Kritik, Berpikir dan Bersikap Kritis

Wednesday, January 17, 2007
By nias

E. Halawa*

Pendahuluan
Dalam dunia seni istilah kritik merupakan kosa-kata sehari-hari. Suatu karya sastra atau karya seni lainnya, begitu ia ditampilkan kepada umum, cepat atau lambat mendapat sorotan dari para peminat atau pemerhati karya seni yang bersangkutan. Peminat karya seni yang tidak memiliki pemahaman yang mendalam tentang nilai suatu karya seni akan mendasarkan pilihannya pada kritik yang disampaikan oleh seniman yang mengkhususkan diri di bidang kritik. Ia akan mencari majalah atau surat kabar yang memuat kritik terhadap karya seni yang sedang diincarnya. Sebaliknya, si pencipta karya seni dengan hati berdebar-debar menunggu tanggapan pemerhati (kritik) terhadap karya seninya.

Apa sebenarnya kritik itu ? Kritik dapat diartikan sebagai penilaian yang mengungkapkan baik keistimewaan, kekhasan maupun kelemahan dari suatu karya cipta semata-mata dari kenyataan apa adanya yang ditunjukkan oleh karya cipta itu sendiri. Jadi melalui kritik seseorang meneropong aspek-aspek positif dan negatif dari suatu karya cipta, baik ciptaannya sendiri maupun ciptaan orang lain. Dengan kata lain, ia melakukan penilaian dan penimbangan seksama dan teliti terhadap karya tersebut.

Menurut Ballard & Clanchy (1984), penilaian atau pertimbangan yang seksama atau teliti itu dicapai melalui telaah atau analisis dan pertanyaan yang sistematik. Selanjutnya, menelaah (menganalisis) suatu masalah berarti mencoba memutuskan atau menetapkan: (1) unsur-unsur apa saja yang terkandung dalam masalah tersebut, (2) apa bukti-bukti keberadaannya atau sifat-sifatnya, (3) bagaimana unsur-unsur itu berhubungan satu dengan yang lain, dan (4) seberapa penting masing-masing unsur tersebut.

Keliru sebagai fitrah manusia
Kritik merupakan pengakuan bahwa manusia itu tidak sempurna, memiliki kelemahan dan mudah keliru. Tetapi keliru adalah fitrah manusia. Hal ini harus disadari sehingga keterbatasan atau kelemahan yang inheren dalam setiap manusia (dalam hal ini peneliti) seharusnya menjadi kekuatan. Kelemahan, keterbatasan atau kekeliruan bukanlah aib ! Namun, membiarkan kelemahan, keterbatasan dan kekeliruan menodai hasil karya penelitian kita sebagai peneliti adalah hal yang harus dihindari.

Keliru itu indah” adalah sebuah judul tulisan dalam kolom “inovasi“ sebuah mingguan ekonomi (Gede Prama, 1998). Dalam tulisan singkat itu, penulis mengungkapkan bahwa manusia-manusia besar sepanjang zaman yang punya peran dalam mengangkat peradaban manusia adalah “kumpulan manusia keliru” di zamannya masing-masing. Tetapi hal-hal yang dikemukakan di atas tidak boleh digunakan sebagai alasan untuk melakukan penelitian secara seadanya, serampangan, atau asal-asalan. Sebagai suatu kegiatan ilmiah, peneliti wajib mengusahakan ketelitian dalam metode, prosedur, atau pendekatan, relatif terhadap tujuan yang ingin dicapai. Di sini kata relatif dipakai untuk menunjukkan bahwa tingkat ketelitian atau keakuratan yang dituntut adalah sejauh ia mampu memberikan gambaran yang cukup spesifik terhadap gejala yang diamati.

Bentuk-Bentuk Kritik
Kritik terhadap sesuatu ide atau karya dapat muncul kapan saja dan dalam berbagai manifestasi. Misalnya, keluhan konsumen terhadap suatu barang atau alat produk teknologi tertentu yang kurang atau tidak memuaskan dapat dianggap sebagai sebuah kritik. Ketika seorang peneliti merujuk dan mengomentari hasil-hasil penelitian terdahulu dalam suatu karya ilmiah, dia telah melakukan kritik terhadap ide atau karya itu. Dalam pertemuan ilmiah (seminar, dsb) kritik dapat langsung disampaikan kepada penyaji makalah dalam question time, atau dalam perbincangan informal selama jeda, misalnya. Penilai (reviewer) akan mengajukan kritik terhadap makalah yang diperiksanya dalam lembaran yang disediakan untuk tujuan itu. Dalam jurnal-jurnal ilmiah biasanya ada ruang (kolom) bagi pembaca untuk menyampaikan pendapatnya terhadap tulisan yang muncul dalam jurnal itu.

Dalam kenyataannya, kritik pada umumnya menekankan hal-hal negatif berupa kelemahan-kelemahan dari objek kritik. Hal inilah yang membuat sebagian kalangan tidak menerima kritik sebagai sesuatu yang wajar saja – seseorang tidak mau mengkritik agar (pada gilirannya) iapun tidak dikritik.

Penelitian Sebagai Suatu Kritik
Suatu penelitian adalah bentuk kritik terhadap penelitian (karya) sebelumnya dalam bidang yang sama. Dalam suatu penelitian ingin ditemukan jawaban (solusi) terhadap pertanyaan atau masalah yang belum terjawab. Dalam suatu usulan penelitian, misalnya, ditinjau suatu pokok permasalahan dengan menggali informasi dari berbagai literatur yang membahas masalah yang sama. Dalam bagian pendahuluan atau latarbelakang dikemukakan berbagai capaian dan kelemahan dari karya (penelitian) terdahulu, lalu beberapa aspek yang berupa kelemahan atau keterbatasan disorot lebih tajam sebagai alasan untuk melakukan penelitian lanjutan. Hal ini tidak lain adalah sebentuk kritik. Hasil dari penelitian ini pun kelak menjadi bahan kritik, sebab kebenaran ilmiah selalu bersifat relatif dan sementara, tidak pernah mutlak dan final.

Oleh karena kritik bisa ‘menelanjangi‘ kelemahan-kelemahan suatu penelitian, maka peneliti harus berusaha dalam batas-batas kemampuannya untuk meminimumkan kelemahan-kelemahan itu, tetapi bukan menyembunyikan-nya ! Hal ini dapat dilakukan dengan mengumpulkan informasi yang cukup (dalam bentuk literatur, data, dsb.), menerapkan metode yang baik dan benar, melakukan kritik diri (self-criticism) terhadap karya itu sendiri sebelum dipublikasikan. Sebaliknya, seorang pengkritik harus pula memahami secara umum topik yang menjadi sasaran kritiknya. Makin rinci dan tajam kritiknya, seharusnya ini menunjukkan makin rinci pula dia memahami seluk-beluk topik yang sedang dikritiknya.

Berpikir dan bersikap kritis
Berpikir dan bersikap kritis berarti tidak lekas percaya, selalu menaruh ‘curiga‘ dan keraguan terhadap sesuatu yang dianggap ‘fakta‘ atau ‘gejala‘ sebelum diketahui secara pasti (atau mendekati pasti) bahwa memang demikianlah adanya. Dengan kata lain, berpikir dan bersikap kritis berarti tajam dalam meng-analisis sesuatu fakta atau gejala.

Seorang yang berpikir kritis tidak mudah dipukau oleh suatu ‘fakta‘ atau ‘gejala‘, tidak mengambil kesimpulan sebelum melakukan investigasi dan analisis yang memadai. Seorang yang kritis juga tidak mudah dipukau oleh paparan, pendapat atau analisis orang lain, meskipun paparan, pendapat atau analisis itu datang dari seorang pakar di bidangnya. Ia tidak menilai kadar kebenaran dari suatu pernyataan berdasarkan siapa yang menyampaikannya tetapi berdasarkan apa dan isi dari yang dinyatakan.

Sikap kritis juga berarti menjauhi sikap latah (ikut-ikutan). Dalam beberapa waktu belakangan, misalnya, banyak bermunculan istilah-istilah atau ungkapan yang dari sisi kebahasaan kacau seperti: “suatu masalah-masalah ..”*, “beberapa hal-hal …”, dan sebagainya. Ungkapan-ungkapan rancu itu biasanya menyebar dengan cepatnya, dan tidak jarang menjangkiti para peneliti yang barangkali mengikutinya karena tidak mau ketinggalan atau memang sedang mengikuti trend.

Kritik diri (Self-criticism)
Sikap kritis tidak hanya ditujukan pada karya peneliti lain, melainkan dan terutama terhadap diri dan karya sendiri. Hal ini memang tidak mudah karena ‘ego‘ seseorang sering lebih kuat dan senantiasa berjaga-jaga untuk menutupi kelemahan diri. Tetapi kritik diri (self-criticism) harus bisa ditumbuh-kembangkan, mengingat bahwa yang memerlukan perbaikan dan yang berkepentingan memperbaikinya adalah diri sendiri. Lagi pula, tidak jarang hal-hal yang dirasakan sebagai kelebihan diri justru kebalikannya; demikian sebaliknya, hal-hal yang kita anggap kelemahan merupakan kelebihan yang belum didayagunakan. Yang pertama-tama menyadari semua hal itu (mestinya) adalah diri sendiri.

Dengan berlatih kritis terhadap diri atau karya sendiri, seorang peneliti akan dengan mudah menerima kritik pihak lain sebagai hal yang positif dan konstruktif. Demikian juga apabila ia harus mengkritik karya orang lain, hal itu dilakukannya karena terpanggil untuk memberikan sumbangan yang positif dan konstruktif terhadap karya itu.

Pentingnya Budaya dan Sikap Kritis
Mengapa sikap kritis harus ditumbuh-kembangkan ? Dalam masyarakat yang lemah daya kritisnya merajalela pembodohan, berkembang berbagai macam kemunafikan yang menguntungkan pihak tertentu dan merugikan pihak lain. Dalam masyarakat yang budaya kritisnya telah berkembang, ruang dan kesempatan terhadap pembodohan semacam itu dipersempit dan sikap egaliter berkembang.

Sikap dan budaya kritis menjadi semacam penangkal dari kesewenang-wenangan sikap atau tindakan satu orang (kelompok) terhadap orang (kelompok) lain. Masing-masing (orang / kelompok) lebih berhati-hati dalam bertindak, bersikap atau mengeluarkan pernyataan karena lingkungannya selalu memasang ‘mata pengawasan’ terhadapnya. Setiap individu makin terasah daya nalarnya karena setiap saat pendapat atau gagasannya dihadapkan pada penilaian objektif dan terbuka sehingga kecil sekali peluang baginya untuk sekadar mengeluarkan pendapat, pernyataan atau membuat kebijakan yang berimplikasi luas tanpa memikirkannya dalam-dalam, tanpa pertimbangan matang. Apabila dilakukannya juga, dia akan dihadapkan pada kecaman yang sangat tidak bersahabat.

Dalam lingkungan penelitian sikap kritis harus ditumbuhkan, dipelihara dan dikembangkan. Dalam penelitian, kritik ibarat angin yang menggoyang-goyang pohon (dalam hal ini penelitian) dari kecil hingga menjadi pohon yang rimbun. Goncangan-goncangan angin itu bermanfaat untuk memperkuat akar-akar, dan cabang-cabang pohon hingga ia tumbuh dan berdiri kokoh.

Ilmu dan teknologi tanpa kritik menjadi mandul, sulit berkembang. Demikian juga penelitian sebagai suatu aktivitas ilmiah sangat memerlukan kritik. Kritik akan selalu mengingatkan, menuding, memelototi, sehingga kehadirannya hampir selalu dianggap sebagai ‘pembuat onar’. Akan tetapi justru hal-hal inilah yang merupakan manfaat dari kritik. Dengan hal-hal itu seorang peneliti diharapkan selalu berusaha menghasilkan karya ilmiah yang terbaik dalam batas-batas kemampuannya. Jadi tidaklah pada tempatnya seorang peneliti alergi terhadap kritik.

Sayangnya, lingkungan penelitian sering menjadi hambatan utama untuk mempertajam daya kritis. Peneliti sering dipaksa menerima ‘sesuatu‘ tanpa diberi kesempatan (bahkan dilarang – secara terang-terngan atau secara samar-samar) untuk mengungkapkan pendapat tentang ‘sesuatu‘ itu. Seringkali kalangan peneliti disodorkan ‘paket-paket‘ program atau kebijakan yang sudah dikemas dari atas, dan kalangan peneliti (diasumsikan) otomatis mampu ‘mengunyahnya‘. Seringkali sikap kritis diartikan sebagai pembangkangan yang harus cepat-cepat diredam agar ‘virus‘ itu tidak menyebar ke mana-mana.

Bagaimana sikap kritis ditumbuh-embangkan ? Dalam lingkungan yang sangat terbatas, kegiatan-kegiatan ilmiah yang bersifat intern seperti seminar dan sebagainya dapat menjadi ajang latihan untuk bersikap kritis. Adalah jauh lebih baik dan bermanfaat mendapat / mengajukan kecaman dari / kepada teman-teman di kalangan sendiri untuk mempoles suatu karya penelitian sehingga “layak publikasi” ketimbang mendapat ‘cercaan‘ dari kelompok peneliti lain.

Rujukan:

  1. Ballard, B. & Clanchy, J., 1984: Study Abroad – A manual for Asian students, Longman, Kuala Lumpur.
  2. Gede Prama, 1998: Keliru Itu Indah, Artikel dalam kolom Inovasi mingguan berita Warta Ekonomi No. 24/X/, 2 November.

* Seingat penulis, frase “suatu masalah-masalah ..” muncul dari salah seorang petinggi militer beberapa tahun sebelum tahun “reformasi” 1998. Sejak itu, frase ini dengan cepat menyebar. Dalam sebuah khotbah di sebuah gereja, penulis pernah mendengar variannya: “suatu permasalahan-permasalahan …” Petinggi militer itu tak pernah lagi memakainya, tapi justru tetap melekat dalam ucapan rekan-rekannya.

Tags:

30 Responses to “Kritik, Berpikir dan Bersikap Kritis”

Pages: « 1 [2] 3 » Show All

  1. 11
    Abadi Says:

    Ternyata pengetahuan a la Kant tidak serumit yang diduga banyak orang.

    Namun, mengapa acap kali orang menggali sesuatu pengetahuan yang lebih dalam, misalnya menjelaskan masalah Provinsi Tapanuli, memecahkan misteri Nias, menelurusi makna teteholi ana’a, maupun berdialog tentang masalah apapun lainnya, orang seringkali bingung dan terbentur pada tembok perbedaan pendapat yang seolah-olah sulit didamaikan?

    Itu karena proporsi inderawi lebih aktif dominan ketimbang akal budi. Orang cenderung tergoda mendekati masalah secara inderawi. Sikap manusiawi yang cenderung terbawa emosi memenjarakannya dalam penilaian subjektif, menjadi kabut yang menutupi hakekat objektivitas sesuatu hal yang tengah dikritisi.

    Dalam iklim yang emosional tidak tercipta dialog yang setara dan sehat yang dapat menghasilkan sesuatu pengetahuan yang bermakna bagi kehidupan umat manusia.

    Atau, memang barangkali ada orang yang “aneh” yang ingin memelihara sesuatu masalah tetap sebagai misteri, karena dia mendapat akses keuntungan yang lebih banyak bila masalah itu tidak pernah terpecahkan ketimbang bila masalah itu terpecahkan.

    Sumber: Sapere Aude (berani berpikir sendiri), 2007.

  2. 12
    otomend Says:

    Pikiran manusia (manusia individual, suku bangsa manusia, setiap kebudayaan, dan sejarah intelek manusia umumnya) melewati 3 tahap: teologis, metafisis, dan ilmiah.

    Tahap teologis (berdasarkan fantasi) dibedakan: animisme, politeisme, dan monoteisme. Dalam tahap animisme orang beranggapan benda merupakan sesuatu yang berjiwa. Banyak benda disebut suci atau sakti. Benda itu kemudian dianggap dewa-dewa. Ada dewa api, dewa laut, dewa angin, dewa panen, dll. Dewa-dewa diatur dalam suatu sistem sehingga menjadi politeisme. Politeisme yang muncul dapat dikembalikan kepada satu kekuatan saja, suatu keilahian, dan timbullah monoteisme.

    Tahap metafisis merupakan variasi dari cara berpikir teologis, karena para dewa diganti kekuatan-kekuatan abstrak. Terjemahan metafisis dari monoteisme misalnya terdapat dalam pendapat “semua kekuatan kosmis dapat disimpulkan dalam konsep alam, sebagai asal mula semua gejala”.

    Kalau manusia mengerti bahwa tidak berguna untuk mencari pengetahuan mutlak (baik teologis maupun metafisis), kalau dia tidak lagi mencari asal dan tujuan segala sesuatu, hakekat benda-benda, maka ia memasuki tahap positif. Dia mulai menemukan hukum-hukum alam hanya dengan mengamati alam dan hanya dengan menggunakan akal budi.

    Sumber: Auguste Comte, Cours de Philosophie Positive.

  3. 13
    Dedi Elfian Piliang Says:

    Ada 3 tahap dalam perkembangan kebudayaan: mitis, ontologis, dan fungsionil.
    Tahap mitis: sikap manusia yang merasakan dirinya terkepung oleh kekuatan-kekuatan gaib sekitarnya, yaitu kekuasaan dewa-dewa alam raya atau kekuasaan kesuburan, seperti dipentaskan dalam mitologi-mitologi yang dinamakan bangsa-bangsa primitif.

    Tahap ontologis: sikap manusia yang tidak hidup lagi dalam kepungan kekuasaan mitis, melainkan yang secara bebas ingin meneliti segala hal ikhwal. Manusia mengambil jarak terhadap segala sesuatu yang dulu dirasakan sebagai kepungan. Ia mulai menyusun suatu ajaran atau teori mengenai dasar hakekat segala sesuatu (ontologi) dan mengenai segala sesuatu menurut perinciannya (ilmu-ilmu).

    Tahap fungsionil: sikap dan alam pikiran yang makin nampak dalam manusia modern. Ia ingin mengadakan relasi-relasi baru, suatu kebertautan yang baru terhadap segala sesuatu dalam lingkungannya. Orang mulai penyelidikannya dengan kasus yang konkret, bukan lagi dengan bertitik tolak dari sebuah peraturan umum, seperti dalam pikiran ontologis.

    Sumber: Cornelis Anthonie van Peursen, The Strategy of Culture, 1974.

  4. 14
    Fatoni Z Says:

    Akal pertimbangan dan perasaan hati diibaratkan,
    Kemudi dan layar jiwa yang mengarungi laut kehidupan.
    Jikalau patah salah satu, layar atau kemudi itu,
    Kau masih mengambang, namun terombang-ambing gelombang.
    Atau terhenti lumpuh tanpa daya di tengah samudra.
    Sebab akal fikiran yang sendiri mengemudi,
    Laksana tenaga yang menjebak diri;
    Sedangkan perasaan yang tak terkendali,
    Bagai api membara yang menghanguskan diri.
    Karena itu, ajaklah perasaan menjunjung tinggi Akalbudi,
    Meraih puncak-puncak getaran kebenaran sejati,
    Keduanya mewujudkan sebuah simfoni.

    Sumber: Kahlil Gibran, The Prophet.

  5. 15
    Dinar Turangan Says:

    Bila segala (beings) di dunia ini telah terbentangkan dengan jelas dan transparan di hadapan kita – yaitu segala pengetahuan tentang yang ada itu telah disediakan di hadapan kita, sehingga tidak ada lagi yang tersisa untuk diketahui, dipertanyakan, diterjemahkan, ditafsirkan; tidak ada lagi yang perlu diimajinasikan, diilusikan, difantasikan, dan dihalusinasikan; tidak ada lagi daerah tak tersentuh, ruang tak terjangkau, dan objek tak tercapai – maka sesungguhnya tidak ada lagi yang disebut kehidupan di dunia.

    Dunia hanya dapat hidup bila masih ada yang tidak diketahui di baliknya, baik yang bersifat fisik atau metafisik. Dunia hanya bisa bertahan disebabkan ada semacam energi yang menggerakkan setiap orang untuk menembus Yang Tidak Diketahui tersebut, lewat kemampuan nalar, perasaan, hati, fantasi dan imajinasinya.

    Yang Tidak Diketahui itu memiliki berbagai nama: Misteri, Utopia, Metafisik, Enigma, Nomena, Oidos, Transendental, Spirit, Tuhan.

    Sumber: Yasraf Amir Piliang, Dunia Yang Dilipat, 2004.

  6. 16
    Gody Meyer Says:

    Dunia yang serba terungkap adalah dunia yang tak mungkin (impossible world). Tuhan tidak dapat dikenal kalau Dia tidak memperkenalkan Diri, karena dari-NYA memancar daya untuk mengenal. Daya itu dihadiahkan sebagian pada kita, karena kalau daya itu tidak kita miliki, walau hanya sedikit, dunia kita juga menjadi dunia yang tak mungkin.

  7. 17
    Uchi Bate'e Says:

    Jika manusia berpikir, dia tidak hanya berpikir. Dia berpikir dengan idea. Idea sudah melekat dalam otak seseorang, yang digunakannya untuk berpikir tanpa disadarinya. Idea serupa itu disebut prejudice (prasangka), karena idea itu meresap ke dalam otak begitu saja, bukan hasil dari judgement (berdasarkan pertimbangan masak). Manusia berpikir dengan atau melalui idea terhadap situasi tertentu atau pada serangkaian fakta.

    Ada 6 idea terkemuka yang menguasai pikiran ”kaum terpelajar” dewasa ini:

    1. Idea evolusi: bentuk yang tinggi berkembang dari bentuk yang lebih rendah, sebagai suatu proses alami.
    2. Idea persaingan: proses evolusi diterangkan dengan ”the survival of the fittest” (hanya yang kuat yang dapat hidup terus).
    3. Idea Marx: semua bentuk tinggi kehidupan manusia (agama, filsafat, seni, dll) adalah “tambahan yang diperlukan proses kehidupan material” (kepentingan ekonomis).
    4. Idea Freud: menerangkan idea Marx sebagai getaran alam bawah sadar, akibat dari keinginan masa kanak-kanak dan awal remaja yang tak terpenuhi.
    5. Idea relativisme: menolak segala yang mutlak, menenggelamkan kebenaran dalam pragmatisme.
    6. Idea positivisme: pengetahuan yang berdasar pada fakta-fakta yang diamati.

    Sumber: E.F. Schumacher, Small is Beautiful, 1973.

  8. 18
    Nora Says:

    Kata Schumacher (1973): Kecil Itu Indah (Small is Beautiful).
    Kata Gede Prama (1998): Keliru Itu Indah.
    Boleh kah disimpulkan: “kecil = keliru” ?
    Bener gak sih…?
    Klo gak bener, ya… pasti “keliru” deh.
    Yang logis bener, “kecil dan keliru itu sama-sama indah”.
    Mungkin hal kayak gini yang dikembangkan oleh Jaya Suprana dalam “kelirumologi”-nya ya… (?)

    Sumber: Sapere Aude (berani berpikir sendiri), 2007.

  9. 19
    Norbert G. Says:

    Nora itu penyabar. Norbert itu penyabar. “Nora = Norbert” pasti keliru deh 🙂 Yang logis bener, “Nora dan Norbert itu sama-sama manusia penyabar” 🙂 Jaya Suprana gak keliru ketika menciptakan cabang ilmu kelirumologi.

  10. 20
    Nora Says:

    Leluhur itu dari Teteholi Ana’a. Norbert itu dari Teteholi Ana’a. Pasti keliru deh bila “leluhur = Norbert”.
    Yang logis bener, “leluhur dan Norbert itu sama-sama dari Teteholi Ana’a”.
    Padahal, Teteholi Ana’a punya leluhur beda dengan Teteholi Ana’a punya Norbert.
    Kelirumologi-nya di mana?

Pages: « 1 [2] 3 » Show All

Leave a Reply

Comment spam protected by SpamBam

Kalender Berita