterangkan dengan ”the survival of the fittest” (hanya yang kuat yang dapat hidup terus).
    3. Idea Marx: semua bentuk tinggi kehidupan manusia (agama, filsafat, seni, dll) adalah “tambahan yang diperlukan proses kehidupan material” (kepentingan ekonomis).
    4. Idea Freud: menerangkan idea Marx sebagai getaran alam bawah sadar, akibat dari keinginan masa kanak-kanak dan awal remaja yang tak terpenuhi.
    5. Idea relativisme: menolak segala yang mutlak, menenggelamkan kebenaran dalam pragmatisme.
    6. Idea positivisme: pengetahuan yang berdasar pada fakta-fakta yang diamati.

    Sumber: E.F. Schumacher, Small is Beautiful, 1973.

  18. 18
    Nora Says:

    Kata Schumacher (1973): Kecil Itu Indah (Small is Beautiful).
    Kata Gede Prama (1998): Keliru Itu Indah.
    Boleh kah disimpulkan: “kecil = keliru” ?
    Bener gak sih…?
    Klo gak bener, ya… pasti “keliru” deh.
    Yang logis bener, “kecil dan keliru itu sama-sama indah”.
    Mungkin hal kayak gini yang dikembangkan oleh Jaya Suprana dalam “kelirumologi”-nya ya… (?)

    Sumber: Sapere Aude (berani berpikir sendiri), 2007.

  19. 19
    Norbert G. Says:

    Nora itu penyabar. Norbert itu penyabar. “Nora = Norbert” pasti keliru deh 🙂 Yang logis bener, “Nora dan Norbert itu sama-sama manusia penyabar” 🙂 Jaya Suprana gak keliru ketika menciptakan cabang ilmu kelirumologi.

  20. 20
    Nora Says:

    Leluhur itu dari Teteholi Ana’a. Norbert itu dari Teteholi Ana’a. Pasti keliru deh bila “leluhur = Norbert”.
    Yang logis bener, “leluhur dan Norbert itu sama-sama dari Teteholi Ana’a”.
    Padahal, Teteholi Ana’a punya leluhur beda dengan Teteholi Ana’a punya Norbert.
    Kelirumologi-nya di mana?

  21. 21
    Deivine Signor Says:

    Penelitian seakan-akan sebuah reparasi atas ketidaksempurnaan atas sesuatu yang telah dilakukan sebelumnya. Di sana ditampilkan sebuah etos dalam bentuk “kritik” yang seakan mengibas kekeliruan, kekurangan atau kelemahan [negatif] dan menjadikannya lebih sempurna.Sekilas itu semua benar dalam tulisan ini, karena memang semua itu bersifat relatif/sementara, tidak mutlak dan bukan final terlebih dalam sebuah narasi/fakta ilmiah.

    Namun, seharusnya kita jangan berhenti pada ruang pemahaman yang seperti ini.Kritik, berpikir dan bersikap kritis bukan hanya mencari jawaban atas hal yang belum terjawab. Karena jika demikian, kita akan terjebak pada garis pemikiran linear, sekedar menyasar atau membedah tujuan yang masih belum ditemukan. Dan di samping itu akan ada kecenderungan menyingkirkan hal-hal yang tidak selaras dengan apa yang kita inginkan. Seharusnya, semua ini bergerak pada pencarian anima universal. Anima universal itu adalah transparansi semesta yang ada di sekitar kita, bahkan kendati kita tidak memiliki interest mencari sesuatu, semua itu sudah ada di sana. Dalam hal ini, kita mengambil perbandingan yang sederhana. Dalam wilayah pemikiran Barat selalu dibedakan antara putih dan hitam. Namun, pemikiran orang-orang Timur mengatakan dalam hitam ada putih dan sebaliknya. Maka, jika kita justru mengarah pada anima universal ini, kritik,berpikir,dan bersikap kritis bukanlah [sekedar] mencari jawaban dan meminimalisasi kelemahan atau “bertolak” pada kekurangan-kekurangan untuk menghasilkan suatu karya,atau juga [sekedar] memperkokoh sesuatu, namun terletak pada membukanya millieu yang hendak kita ketahui dengan membiarkannya [objek penelitian] menguraikan dirinya sendiri. Artinya kita membiarkan diri kita dituntun oleh objek sekaligus kita mengitari objek dari setiap tampakkannya. Maka, bukan hanya kita yang meminimalis kelemahan tetapi juga objek menampilkan ada-nya. Dengan demikian, kritik, berpikir dan bersikap kritis menampilkan etos “polarity management” yang harmonis.

  22. 22
    Dedi Elfian Piliang Says:

    Manusia yang merasakan getaran keindahan alam mengadakan semacam identifikasi spiritual dengan alam itu, bahkan alam memasuki kalbunya.

    Dan sebaliknya: manusia memasuki alam, memeteraikan alam dengan kehadirannya, merasakan keindahan alam itu sejauh alam mengandung isyarat-isyarat yang melambangkan emosi dan pengalaman inderawi.

    Para kawi (penyair) di Jawa pada zaman kerajaan Kediri dan Majapahit melukiskan pengalaman itu dalam kakawin-kakawin. Mereka berkelana ke pantai, mendaki lereng-lerang gunung untuk berjumpa dengan alam dan menangkap getaran keindahannya, lalu merasa terhanyut di dalamnya. Perasaan subjektif mereka proyeksikan ke dalam alam, dan sebaliknya alam bercerita tentang manusia.

    Saling interpenetrasi antara manusia dan alam kita jumpai dalam “alam pikir mitis”-nya van Peursen. Sang professor dari Leiden itu mengingatkan kita pula, “alam pikir mitis” tidak hanya terbatas dijumpai pada manusia purba, tapi dalam manusia modern saat ini pun kadang-kadang alam pikir itu muncul.

  23. 23
    Danang P.E. Says:

    Kelirumologi merupakan sindiran terhadap dunia ilmu pengetahuan. Dunia ilmu pengetahuan sekarang ini sudah terlalu banyak istilah. Banyak yang keliru lagi. Jadi kena polusi terminologi.

    Kelirumologi bikin kepala pusing. Dan kelirumologi ini sendiri sebenarnya keliru. Artinya yang benar itu kelirulogi. Tapi, karena ilmu ini mempelajari kekeliruan, dia harus keliru sendiri. Jadilah keliru-mo-logi. Disisipkan mo, supaya keliru. Kalau nggak keliru, nggak relevan.

    Jaya Suprana sendiri sering keliru. Tapi dia tidak suka kekeliruan, tidak menonjolkan orang untuk sengaja keliru. Manusia pasti keliru. Tapi jangan sampai kemudian ada orang keliru kemudian menyebutkan, “Saya kan nggak apa-apa keliru, karena menurut Pak Jaya Suprana boleh keliru.”

    Jangan sengaja keliru. Justru letaknya peradaban manusia adalah menghindari keliru. Kerbau pun kalau sudah terperosok pada lubang, besok pagi pun nggak akan terperosok.
    Kelirumologi adalah hasil dari permainan logika, bukan main-main. Kalau logika kita jalan, kita akan bisa.

    Sumber: Jaya Suprana, Jangan Sepelekan Kentut, 1997.

  24. 24
    Piet Manuhutu Says:

    Dedi Elfian Piliang: … “alam pikir mitis” tidak hanya terbatas dijumpai pada manusia purba, tapi dalam manusia modern saat ini pun kadang-kadang alam pikir itu muncul.

    Bila seseorang manusia modern masih berkutat dalam “alam pikir mitis” ini, tanpa disadari sehari-hari dia menggunakan pelbagai produk yang disebut Auguste Comte sebagai tahap positif, boleh jadi tanpa disadari pula dia akan atau sedang mengalami kondisi kepribadian yang terbelah (skizofrenia).

    Mungkin hanya kelirumologi lah yang dapat menjelaskan fenomena ini.

  25. 25
    Nora Says:

    Kelirumologi merupakan piranti untuk menemukan secara logis kekeliruan supaya kekeliruan tidak direproduksi.
    Artinya, kelirumologi adalah “kritik, berpikir dan bersikap kritis” a la orang timur yang ditemukan Jaya Suprana.

  26. 26
    Iraono Sambö Tödö Na Says:

    Menelaah kekeliruan, kelirumologi, bahkan kekeliruan dalam kelirumologi itu sendiri boleh-boleh saja, yang penting tetap hati-hati jangan sampai terjebak dalam kekeliruan melihat kekeliruan, sehingga kekeliruan tidak lagi terlihat keliru atau sebaliknya segala sesuatu menjadi tampak keliru, lalu samar apa atau siapa yang keliru.

  27. 27
    tl Says:

    Ketua E. Halawa*, apa kabar? Cara mengkritik yang cocok untuk republik ini seperti apa? Emangnya ketua E.Halawa * juga tukang kritik ya ? Peri bahasa mengatakan “Anjing menggonggong kafilah berlalu …….., Salam perjuangan 1/2 Merdeka !!!!!! ha…ha..ha..

  28. 28
    Yaz Okulu Says:

    is there any one who knows any source about this subject in other languages?

  29. 29
    Putry M. Dyana Hulu Says:

    thankz infony sngt membantu 🙂

  30. 30
    Januario Viana Mota Says:

    terima kasih, sangat bermanfaat bagi saya

Leave a Reply

Comment spam protected by SpamBam

Kalender Berita