Oleh: Restu Jaya Duha
[Catatan Redaksi: Artikel ini (jawaban penulis atas komentar Pemerhati) agak lama baru ditayangkan karena kesulitan teknis pembuatan tabel. Semoga masih aktual].
Yth Bapak/Ibu Pemerhati
Saya senang sekali dan mengucapkan terima kasih atas tanggapannya pada artikel “Tahap Tahap Pembentukan Propinsi Tanö Niha”, alangkah saya sangat tertarik membaca tulisan dan uraiannya, sangat tajam analisanya dan sudah tentu juga sangat membutuhkan kecermatan dan kejelian yang mendalam untuk meresposnya kembali.
Saya berulang kali membacanya dan akhirnya ada beberapa yang bisa saya tanggapi ulang. Semoga hal ini menjadi banyak diskusi yang lebih mendalam lagi.
Saya memberi judul jawaban saya sesuai yang tertera di atas: “Öri Sebuah Refleksi Budaya Nias.
a. Latar Belakang Penelitian “Öri”
Awalnya untuk menelusuri dan memetakan ulang, apa dan bagaimana „Öri“ di Nias sebagai sebuah sistem pemerintahan di Nias yang berbudaya Nias, bukanlah tujuan utama, sebab tujuan utama kami (Saya dan Noniawati Telaumbanua) meneliti adalah untuk menulis tentang pengembangan Kepulauan Nias ke depan untuk minimal 25 tahun dalam mengisi era otonomi daerah.
Sejak tahun 1999 ditetapkan sebagai era otonomi daerah dengan keluarnya Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, yang memungkinkan setiap daerah Propinsi maupun Kabupaten/Kota mengurus rumah tangganya sendiri, tanpa campur tangan langsung pemerintah pusat. Intinya adalah otonomi daerah yaitu desentralisasi kekuasaaan.
Desentralisasi adalah salah satu cara untuk membangkitkan kemandirian tiap daerah untuk membangun, mengurus dan mengatur diri sendiri. Sentralistik yang berlaku selama ini ternyata banyak melahirkan penderitaan, hambatan, dan kekakuan daerah yang hanya menunggu keputusan dari pusat. Seluruh kegiatan di daerah harus melalui persetujuan pusat, sehingga keinginan daerah belum tentu sesuai dengan yang akan dan telah ditetapkan dari pusat, disinilah inti masalahnya yaitu kekuasaan terpusat, jadi daerah hanya menerima saja segala yang telah ditetapkan dan diputuskan dari pusat.
Pusat telah memberikan kewenangan kepada daerah dengan keluarnya Undang-undang No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, walaupun ada beberapa kewenangan masih di pegang oleh pusat, yaitu: Politik Luar Negeri, Pertahanan Keamanan, Peradilan, Moneter dan Fiskal, Agama serta kewenangan bidang lainnya.
Kewenangan bidang lain, meliputi kebijakan tentang perencanaan nasional dan pengendalian pembangunan secara makro, dana perimbangan keuangan, sistem administrasi negara dan lembaga perekonomian negara, pembinaan dan pemberdayaan sumber daya manusia, pendayagunaan sumber daya alam serta teknologi tinggi yang strategis, konservasi, dan standarisasi nasional.
Undang-undang No.22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah telah memberikan kewenangan kepada daerah untuk mengatur seluruh kehidupannya, baik di bidang pemerintahan maupun di bidang lainnya. Seluruh potensi dapat digunakan untuk kemakmuran daerahnya. Segala peraturan perundang-undangan yang berlaku disesuaikan dengan semangat otonomi daerah, termasuk untuk memekarkan daerahnya masing-masing.
Sejak tahun 1999 sejalan dengan waktu berjalannya penelitian maka beberapa pendapat dan terutama dari kami sebagai peneliti menemukan sebuah “Inti Penelitian” dan akhirnya kami tetapkan judul penelitian dan sudah dibukukan yaitu : “PROSPEKTIF DAN WACANA PEMEKARAN KABUPATEN NIAS MENUJU PEMBENTUKAN PROPINSI TANÖ NIHA”. Untuk mencapai ini, kami mencoba menelusuri titik tolak penelitian, dan akhirnya titik tolak tersebut kami temukan yaitu data tentang “Öri” yang berlaku hingga tahun 1965 di seluruh Kabupaten Nias. Ruang lingkup penelitianpun kami tetapkan yaitu seluruh kecamatan di Kabupaten Nias dan seluruh “Öri” di Kabupaten Nias.
b. Hasil Penelitian tentang Öri di Nias
Penelitian dilakukan di Nias sesuai dengan cakupan penelitian seluruh kecamatan di Kabupaten Nias dan seluruh “Öri” di Kabupaten Nias.
b.1. Hasil Penelitian Lapangan tentang Öri di Nias
Pada Tabel 1 berikut ini adalah nama-nama Öri di Kabupaten Nias (sebelum dimekarkan) setelah masuknya pemerintahan penjajahan Belanda dan Jepang yang diperinci menurut kecamatan sesuai dengan keadaan sekarang (2002), sebagai hasil penelitian lapangan.
Tabel 1. Nama-nama Öri di Kabupaten Nias setelah Kemerdekaan Republik Indonesia, menurut kecamatan keadaan 2002 (Situasi Öri di Nias sampai tahun 1965 – dihapus)
|
b.2. Hasil Penelitian Kepustakaan tentang Öri di Nias
Menurut hasil penelitian Drs. F. Telaumbanua, dkk (Drs. F. Telaumbanua, Dkk. 1988, Laporan Penelitian Sejarah Perjuangan Masyarakat Nias, Penerbit Tim Penyusun Sejarah Perjuangan Masyarakat Nias, Gunung Sitoli, hal. 19-24) menyatakan bahwa pembagian Öri di Kabupaten Nias ada 2 zaman yaitu : pertama sebelum penjajahan Belanda dan kedua sesudah masuknya penjajahan Belanda.
b.2.1. Pembagian Öri Sebelum Masuknya Penjajahan Belanda
Tabel 2. Nama-nama Öri di Kabupaten Nias sebelum masuknya pemerintahan penjajahan Belanda menurut kecamatan (sesuai keadaan tahun 1988)
Np | Kecamatan | Nama-nama Öri | Desa Pusat Ori (Terakhir) | Jumlah desa/kel | Kete-rangan |
[1] | [2] | [3] | [4] | [5] | [6] |
1. | Gunung Sitoli | 1. Pasar Gunung Sitoli 2. Ulu Gunung Sitoli 3. Tumöri 4. Idanoi ? 5.Laraga Ononamölö 6. Tanose’ö 7. Dahana 8. Tabaloho 9. Ombölata 10.Ono Hada Lalai 11. Botomuzöi 12. Ma’u ? |
Pasar Gunung Sitoli Iraono Geba Tumöri … … Hiliduho … Madula Ombölata Lölöwua .. Ma’u |
… … … … 17 … … … … … … |
|
2 | Tuhemberua | 1. Sowu 2. Tanaya’ö 3. Sawö 4. Luzamanu |
Awa’ai … … … |
… … … … |
|
3 | Alasa | 1. Alasa 2. Esiwa 3. Namöhalu 4. Tumula 5. Tugala’oyo |
… … … … … |
… … … … … |
|
4 | Lahewa | 1. Lahewa 2. Lafau 3. Afulu 4. Muzöi |
… … … Laowöwaga Idanöndrawa |
… … … … |
|
5 | Mandrehe | 1. Talunoyo 2. Ulumoro’ö 3. Moro’ö |
Lahagu Lawelu Fukagambö |
||
6 | Sirombu | 1. Lahömi 2. Hinako |
… … |
||
7 | Lolowa’u | 1. Huruna 2. Ulunoyo 3. Idanödöu 4. Siwalawa 5. O’ou |
… … … … … |
||
8 | Gidö | 1. Idanoi 2. Gidö 3. Sogae’adu 4. Ma’u 5. Somölö-mölö |
… … … Sisarahili Ma’u … |
||
9 | Gomo | 1. Gomo 2. Ulu Susua – I 3. Ulu Susua – II |
Sifaoro’asi … … |
||
10 | Idano Gawo | 1. Idanö Gawo 2. Idanö Hura 3. Idanö Mola 4. Luaha Hou 5. Nalawö 6. Ulu Hou |
… … … … … … |
||
11 | Lahusa | 1. Bawöna’uru 2. Balaecha 3. Taluzusua 4. Somambawa 5. Daro-daro 6. Masio 7. Aramö |
… … … … … Lahusa Bale |
||
12 | Teluk Dalam | 1. Eho 2. Onolalu 3. Maenamölö 4. Mazingö 5. To’eneasi 6. Sarumaha – I 7. Sarumaha – II 8. Wa’u |
… … … … … … … … |
||
13 | Pulau Pulau Batu | 1. … 2. … |
… … |
Catatan :
- Data yang belum diisi menyusul dilengkapi setelah diperoleh data yang akurat (Tim Penyusun)
- “ ? ” artinya penulis ragu karena menurut analisis penulis ori tersebut ganda, misalnya Öri Idanoi dan Öri Ma’u di Kecamatan Gunung Sitoli dan Kecamatan Gidö. Apakah Öri yang sama atau Öri yang berbeda?.
b.2.2. Pembagian Öri Sesudah Masuknya Penjajahan Belanda
Masuknya pemerintahan Kolonial Belanda di Pulau Nias awalnya menduduki Kota Gunung Sitoli pada tahun 1840 dan seluruh Pulau Nias pada tahun 1902, maka berangsur-angsur seluruh “Banua” (Desa) dan “Öri” (negri) tunduk. Bentuk pemerintahan adat Suku Nias masih tetap dipertahankan sebagai aparat pemerintahan Belanda. Kekuasaan “Salawa” atau “Si’ulu” (Kepala Desa) dan Tuhenori (Kepala Negri). Tabel 3 berikut ini adalah nama-nama Öri pada masa penjajahan Belanda.
Tabel 3. Nama-nama Öri di Kabupaten Nias sesudah masuknya pemerintahan penjajahan Belanda menurut Distrik (sesuai keadaan Mei tahun 1919)
|
Sumber: (Amuata Danö Niha, 1919, hal. 137 – 154), dalam buku : Drs. F. Telaumbanua, Dkk, Tim Penyusun Sejarah Perjuangan Masyarakat Nias, Gunung Sitoli , 1988, Laporan Penelitian Sejarah Perjuangan Masyarakat Nias, Penerbit Tim Penyusun Sejarah Perjuangan Masyarakat Nias, Gunung Sitoli.
Menurut hasil penelitian Pastor Johannes Maria Hammerle, OFM Cap (Pastor Johannes Maria Hammerle, OFM Cap., 1986, Famato Harimao, Penerbit Yayasan Pusaka Nias, Gunungsitoli, hal. 29-32) menyatakan bahwa pembagian Öri di Teluk Dalam terbagi dalam dua zaman, yaitu : Pada Zaman Belanda dan Zaman Jepang.
1. Zaman Belanda, terdiri dari 5 Öri
2. Zaman Jepang, terdiri dari 8 Öri
Menurut data yang diperoleh penulis, Kecamatan Teluk Dalam awalnya bukan Öri yang berlaku, yaitu “Banua“ yang dipimpin oleh seorang “Si’ulu” (Kepala Kampung/Kepala Desa), namun pada masa penjajahan Belanda, sistem Öri diterapkan di Teluk Dalam yang diadopsi dari Nias Utara/Nias Timur. Lihat Tabel 4.
Tabel 4. Pembagian Öri di Teluk Dalam pada zaman Belanda
|
Setelah masuknya Jepang maka pembagian Öri di Teluk Dalam mengalami perubahan yaitu beberapa dimekarkan tentu tujuannya untuk kepentingan pemerintahan Jepang saat itu. Tabel 5. berikut ini pembagian Öri di Teluk Dalam pada zaman Jepang.
Tabel 5. Pembagian Öri di Teluk Dalam pada Zaman Jepang
|
Tentang Öri di Kecamatan Teluk Dalam akan terus penulis atau peneliti lain mengadakan penelitian dan pendalaman, agar keadaan Öri dan pusat Öri di Kecamatan Teluk Dalam dapat terdata dengan akurat dan jelas.
Untuk melengkapi keingintahuan kita tentang Öri, kita dapat menelusuri beberapa literatur yang saya kemukakan sebelumnya, tentu tidak mengenyampingkan literatur lainnya.
c. Tanggapan kepada Yth Bapak/Ibu Pemerhati
Tentang keraguan Yth. Bapak/Ibu Pemerhati bahwa meragukan sistem pemerintahan öri akan lebih berterima di zaman pasca-reformasi ini. Tanggapannya ini ada atas diskusi saya dengan Bapak Kris J. Mendröfa, 13 Maret 2007): “Sebenarnya kalau pemerintah daerah Nias dan Nias Selatan berkomitmen dan mau menghidupkan “öri” di Nias masih sangat dimungkinkan, apalagi di era otonomi sekarang ini. Misalnya saja, kita ganti nama kecamatan dengan kata “öri” dan kata desa dengan “banua”. Pemerintah kan menjamin dan melindungi kelangsungan kebudayaan setiap daerah, bukan sebaliknya mencabut/menghapus kebudayaan daerah. Dan ini yang terjadi selama ini, walaupun undang-undang kita menjamin akan melindungi setiap kebudayaan yang masih hidup di masyarakat, akan tetapi “öri” sebagai kebudayaan Nias yang hidup (pada tahun 1965) justru “dipaksa” harus menerima sistem pemerintahan desa (desa berlaku di pulau Jawa) yang sebenarnya tidak sesuai dengan akar budaya Nias” (Kris J.Mendröfa, 2007).
Sejalan dengan itu, saya berpendapat selain pemerintah daerah Nias dan Nias Selatan berkomitmen dan mau menghidupkan “öri”, juga sebaiknya didukung oleh seluruh strata masyarakat di Nias, baik berkapasitas sebagai Tokoh Nasional maupun daerah; Pejabat, Tokoh Politik, Tokoh Agama, Tokoh Pendidikan / Cendikiawan, Tokoh Ekonomi/Pengusaha, Tokoh Budaya, Tokoh Adat, Tokoh Masyarakat, Tokoh Pemuda, LSM, Tokoh Media massa dan Pemuda / Pelajar / Mahasiswa.
Kalau seluruh unsur bersatu dan menginginkan “Öri” kembali dianut sebagai sistem pemerintahan di Nias yang berbasis budaya Ono Niha, saya yakin keinginan tersebut kedepan akan tercapai. (Restu Jaya Duha, 2007).
“Bagaimana kalau “öri” dibangkitkan lagi di Nias seperti Nagari di Sumatera Barat?” (Kris J.Mendröfa, 2007) sesuai harapan Pak Mendrofa, saya mengungkapkannya mengapa tidak? (Restu Jaya Duha, 2007).
Dengan beberapa hal yang diutarakan sebelumnya maka Bapak/Ibu Pemerhati mengemukakan hal-hal sebagai berikut dan saya akan mencoba mencermatinya satu demi satu:
Yth. Pemerhati berpendapat (P): “Saya meragukan sistem pemerintahan öri akan lebih berterima di zaman pasca-reformasi ini. Alasan saya adalah sebagai berikut: (1). Sistem pemerintah öri sudah lama dibekukan oleh pemerintah dan sejalan dengan itu sebagian besar para Tuhenöri telah meninggal. Anak-anaknya tentu tidak lagi memiliki pengetahuan yang baik tentang adat istiadat Nias dan cara memerintah layaknya sebagai Tuhenöri.”
Restu mencermati (R) :
Memang benar bahwa sistem pemrintahan Öri telah ditinggalkan hampir “2 generasi hilang” (lebih 40 tahun sejak di hapus), implikasinya seperti dikemukakan adalah Tuhenöri sebagian besar telah tiada dan pengetahuan anak atau cucunya tentu tidak lagi bisa mewarisinya, bagaimana cara memerintah layaknya seorang Tuhenöri.
Saya ingin mengemukakan bahwa “Tuhenöri” adalah seorang pemimpin dari beberapa “Banua” yang dikepalai oleh “Salawa” yang bersatu dan bergabung dengan membentuk sebuah “Öri” dan “Tuhenöri” dipilih secara bergilir sesuai dengan kebutuhan, berapa lama seorang “Tuhenöri” berkuasa juga sesuai dengan ketetapan sebuah “Öri”.
Contohnya, kalau Tuhenörinya meninggal maka tidak serta merta anak Tuhenöri menjadi pengganti. Akan dilakukan pemilihan dari antara “Salawa”. Jadi Tuhenöri bukan berlaku secara garis keturunan seperti Raja atau Ratu. Kalau boleh saya katakan bahwa di Nias sudah ada sebelumnya “Pemilihan Umum Tuhenöri” walaupun pesertanya adalah “Salawa”.
Kepemimpinan Tuhenöri tidak berlaku turun-temurun, jadi sifat kepemimpinan ini bisa dipelajari. Tuhenöri berasal dari Salawa. Salawa adalah seorang pemimpin yang dipilih oleh rakyat. Jadi saya tidak begitu kuatir jika seandainya kepemimpinan Tuhenöri dapat diterapkan di Nias kembali.
(P): (2). Seiring dengan dibekukannya sistem pemerintahan öri, wibawa mantan Tuhenöri itu juga jatuh, dan anak-anaknya sulit diharapkan bisa mengembalikan wibawa ketuhenörian seperti yang dimiliki bapaknya. Di beberapa daerah, anak-anak Tuhenöri itu bahkan bernasib tragis, tak dihargai orang lagi dan juga jatuh miskin.
(R): Mengenai wibawa ketuhenörian, ada beberapa orang yang saya kenal Mantan Tuhenöri yang menjadi Camat, sebab saat diterapkan sistem pemerintahan yang baru maka sebagian Tuhenöri menjadi Camat, ada juga yang enggan menjadi Camat. Ada banyak anak dan cucu Tuhenöri yang saya kenal berhasil dan bahkan ada beberapa yang menjadi pemimpin kita sekarang, baik di tingkat desa/kelurahan, kecamatan, kabupaten/kota bahkan sampai di tingkat nasional. Jadi intinya, nasib atau boleh saya katakan berkat bagi setiap orang berbeda-beda, bukan tergantung pada orang tuanya.
(P): (3). Mengembalikan sistem pemerintahan öri berarti mengembalikan sistem pemerintahan “otokratik”, di mana dalam pertemuan-pertemuan adat hanya beberapa orang saja yang berani bicara. Rakyat biasa biasanya hanya menerima apa saja keputusan para tua-tua adat itu. Kalau dulu masalah cepat selesai, ya mungkin karena faktor ini: rakyat kebanyakan tak boleh membantah putusan para tua-tua adat itu, apalagi “titah” Tuhenöri.
(R): Ya, juga saya khawatir tentang hal ini, apapun gaya kepemimpinan yang dianut, Otokratik, Kharismatik, Militeristik, Demokratik, dst. namun tidak ada yang bisa tidak dijalankan kalau sudah disepakati, jadi maksud saya ada sebuah penyesuaian sistem dimana “rakyat biasa” bisa berbicara. Menurut pendapat saya sistem dapat disepakati sesuai dengan kebutuhan. Sebuah keputusan pimpinan tidak selamanya harus melibatkan bawahan atau rakyat, ini tentu harus bertitik tolak pada kesepakatan sistem ketuhenörian yang dianut nantinya.
(P): (4). Lanjutan (3), siapa yang masih mau jadi Tuhenöri di alam modern sekarang ini? Siapa yang mau menghabiskan hartanya untuk diangkat lagi dalam kedudukan pemerintahan adat tertinggi ala Nias itu ? Bukankah wibawa Tuhenori juga terkait dengan status sosialnya di sejumlah desa yang bergabung dalam öri itu ? Dan status sosial juga selalu terkait dengan masalah duit.
(R) : Untuk menjawab pertanyaan yang ini, saya ingin mengemukakan pertanyaan balik sebagai berikut: Siapa yang masih mau jadi „Salawa atau Camat atau Bupati (Tuhenöri)“ di alam modern sekarang ini? Siapa yang mau menghabiskan hartanya untuk diangkat lagi dalam kedudukan „Pemerintahan Adat Tertinggi Ala Nias itu ? Bukankah wibawa Salawa atau Camat atau Bupati (Tuhenori) juga terkait dengan status sosialnya di sejumlah desa yang bergabung dalam öri itu ? Dan status sosial juga selalu terkait dengan masalah duit.
Jawaban singkat saya, tentu ada.
(P): (5). Saya juga tidak yakin masyarakat masa kini, yang sudah mulai berani berbicara dalam pertemuan desa-desa, mau menerima begitu saja “titah” Tuhenöri.
(R) : Jawaban saya sesuai jawaban pada point (3)
(P): (6). Karena sistem pemerintah Tuhenöri telah dibekukan pada tahun 1965 (seperti ditulis Bapak Restu Jaya Duha), kita juga akan mengalami kesulitan “merekrut” Tuhenöri baru. Bagaimana sistem rekrutmen para Tuhenöri ini ?
(R) : Mengenai sistem merekrut Tuhenöri (lihat jawaban point 1), sistemnya bisa disepakati sesuai „Pemerintahan Adat Tertinggi Ala Nias“ saya pinjam istilah Bapak/Ibu Pemerhati.
(P): (7). Terlepas dari lemahnya sistem pemerintahan kecamatan saat ini, akuntabilitas masih ada, bukan? Mereka adalah pegawai yang diangkat, digaji dan bertanggung jawab kepada atasannya dalam pelaksanaan tugasnya. Dengan kata lain, sewaktu-waktu mereka dapat diberhentikan apabila mereka tidak dapat melaksanakan tugasnya (sekurang-kurang ini di atas kertas). Lantas bagaimana kalau sistem pemerintahan Öri dihidupkan kembali. Apakah Tuhenöri digaji atau tidak ? Apakah mereka bisa diberhentikan atau memerintah tanpa batas waktu?
(R) : Mengenai sistem kerja, penggajian, kepangkatan, masa kerja, dll. Sistemnya bisa disepakati sesuai „Pemerintahan Adat Tertinggi Ala Nias“ sekali lagi saya pinjam istilah Bapak/Ibu Pemerhati.
(P): Semoga pertanyaan-pertanyaan ini mendapat penjelasan dari Bapak Restu Jaya.
(R): Terima kasih, hanya ini yang bisa saya kemukakan, saya senang berdiskusi dengan Bapak/Ibu Pemerhati, semoga apa yang saya cermati ini dapat didiskusikan dan bermanfaat.
Catatan: Yth. Bapak/Ibu Pemerhati, kalau boleh saya tahu, bertempat tinggal di mana? Terima kasih.
Salam,
Ya’ahowu !
Restu Jaya Duha
Karlsruhe – Jerman
trims ya ama atas info ini
hanya ada satu lagi perlu dikembangkan dan perlu dicari yakni sejarah ritus dan mitos pendirian öri.
Yth Pak Gurning
Terima kasih kembali… usulnya: dikembangkan dan dicari sejarah ritus dan mitos pendirian Öri..wah ini juga ide bagus…namun perlu pemikiran, waktu dan tenaga untuk merealisasikannya…
Salam
Restu
Menarik sekali topik ini, saya sangat senang sejarah Nias terlebih ttg pembahasan sebuah Ori.
Dilanjut Pak Restu, yaahowu ……..
Yth Pak Teguh Marundrury
Terima kasih dukungannya Pak, alangkah lebih baik lagi, bagi yang tertarik Thema ini melanjutkannya….semoga..
Salam
Restu
saya sangat berterimakasih kepada Bapak Restu Jaya Duha atas kegigihan dlm mengungkapkan sejarah Öri dlm sejarah budaya Nias. Pada saat ini saya setuju dgn pola pikir yg Bapak Restu Jaya Duha ungkapkan juga sebab menurut hemat saya tata krama budaya Nias sudah punah yg dilakukan sekarang dlm masyarakat hanyalah imitasi dari tata krama budaya Nias yg sebenarnya. Oleh sebab itu alangkah baeknya kalau sistim Öri yg dianut masyarakat Nias dulu dapat diterapkan pada masyakat Nias saat ini sesuai dgn pendapat Bapak Restu Jaya Duha, Temakasih Ya’ahowu
Hi, There’s no doubt that your website could be having internet browser compatibility issues. When I take a look at your web site in Safari, it looks fine however when opening in Internet Explorer, it has some overlapping issues. I simply wanted to provide you with a quick heads up! Aside from that, excellent site!
hai mado, saya sangat setuju dengan artikel yang bpk tuturkan. saya juga sebagai pemuda nias ingin kalau kejayaan ori di bangkitkan kembali. dan kalau bisa pak, ori ono hada lalai orinya mado mendrofa di jadikan contoh dulu… syalom!