Rangkuman Sementara, Telaah Kritis dan Pendalaman
E. Halawa*
Tiga minggu pertama Diskusi Online I telah melahirkan sejumlah pendapat dan gagasan baru dan menarik yang terkait dengan rencana pembentukan Propinsi Tapanuli. Hal ini mengingatkan kita akan potensi-potensi terpendam dalam bentuk pemikiran kalau kita diberi kesempatan untuk berpikir, merenung, dan akhirnya menuangkannya dalam tulisan.
Ada harapan agar pemerintah daerah dan DPRD mengkaji lebih mendalam berbagai aspek sebelum mengambil keputusan (Pak F. Mendröfa & Bu Ester Telaumbanua). Sejalan dengan itu, diharapkan juga agar Pemda dan DPRD di kedua kabupaten memperhatikan dan menampung pemikiran yang berkembang, termasuk pemikiran yang berseberangan (Pak T. Maduwu).
Selain tanggapan yang sangat positif mendukung keikutsertaan Nias (Pak D. Gulö, Ibu Onie Fau) dan pandangan kritis terhadap rencana bergabungnya kedua Kabupaten ke dalam dalam Propinsi Tapanuli (Pak E. Nehe, Bu Esther Telaumabuanua), mengemuka juga gagasan pembentukan Propinsi Tapanuli Nias atau Tani (Pak I. Mendröfa), Propinsi Kepulauan Pantai Barat (Pak Folo Nehe, dengan nama alternatif Nusa Barat kontribusi Pak D. Gulõ), bahkan Negara Bagian dalam Negera Federal Indonesia (Pak A. Gea).
Pemikiran dan gagasan yang mengemuka yang terangkum secara singkat di depan muncul karena alasan-alasan yang kuat dan logis. Ternyata, persoalan bukan hanya sekedar memberikan jawaban “ya” atau “tidak” terhadap ajakan bergabung dari rekan-rekan di daratan Tapanuli sana terhadap kita, masyarakat Nias. Ada berbagai faktor yang tidak bisa dikesampingkan sebelum mengambil keputusan. Di antaranya adalah: faktor kesiapan mental (dari renungan Bapak Mathias Daeli), sosial-budaya, manfaat, kelayakan, keberlangsungan, dan lain sebagainya.
Hasil dari Diskusi Online ini mungkin saja tidak akan mempengaruhi sikap para pengambil keputusan di kedua Kabupaten. (Harus diakui, Diskusi Online ini seharusnya berlangsung jauh-jauh hari, segera setelah isu pembentukan Propinsi Tapanuli bergulir.) Akan tetapi sekurang-kurangnya rangkuman pemikiran dan gagasan ini, yang akan disampaikan pada mereka (dan mudah-mudahan mereka “baca”) akan menjadi bahan pertimbangan yang berguna.
Propinsi TANI ?
Gagasan Pak Ilham tentang Propinsi Tani sangat menarik dan menantang. Dengan gagasan itu, Nias berpartisipasi secara aktif dalam membidani kelahirannya, dan karenanya diharapkan memiliki posisi kuat dan setara dengan posisi kabupaten-kabupaten lain dari daratan Tapanuli.
Ada tiga “persoalan” dengan pilihan ini. Pertama: rekan-rekan dari Tapanuli mungkin tak pernah berpikir tentang ini (kalau ya, tentulah dari awal Nias sudah diajak secara aktif). Kedua, timing dari gagasan ini tidak lagi pas, di tengah-tengah upaya menggolkan Propinsi Tapanuli dengan format, motif atau latarbelakang yang jauh-jauh hari sudah direncanakan dan kini sedang menuju pematangan. Penyodoran ide baru ini sama saja dengan upaya “mengerem” laju pergerakan yang kelihatannya sudah pada tahap akselerasi. Ketiga, Nias sendiri – mengingat posisi geografis dan kondisi sosial budayanya – memang sebaiknya kelak menjadi propinsi sendiri. Realisasi butir ketiga ini akan menjadi “mentah” atau menjadi sangat sulit begitu “Nias” melekat dalam nama Propinsi TANI. Tidak gampang mengubah undang-undang, walau hanya sekedar untuk tujuan mengubah nama.
Kelahiran Propinsi TANI, kalau itu didukung oleh kedua pihak (Nias dan Tapanuli), adalah pilihan final bagi kedua pihak, dan bukan pilihan transisi. Padahal, kalau pun Nias akhirnya bergabung dalam Propinsi Tapanuli, itu adalah pilihan transisi bagi Nias menuju pilihan “finalâ€: Propinsi Nias, Propinsi Nusa Barat atau apa pun namanya dan komposisinya (lihat juga butir 3 dari tulisan Pak D. Gulö).
Propinsi Kepulauan Pantai Barat (Nusa Barat) ?
Gagasan ini juga sangat menarik, potensial dan menantang. Secara psikologis, Nias tidak memiliki masalah apapun untuk “berfusi†dengan masyarakat kepulauan Mentawai di sebelah selatan. Rekan-rekan kita dari Mentawai merasa dekat secara budaya dan secara sosial dengan orang-orang Nias. Terbentuknya Propinsi KPB atau NB bisa juga membuka peluang kerja sama untuk memanfaatkan sumber-sumber daya alam yang melimpah di kedua kepulauan.
Sayangnya, gagasan ini mungkin kurang realistis saat ini, bahkan hingga beberapa waktu ke depan. Mengapa ? Jawabannya sederhana: menggolkan pembentukan sebuah propinsi baru menuntut perjuangan politik yang “dahsyat”, “keras”, “berliku”. Singkatnya “sulit”. Berapa orang tokoh Nias di tingkat Nasional yang bisa bermanuver ? Berapa (adakah) tokoh dari Kepulauan Mentawai di tingkat nasional yang bisa membantu menggolkan ? Apakah dengan gampang Propinsi Sumatera Barat merelakan Kepulauan Mentawai menjadi bagian dari Nusa Barat ? Kecuali kalau Pemerintah Pusat bermurah hati (hal yang mustahil) membentuk Propinsi Kepulauan Pantai Barat (Nusa Barat), gagasan ini – walau sangat menarik – masih jauh dari realistis.
Tetap Menjadi Bagian dari Propinsi Sumut ?
Barangkali secara teoritis, kalau Nias “diam” saja dalam menyikapi Pembentukan Propinsi Tapanuli, maka – seandainya Propinsi Tapanuli pada akhirnya terbentuk – secara default, Nias akan tetap berada dalam Propinsi Sumut. Dari semua alternatif, barangkali ini jusru yang paling “bermasalah”. Mengapa ?
Kalau Propinsi Tapanuli terbentuk, dan kita tetap memilih bergabung dengan Propinsi Sumut, kita menciptakan persoalan bagi kita sendiri. Dengan tetap bergabung dengan Propinsi Sumut, kita memberi kesan tidak mampu bekerja sama, tak mampu berdiri sama tinggi dan duduk sama rendah dengan teman-teman dari Tapanuli; dan karenanya kita memilih “mengasingkan†diri. Padahal secara geografis, Nias haruslah menjadi bagian dari Propinsi terdekatnya, dalam hal ini Propinsi di daratan Barat Sumatera, entah apa pun namanya.
Memang betul, seperti dikemukakan oleh Pak Etis Nehe, bahwa posisi geografis tidak menjadi kendala dalam menjalankan roda pemerintahan dan menjalin komunikasi dengan Propinsi Sumut. Bahkan bisa jadi, mencapai Ibu Kota baru di propinsi Tapanuli mungkin lebih lama ketimbang mencapai Medan. Akan tetapi masalahnya bukan di situ. Kita harus memiliki alasan-alasan yang sangat kuat untuk “menghindari†penggabungan dengan propinsi Tapanuli. Dan sejauh yang dapat kita amati dari pendapat yang mengemuka selama berlangsungnya diskusi ini, alasan-alasan kuat itu belum ada.
Faktor-faktor sosial-budaya yang dikemukakan lebih berupa alasan-alasan yang muncul dalam “pemikiran†atau “perasaan†(perceived) dan bukan alasan-alasan yang nyata (real). Dari seluruh peserta diskusi ini kita yakini tidak ada yang tak pernah memiliki kontak atau komunikasi dengan teman-teman dari Tapanuli. Adakah pengalaman traumatis dalam berkomunikasi atau kontak dengan mereka ? Bisa jadi ada, tapi ini adalah pengalaman individual yang tidak bisa menjadi patokan umum. Pengalaman individual semacam itu segera termentahkan oleh pengalaman yang positif oleh individu lain; dan oleh kearena itu tidak bisa digeneralisasi, hal yang biasanya menjurus kepada stereotype dalam konteks negatif. Pengalaman-pengalaman traumatis macam itu lebih menguat kesannya apabila kita semakin “menutup diri†(meminjam istilah Bapak Mathias J. Daeli).
Dengan tetap menjadi bagian dari Sumut, kita menciptakan beban psikologis yang tak perlu. Kita juga menciptakan suatu kesan: seakan ada masalah “serius†atau “laten†antara kita dengan rekan-rekan dari Tapanuli, sehingga kita menghindari “fusi†dengan mereka di bawah payung Propinsi Tapanuli, walau itu hanya bersifat transisi. Apa pun jawaban kita akan menjadi serba salah dan bahkan akan menyudutkan kita. Kalau kita mengemukakan alasan perbedaan suku, juga tidak logis; dan kita boleh bertanya: ada apa sebenarnya ? “Persoalan†barangkali ada dalam diri kita sendiri.
Keputusan “menutup diri” dengan tetap berada dalam Propinsi Sumut juga akan menciptakan masalah-masalah praktis ke depan. Kedua Kabupaten di Nias akan sulit membuat kerjasama “bilateral†dengan Kabupaten-Kabupaten tetangga, hal yang bisa semakin mengucilkan Nias dalam berbagai dimensi (lihat juga butir 5 dari tulisan Pak D. Gulö).
Harus kita sadari, bahwa gabungnya Nias dengan Propinsi Tapanuli tidak serta merta meningkatkan kesejahteraan masyarakat Nias; hal ini berlaku juga apabila Nias memutuskan untuk tetap berada dalam Propinsi Sumut. Bu Esther Telaumbanua bahkan secara kritis mempertanyakan korelasi antara kesejahteraan dengan pilihan-pilihan yang terbentang di depan kita. Yang kita ingin telaah secara seksama dalam Diskusi ini adalah pilihan-pilihan yang memungkinkan Nias mempercepat terealisasikannya kemakmuran dan kesejahteraan masyarakat Nias. (Butir-butir pemikiran dalam tulisan Pak A. Gea, Bu Onie Fau dan Pak D. Gulö) masih relevan kita telaah dan kritisi).
Propinsi Nias ?
Idealnya, inilah sasaran akhir kita. Akan tetapi, sebagaimana dikemukakan oleh hampir semua peserta Diskusi, realisasi pembentukan Propinsi Nias dalam waktu dekat tidak mungkin. Dukungan Nias terhadap pembentukan Propinsi Tapanuli akan berefek positif jangka panjang, kalau pada akhirnya kita memilih “mandiriâ€. Mengapa ? Perjuangan yang berhasil hanya bisa kita capai melalui “koalisi taktis” dengan daerah-daerah tetangga Nias yang kini sedang getolnya memperjuangkan Propinsi Tapanuli. Setiap move kita (baca: Nias) yang terkesan “menghempang†laju pembentukan pembentukan Propinsi Tapanuli akan merusak “koalisi taktis” ini.
Propinsi Tapanuli dan “Perda Bernuansa Ala Syariah”
Mengamati perkembangan terakhir di tanah air, saya menjadi tak begitu bergairah dengan hal-hal yang berbau “otonomi daerah”. Melihat gelagatnya, otonomi daerah ini bisa berpotensi menghancurkan keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Maka, kekuatiran Pak Ilham tentang latarbelakang penggagasan pembentukan Propinsi Tapanuli patut digarisbawahi.
Singkatnya: kalau pun pada akhirnya Propinsi Tapanuli terbentuk (entah Nias menjadi bagiannya atau tidak) harapan kita adalah: Propinsi Tapanuli tetap berpegang teguh pada landasan ideologi negara Indonesia: Pancasila. Pemda dan DPRD Propinsi Tapanuli jangan kiranya mengeluarkan Perda Bernuansa “Ala” Syariah yang berpotensi menjadi pemicu ketegangan baru di daerah yang selama ini dikenal sebagai daerah yang hampir-hampir bebas dari segala unsur konflik berbau SARA.
Kita tidak boleh “menutup diri” seperti dikatakan Bapak Mathias J. Daeli. Kita tidak mengharapkan Pemda Propinsi baru itu nanti menciptakan kotak-kotak baru dalam wilayah kekuasaannya, misalnya saja: mengatur deretan rumah berdasarkan ras, golangan atau agama, mengadakan pasar khusus Kristen dan Muslim, membuat transportasi khusus untuk para penganut Budha dan Khong Hu Cu, dan sebagainya. Mungkin contoh-contoh ini kelihatannya “ekstrim”, tak “masuk akal”, tetapi kenyataan di berbagai daerah lain sudah semakin mengkuatirkan. Kalau hal ini terjadi, kita hanya ikut menggali kuburan NKRI yang tenyata sudah mulai dilakukan oleh teman-teman kita di berbagai daerah di Nusantara.
Kita berharap agar para penggagas pembentukan Propinsi Tapanuli ini berada di baris depan untuk mempertahankan keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia tercinta ini. Jika harapan ini dipenuhi, maka Propinsi Tapanuli yang akan dibentuk akan membawa kesejahteraan, kemakmuran dan kedamaian.
Lantas ke Mana ?
Dari uraian di atas, kelihatannya seakan tidak ada pilihan favorit buat kita masyarakat Nias. Lantas kita mau ke mana ?
Diskusi ini masih berlangsung beberapa hari lagi. Barangkali Bapak-Ibu masih sempat mengendapkan debu-debu kesadaran, lalu mengadakan permenungan dan kembali memberikan kontribusi yang membuka hati dan pikiran kita dalam forum ini.
*Catatan: Berhubung terlambatnya Redaksi membuat rangkuman sementara dan pendalaman ini seperti dijanjikan, maka Redaksi memutuskan memperpanjang waktu Diskusi hingga Tanggal 17 Agustus 2006.