Ya’ahowu: Untukmu Pemimpin [Baru] Kami
*Sebuah Catatan Untuk Pilkada Kab. Nisel dan Refleksi Untuk Pilkada Kab. Nias
Oleh: Etis Nehe*
Salam
Ya’ahowu… Ya’ahowu… Ya’ahowu… Salawama…!
Pilkada, olahraga dan judi sama-sama menggunakan istilah ‘kalah’ dan ‘menang’ kadang-kadang “draw/seri.†Namun, ketiganya beranjak dari asumsi dan motivasi yang berbeda. Olahraga dan judi sangat sarat dengan semangat pertaruhan, penaklukan, mengalahkan, dan kadang-kadang untuk mempermalukan. Walau seringkali ada kemiripan dalam prakteknya, pilkada bukanlah pertandingan olahraga apalagi perjudian, kecuali ada penyamarataan yang salah kaprah. Pilkada sebagai bagian dari politik demokrasi, berdasarkan prinsip-prinsip dasarnya adalah untuk mengupayakan kesejahteraan bersama.
Hal yang sama yang termaktub juga dalam ungkapan selamat yang unik, klasik dan luhur dari tradisi Nias: “Ya’ahowu!â€. Masyarakat Nias dengan segala keluhuran budayanya, memiliki ungkapan salam yang melampaui basa-basi ucapan selamat yang sudah umum. Salam “Ya’ahowu†lebih dari sekedar salam tetapi juga mengungkapkan pemberian harapan, doa, keberkahan, dan pemercayaan diri yang terlepas dari nuansa pertaruhan. Ya’ahowu juga berarti Yatefahowu’õ ndra’ugõ [ba ya’ita fefu]. Terberkatilah Engkau [dan kita semua].
Kepemimpinan Kesejahteraan vs Kepemimpinan Predatorik
Terkait dengan fungsi fundamental dari adanya negara, Mahatma Gandhi, tokoh pejuang tanpa kekerasan dari negeri India itu, memiliki konsep yang dikenal sebagai “Negara Kesejahteraan.†Konsep “Negara Kesejahteraanâ€nya tersebut disebut juga sebagai konsep “Kesejahteraan Integral.“ Prinsip utamanya adalah bahwa keberlangsungan sebuah negara/pemerintahan ditentukan dan oleh karena alasan tunggal yaitu penyejahteraan warganya. Dan, upaya itu harus dimulai, ditopang dan di dasari atas dan oleh nilai-nilai moral atau penegakan kebenaran secara ahimsa [nir kekerasan]. Kemajuan ekonomi dan politik harus seiring dengan unsur pokok lainnya yaitu kemajuan moral. Keduanya tidak dapat dipisahkan karena yang satu meliputi yang lainnya.
Sebaliknya, kecenderungan yang ada ketika kesejahteraan rakyat itu tidak mewujud maka negara (dalam hal ini adalah perangkat atau sistem, termasuk personilnya) akan menjadi bahaya bagi rakyatnya. Vedi R. Hafiz (2005) dalam bukunya Dinamika Kekuasaan, berdasarkan analisa kondisi ekonomi-politik Indonesia pasca-Soeharto menyimpulkan bahwa, pemerintahan yang tidak benar-benar berorientasi pada kesejahteraan rakyatnya adalah perwujudan konkrit dari sistim kekuasaan yang predatorik. Pemerintah dengan gaya predator. Pemerintah bisa berganti terus menerus, tapi sistim pemerintahan oligarkhis dan otoriter bisa saja masih melekat bahkan menjadi tulang punggung sistim. Karena itu semua bisa dan biasanya datang dengan ‘maksud mulia’, kemudian mulai bekerja dengan didorong oleh motivasi kepentingan diri, kelompok, orientasi dan target politik untuk masa suksesi berikutnya.
Keduanya sangat tepat. Pada prinsipnya tidak ada aktivitas dan orientasi politik dan ekonomi yang bebas nilai. Semua memiliki motivasi awal dan tujuan akhirnya. Dan itu bisa baik, juga bisa buruk tergantung ‘apa’ yang dimiliki dan ‘misi yang dibawa’oleh penguasa terpilih. Karena itu setiap orang mesti menyadari bahwa ketika aktivitas atau orientasi politik yang di dasari dengan motivasi dan tujuan yang salah, maka politik dan ekonomi tidak lebih sebagai predator, parasit dan sumber bencana. Kampanye dengan wajah-wajah tulus, jujur dan bersahaja yang terlukis dalam setiap pamflet dan umbul-umbul kampanye lainnya, tidak lebih sebagai wajah manis polesan [biasanya merupakan hasil rekayasa komputer] dari wajah aslinya yang suram, seram dan jahat. Kita menyaksikan bahwa bantuan ekonomi maupun politik terkadang hanya merupakan bentuk lain dari penjajahan. Atau, jangan kaget kalau ketika kekuasaan itu telah berada di tangan, wajah asli itu mulai nampak dan bahkan bertaring. Mengerikan.
Pilkada atau lebih tepatnya adalah suksesi kepemimpinan pada dasarnya harus dilihat secara komprehensif hingga mencapai aspek-aspek esensial yang mendasarinya yaitu kesejahteraan masyarakat.
Pilkada: Berbagi Harapan dan Hidup [Share of Hope and Life]
Anak tangga pertama telah ditanjaki. Pilkada perdana yang historis dan penuh dinamika itu telah terealisasi. Semuanya berjalan relatif aman, berkat kerja sama semua pihak walaupun sempat [harus] diwarnai dengan sebuah ‘pemaksaan legal’ untuk sebuah kerja sama demi kebaikan bersama yang lebih besar.
Pilkada adalah share of hope yang terimplementasi dalam pemberian mandat kepada sang terpilih. Share of hope is share of life. Bukan hanya mempercayakan pengharapan itu saja, tetapi juga mempercayakan kehidupan. Bukan mempertaruhkan kehidupan. Dengan ini, pilkada tidak hanya dimengerti sebagai proses atau aspek politis dari demokrasi, tetapi juga merupakan event untuk memelihara kehidupan. Pilkada, sebagaimana halnya demokrasi, bila berhenti pada pengertian sebagai sebuah sistem tanpa aspek moralitas, maka demokrasi sangatlah buruk dibanding komunisme.
Setidaknya, kita merasa berhak untuk menarik napas lega saat ini, setelah masa penantian yang amat lama dan menegangkan. Itu adalah tanda dari kepuasan dan bukti keterlepasan dari ketakutan yang membayang. Sebuah pertanda atas kemenangan kebaikan dan kejujuran. Dan secara sederhana adalah sebuah ekspresi dari kelegaan jiwa karena keberhasilan pelaksanaan pilkada ini setidaknya mampu menghapus kekuatiran, kegelisahan dan kegetiran yang menyesakkan dada hampir setiap kita. Setidaknya, kini sudah ada jawaban atas sebuah pertanyaan.
Awal Kemandirian
Kini, Nias Selatan telah memasuki masa kemandiriannya. Dia bisa dan telah melakukannya, yaitu memutuskan untuk memilih siapa pemimpinnya yang sekaligus sebagai penanda kedewasaannya. Dia telah mulai belajar memutuskan untuk mempercayakan dirinya kepada ‘sesuatu’ yang dianggapnya BISA. Bisa untuk ‘apa saja.’ Yah, kira-kira seperti kegembiraan dan kepuasan seorang anak yang memasuki masa usianya ke-17 [atau 18]. Kini kepercayaan itu ada dalam tangannya. Ya, hidupnya ada dalam keputusannya. Mungkin masih canggung, tapi dia sedang belajar dan telah melakukannya. Dia telah berani mengambil keputusan dengan segala resikonya.
30 November 2005 menjadi tanggal yang sangat bersejarah bagi Nias Selatan. Segala sesuatunya bernuansa perdana. Semua terasa baru. Juga mungkin [itu pasti] terasa masih serba kaget karena nuansa kebaruannya alias tidak terbiasa.
Tetapi, seperti yang pernah penulis utarakan dalam sebuah tulisan di media ini, pilkada Nisel [termasuk Kab. Nias] seharusnya [dan itu wajib hukumnya] adalah untuk kehidupan. Artinya, ketika pilkada sebagai salah satu tahap dari proses dan prosesi panjang kepemimpinan di Nias Selatan [juga di Kab. Nias], satu-satunya pertanyaan yang signifikan dan yang harus selalu ditanyakan baik oleh pemimpin terpilih maupun yang dipimpin yang memilih adalah apakah segala sesuatu yang diimpikan, direncanakan, dikerjakan dan dihasilkan menuju kepada satu hal yaitu terpeliharanya kehidupan?
Menyikapi pertanyaan yang bersifat “selalu†tersebut, maka tidak ada seorang pun yang berhak untuk menjadikan ‘kesempatan/kepercayaan untuk memimpin’ [saya sedikit merasa risih dengan istilah ‘kemenangan’ dan lebih sreg dengan kata ‘kesempatan/kepercayaan’] dalam pilkada sebagai sebuah kepuasan karena cita-cita dengan segala ‘harapan-harapan’ pribadinya tercapai. Kepemimpinan versi pilkada adalah kepemimpinan yang bersifat ‘bersatunya yang banyak [orang/rakyat] dalam diri yang terpilih.’ Itu berarti adalah sebuah kepemimpinan yang di dalam dirinya [si terpilih] membawa buanyak orang. Ya, membawa kehidupan banyak orang atau secara harafiah membawa banyak hidup, yaitu hidup orang-orang yang telah mempercayakan kehidupan itu kepadanya.
Juga sebaliknya, ‘tertundanya kesempatan untuk memimpin’ [saya pun merasa risih dengan istilah ‘kekalahan’] dalam pilkada tidak pernah bisa menjadi alasan untuk berkata, “Ya sudah, kalian urus saja sendiri. Kehidupan orang banyak itu bukan urusan kami, urusannya yang terpilih.†Atau sedikit lebih kasar [tidak apa-apa kan?], belum adanya kesempatan untuk memimpin saat ini tidak pernah layak menjadi sebuah alasan untuk tidak mau peduli lagi atau juga tidak pernah bisa menjadi alasan untuk mencoba merongrong kepemimpinan yang ada. Saya tidak sedang mencurigai mereka yang tidak terpilih atau siapapun. Tetapi fokusnya adalah bagaimana setiap individu, kelompok [politik, ideologi, gerakan, dll] berorientasi pada kebersamaan untuk mewujudkan kehidupan yang lebih baik. Cuma, kali ini yang kebagian memimpin adalah sepasang saudara kita tercinta yang telah mendapatkan kepercayaan [suara] sedikit lebih banyak melalui prosedur formal politik demokrasi.
Kita berharap momentum pilkada yang berlangsung dengan ‘damai’ menjadi modal dan model starting point bagi setiap aktivitas kehidupan Nias Selatan. Itu bukan hanya menjadi sebuah cita-cita atau harapan, tetapi juga menjadi sebuah semangat dan motivasi. Damai itu harus dikerjakan, diupayakan. Tidak lahir dari mimpi indah, apalagi dari kekerasan/otoriterisme.
Nias Selatan kini berbeda, tidak lagi seperti yang lalu. Salah satu dari aspek masa transisinya yaitu suksesi kepemimpinan telah berjalan dengan baik. Nias Selatan telah memiliki pemimpinnya sendiri. Itu adalah awal yang dinanti untuk mewujudkan komitmen kemandiriannya seperti termaktub dalam hingar bingar perjuangan pemekaran. Atau sebagaimana semula selalu berkobar dan membakar jiwa setiap orang di Nias Selatan untuk bahu-membahu mewujudkan pemekaran ini, yang dalam hal ini diwakili oleh sejumlah orang dan lembaga yang menyalurkan aspirasi tersebut.
Kesejahteraan, kemakmuran dan percepatan pemerataan pembangunan adalah ‘jargon’ utama dan klasik dalam perjuangan pemekaran. Itu bukan hanya di Pulau Nias. Idealisme awal itu adalah memungkinkan adanya pemerataan pembangunan yang berkesinambungan karena jenjang birokrasi yang lebih pendek dan otonom. Tapi, pertanyaannya adalah adakah idealisme itu masih menyala dan membakar jiwa kita? Adakah semuanya itu tinggal kenangan di dalam diari perjuangan untuk memajukan Nias Selatan, dan Pulau Nias pada umumnya. Pertanyaan itu terutama ditujukan kepada kedua pemimpin terpilih kita. Adakah kami akan memiliki alasan untuk berharap bahwa idealisme itu akan dikobarkan kembali setelah posisi terhormat dan tepat untuk mengimplementasikan upaya pensejahteraan dan pemerataan pembangunan itu sudah ada di tangan Anda?
Antara Keunikan dan Harapan
Pertama sekali dalam sejarah, Nias Selatan memiliki pemimpinnya sendiri. Lengkap dengan keunikan yang representatif yang melekat pada paket pasangan ini. Kedua-duanya memiliki latarbelakang pendidikan hukum. Menemukan keunikan latarbelakang ini saja, sudah terbayang apa yang menjadi harapan masyarakat. Setidaknya beberapa hal ini berikut ini.
Pertama, diharapkan mereka menjadi orang-orang yang taat hukum dan nanti tidak akan memutarbalikkan hukum untuk kepentingannya sendiri/golongannya. Kedua, dengan latarbelakang pendidikan hukum bahkan sebagai praktisi hukum (Fahuwusa Laia adalah mantan Kepala Kejaksaan Negeri Gunung Sitoli pernah menjebloskan ke penjara sejumlah anggota DPRD dan pejabat di Kabupaten Nias] diharapkan menjadi dorongan yang kuat untuk memulihkan Nias Selatan dari berbagai tindakan korupsi dan penyelewengan anggaran pembangunan yang hingga saat ini tidak jelas juntrungannya [contohnya: APBD 2005]. Atau setidak-tidaknya, mereka tidak menjadi bagian dari perilaku koruptif birokrasi selama ini. Praktisnya adalah mereka bisa menjadi teladan bagi terwujudnya sebuah iklim taat/sadar hukum di Nias Selatan.
Dari segi dukungan sosio-demografis, keduanya merupakan figur yang mewakili seluruh keunikan komposisi penduduk dan kewilayahan di Nias Selatan. Praktisnya adalah “kombinasi Teluk Dalam dan luar Teluk Dalam†[istilah ini sering dipakai oleh para ‘pakar’ pilkada Nias Selatan selama ini]. Dan, aspek lain adalah aspek agama dimana keduanya mewakili penganut agama terbesar di Nias Selatan yaitu Protestan dan Katolik.
Wow… sungguh pasangan yang komplit. Dan dengan itu, harapan untuk komplitnya perhatian kepada seluruh penduduk dan wilayah juga sangat besar. Diharapkan, tidak lagi ada penganaktirian [termasuk penganaktirian secara terselubung] dalam pembangunan masyarakat dan wilayah.
Nias Selatan: Proyek, Uang & Kesempatan
Seperti sudah menjadi rahasia umum, setiap suksesi kepemimpinan baru apalagi di daerah pemekaran, maka kata yang akan paling sering dipakai adalah ‘proyek.’ Ditambah lagi dengan keadaan Nias Selatan bersama Kab. Nias sebagai korban gempa tahun ini, kini sarat dengan proyek dari Badan Rekonstruksi dan Rehabilitasi dengan gelontoran uang yang luar biasa banyak [menurut perkiraan dana yang disediakan untuk Nias keseluruhan adalah 4 triliun, bisa lebih]. Saat ini, Nias Selatan dan Nias adalah ladang proyek yang juga berarti sekaligus ladang uang. Bahkan suksesnya pilkada Nias Selatan telah ‘dihadiahi’ proyek 13 miliar rupiah dari kerja sama perdana antara militer Amerika Serikat dan TNI pasca embargo militer, untuk pembangunan jembatan dan fasilitas pendidikan.
Itu berarti bahwa Nias Selatan kini berada dalam momentum yang sangat tepat untuk memulai usaha penyejahteraan penduduknya dan pemerataan pembangunan di seluruh kecamatan dengan jumlah dana yang begitu besar. Masalahnya adalah apakah masih ada orang yang akan cukup kokoh mempertahankan idealisme mulianya untuk menyejahterakan masyarakat Nias Selatan, dan mengabaikan godaan untuk mendapatkan banyak ‘pemasukan’ dari pelakasanaan proyek-proyek besar saat ini di Nias Selatan tersebut. Semoga para Salawa kita, tidak termasuk dalam daftar orang-orang yang dikuatirkan tersebut.
Penutup: Doa & Harap
Para pemimpin kami yang terhormat, kami sangat berharap bahwa mimpi kami akan Nias Selatan yang lebih baik dari kondisi sekarang tidak tinggal harapan dan mimpi. Kami telah mempercayakan mimpi dan harapan dan hidup kami kepada bapak berdua untuk pertama kalinya. Itu adalah kepercayaan yang kami miliki. Pimpin dan bawalah kami ke sana, ke tempat yang bernama Nias Selatan yang sejahtera, jujur, aman dan taat hukum. Kami sangat berharap bahwa kami tidak dipaksa menonton kembali ironi kemiskinan, kekerasan, korupsi dan kesewenang-wenangan atas nama kekuasaan. Kami juga tidak mau terbuai terus dalam mimpi utopis yang membius, tetapi tolonglah, janganlah mengambil dari kami satu-satunya alasan untuk bertahan hidup tersebut yaitu bahwa kami masih bisa mempercayai Bapak berdua untuk memimpin kami.
Ya, karena kami percaya bahwa Ira Salawama yang terpilih akan menghormati, memelihara dan berjuang segenap hati untuk membuat hidup kami lebih baik. Kami berharap bahwa kepemimpinan bapak berdua akan menjadi permulaan dan teladan untuk ‘tradisi’ kepemimpinan pada masa yang akan datang. Kami juga sadar bahwa Bapak berdua tidak akan sanggup bekerja sendiri, libatkanlah kami dan jangan mengabaikan kami. Ya, libatkan kami dan bukan mengabaikan kami.
[Sebuah catatan kecil: Bukan suatu kebetulan Anda berdua dilantik (28/3/2006) tepat pada peringatan setahun gempa yang melanda Nias Selatan dan Nias. Itu juga peringatan bagi Anda berdua, supaya tidak menyebabkan ‘gempa baru’ di Nias Selatan].
“Aoha noro nilului wahea, aoha noro nilului waoso. Tafadaya na’awua, ta fahea na esolo.” Yamufahowu’õ ita Amada, Lowalangida. Ya’ahowu Salawama, ya’ahowu Ono Niha.
*) Penulis adalah Pemuda & Mahasiswa Asal Nias Selatan, tinggal di Jakarta. Email: etisnehe@yahoo.com